Bab 19

1.2K 54 10
                                    

SUASANA rumah —ah apartemen maksudku— pagi ini di isi dengan keheningan. Pasalnya pasangan sejoli yang sedang jatuh cinta itu sedang bertengkar sedari malam kemarin. Aku tau duduk perkara permasalahan mereka, namun aku enggan untuk ikut campur. Ya meski dalam hati aku terus berdoa agar mas Raffi tetap teguh pada pendiriannya.

Jadi entah bagaimana awal mulanya malam minggu kemarin mas Raffi dan mbk Likke keluar untuk berkencan entah makan malam di resto bintang lima enam tujuh delapan what ever. Yang jelas pulang-pulang mereka cek cok mendebatkan tentang pembelian rumah. Usut punya usut aku yang waktu itu sedang memasak mie instan di dapur ikut mendengar percakapan mereka dengan nada saling ngegas.

Intinya mbak Likke meminta pindah ke perumahan yang sudah dia incar yang harga beli nya berpuluh M M, miliar maksudku.

Entah tabungan mas Raffi yang mungkin memang belum cukup atau alasan lainnya yang jelas mas Raffi tidak menyetujuinya. Apalagi yang aku dengar mbak Likke mengancam meminta pisah jika keinginannya tak di turuti. Makin meledak lah emosi mas Raffi.

Yang aku dengar lagi semalam mas Raffi sempat berkata, "Itu terus ancaman kamu dikit-dikit minta pisah, dikit-dikit minta pisah. Kata mu ingin berjuang bersama mendapat restu ibu. Tapi kami seperti tidak pernah serius ingin melakukannya. Bahkan kamu tidak pernah mau jika ku ajak untuk bertemu lagi dengan ibu dan menjelaskan hubungan kita. Sekarang terserah kamu mau kamu bagaimana kan hubungan kita."

Kemudian ku dengar suara pintu kamar tertutup dengan keras yang ku tau pelakunya adalah mas Raffi.

"Sialan". Umpat mbak Likke kemudian dia keluar dari pintu apartemen.

Dan begitulah akhirnya hingga di hari minggu yang cerah ini dengan tumben nya aku bisa duduk berdua di sofa hanya berdua dengan mas Raffi yang sedang berkutat dengan layar laptopnya.

"Rim..." Panggilan dari mas Raffi membuyarkan lamunanku.

Tanganku boleh saja memegang handphone yang menampilkan insta story dari teman-teman, namun rupanya mata dan isi pikiranku tak tertuju kesana, jadi satu suara dari orang sebelahku sukses membuat kejut kaget jantungku.

"Iya mas." Jawabku setelah membasahi bibir.

Mas Raffi menaruh laptop yang sedang nyaman duduk di pangkuannya ke atas meja. Ia menyerongkan duduk nya menatap fokus ke arahku. Sepertinya ia ingin berbicara serius di lihat dari gerak geriknya yang penuh dengan kehati-hatian. Mendadak aku menjadi gugup sendiri.

"Apa kamu tidak nyaman tinggal bersamaku dan Likke?", tanya nya.

Mas Raffi mengamati ku dan memastikan agar jawaban yang keluar dari mulutku adalah sebuah kejujuran.

"Nyaman-nyaman saja kok mas, memangnya kenapa?"

"Kalau misalnya kita pisah rumah bagaimana?" Tanyanya yang ku hadiahi tatapan menganga.

"Maksudnya sesekali aku akan menginap di sini. Tapi yang jelas aku akan sering menghabiskan waktu di rumah baru dengan Likke." Tambahnya.

Aku mengatupkan kembali rahangku, diam tanpa menanggapi kalimat yang di lontarkan mas Raffi. Jadi sepertinya mas Raffi kembali luluh kepada mbak Likke. Aku sangat mengetahui semalam mas Raffi sangat menentang keinginan dari istri keduanya yang meminta di belikan rumah di kawasan perumahan elit yang ku tahu harganya berpuluh milyar. Apalagi mbak Likke meminta rumah yang di atasnamakan dirinya.

"Hubungan kita aja masih belum resmi secara negara, ini kamu malah minta di belikan rumah. Harusnya kamu berusaha terlebih dahulu agar mendapat restu dari ibuku Kee..."

Begitulah potongan pertengkaran mereka yang ku dengar semalam.

Mendadak aku tidak rela. Bukan. Bukan karena perasaan egois yang tetap ingin tinggal bersama dengan mas Raffi, hanya saja sedikit banyak kini aku telah mengetahui rencana busuk mbak Likke yang ingin menguasai harta benda mas Raffi. Aku tak rela jika nanti setelah mbak Likke mendapatkan apa yang dia inginkan, mbak Likke malah mencampakkan mas Raffi.

Aku masih diam bingung mau menjawab bagaimana pertanyaan yang telah di lontarkan oleh mas Raffi.

Yang jelas aku akan menolak usulan ide itu. Tapi aku harus beralasan apa.

Ah sial kenapa otakku yang biasanya cemerlang mendadak buntu tak ada satu pun ide yang melintas di kepala.

"Gimana Rim?"

Tanya mas Raffi lagi karena tak kunjung mendapat balasan dariku.

"Memangnya mas Raffi udah beli rumahnya?"

"Belum sih. Rencananya besok aku mau ketemuan sama orang properti. Tadi udah sempet teleponan sama udah di kirimin gambar-gambar rumahnya juga."

Mas Raffi kembali diam. Dia seperti menimba-nimba kiranya akan ia bagi denganku atau tidak.

Rupanya kalimat yang kembali keluar dari bibirnya adalah sebuah pilihan yang telah dia ambil.

"Emm.. rencananya rumah yang mau aku beli mau aku sertifikat kan langsung atas nama Likke. Kamu tahu sendiri kan bagaimana situasi sekarang Likke yang ngambek kabur gara-gara minta rumah. Jadi aku mau membujuknya dengan memberikan apa yang dia mau." Tambahnya.

Aku diam menatap ke depan ke arah layar televisi yang sedari tadi sudah aku abaikan keberadaanya.

Lama kami saling terdiam hingga aku kembali bersuara.

"Bagaimana jika aku menolak untuk sepakat dengan mu kali ini mas?"

"Jadi kamu tidak setuju?" Tanggapnya langsung.

"Apa kamu juga ingin aku belikan rumah yang sama dengan rumah yang akan aku berikan ke Likke?" Tanya mas Raffi yang dari raut mukanya terlihat tidak setuju jika aku meminta hal yang sama.

Ya tentu saja aku tahu uang mas Raffi tak sebanyak itu untuk membelikan kami berdua rumah yang sama mewah dan sama mahalnya itu.

Tapi mungkin ini bisa aku jadikan alasan supaya mas Raffi tidak kembali jatuh tertipu pada rayuan mbak Likke sebelum aku benar-benar mendapatkan bukti perselingkuhan mbak Likke. Atau mungkin bukan, yang menjadi selingkuhan mungkin saja masku yang malang itu karena istri keduanya yang sangat ia cintai selama ini hanyalah wanita yang memanfaatkan harta bendanya saja.

"Aku juga istri kamu mas. Istri yang sah baik hukum dan negara. Bahkan kedudukanku lebih unggul jika di bandingkan dengan mbak Likke, istri keduamu yang hanya dari pernikahan siri. Jadi kalau kamu ingin memberikan rumah dengan sertifikat atas nama mbak Likke, aku juga ingin mendapatkan hal yang sama."

Bukan. Itu bukan keinginanku yang sebenarnya. Itu hanyalah akal-akalan ku saja biar mas Raffi tidak menuruti kemauan mbak Likke.

"Rim kan kamu tahu sendiri Mas enggak sekaya itu buat ngebeliin kalian berdua rumah mewah berbarengan 2 sekaligus. Kalau kamu mau rumah mewah juga ya sabar gantian dulu, ya.. mungkin satu sampai dua tahun lagi sampai tabungan Mas terkumpul lagi."

"Aku gak mau mas, kalau aku gak dapet rumah berarti mbak Likke juga enggak. Kamu sebagai kepala rumah tangga harus adil memperlakukan kedua istrimu mas, ya meski aku tahu hubungan kita tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Tapi inget kamu udah mengambil hak kamu sebagai suami jadi sudah menjadi kewajiban kamu juga memuliakan istrimu dengan adil."

Tutup ku kemudian beranjak meninggalkan mas Raffi tanpa menunggu tanggapannya. Lebih baik aku mengunci diri di dalam kamar dulu sambil mencari jalan keluar lainnya.

*


*
Bersambung. . .
05.03.24

Hai hai hai...
Sorii baru muncul lagi soalnya habis ada acara besar dan spesial pastinya di bulan februari jadi membuatku tak sempat melanjutkan pengetikan hahahaha

Yuk follow, vote 🌟 dan komennya buat penyemangat bab selanjutnya

Babayyyyy....

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang