Bab 16

957 43 1
                                    


SETELAH menyeka tangan dan kaki serta membersihkan wajah, aku keluar dari kamar mas Raffi. Ya, di sini kami berperan sebagai suami istri pada umumnya yakni tidur bersama. Namun sepertinya aku bisa menghindari itu dengan cara tidur di kamar ibu.

"Buuu... Ibu.." Panggilku nyaring sambil menuruni anak tangga.

"Apa sih nduk, udah malem ini kamu jangan teriak-teriak." Jawab ibuku lembut. "Kamu makan dulu sebelum tidur. Mas mu mana. Langsung tidur apa gimana?".

"Mas Raffi mau langsung tidur aja katanya bu. Udah capek nyetir, lagian nanggung juga bentar lagi pagi, jadi makannya nanti aja sekalian sarapan."

"Oh ya udah nggak apa-apa. Kalau kamu keluar dari kamar ini mau makan apa gimana?", tanya ibuku lagi. Ibu pun mengambil remote TV kemudian mematikan siaran yang di tontonnya sedari tadi. Bude marwah sudah kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

"Emm.. Rima mau tidur bareng ibu. Rima kangen mau peluk ibu sepuasnya pokoknya."

"Duh anak ibu ini lagi kumat apa gimana ini sifat manjanya hmm?", goda ibu kepadaku. Memang benar semenjak ibu di nyatakan sembuh dari sakitnya aku lebih ekspresif dalam menunjukkan kasih dan sayang. Jika dulu aku merasa segan untuk bermanja-manja atau sekedar meminta sebuah pelukan, kini tidak lagi. Apalagi setelah kami tidak lagi tinggal serumah, jika rindu aku akan segera mengungkapkannya langsung secara panggilan telepon ataupun panggilan video.

"Boleh ya bu..."

"Emangnya sama mas mu di bolehin. Nanti mas mu nyariin guling nya lagi di kira hilang."

"Iihhh enggak kok. Tadi udah ijin sama mas Raffi. Lagian kan selama ini udah tidur bareng mas Raffi sekarang giliran tidur bareng ibu. Mumpung Rima nginep sini. Ya ya ya.." Bujuk ku dengan sedikit kebohongan yang aku ungkapkan.

"Hmm ya udah ayo. Nanti ibu peluk sambil ibu pok pok biar makin nyenyak tidurnya."

"Asyiiikkk..." Seru ku sambil menggandeng lengan ibu menuju kamarnya.

Dan benar saja pagi nya aku bangun kesiangan. Di hari sabtu yang mendung ini membuat manusia sepertiku hanya ingin bermalas-malasan di atas kasur. Berguling ke kanan dan ke kiri. Tak lama suara ketukan pintu di susul dengan suara gerimis bunyi hujan di atas genteng mulai menyapa gendang telinga.

Belum sempat aku menjawab, pintu kamar inu sudah terbuka dari luar. Pelakunya ialah suamiku yang sudah berpenampilan santai dengan kaos hitam dan celana warna cream nya. Rambutnya basah namun sudah tersisir rapi ke belakang. Hmm di amati dari mata orang yang baru bangun tidur dan belum cuci muka pun mas Raffi tetap memiliki wajah yang tampan. Dengan wajah tegas dan hidung mancungnya bak perosotan serta mata tajam dengan bulu mata yang menurutku panjang tak ketinggalan alis yang tertata rapi di dahi membuatnya masuk ke dalam nominasi calon idamanku. Shuutttt.. itu tapi rahasia di antara kita aja. Jangan biarin orang lain tahu apalagi mas Raffi.

Mungkin karena sejak tadi mataku tak henti mengagumi ciptaan Tuhan sambil mendeskripsikannya dalam lamunan menjadikanku tidak sadar jika orang yang ku kagumi kini sudah berdiri tepat di depanku. Sentilan yang aku dapat di dahi sukses menyadarkan ku dari lamunan.

"Auuu..." Jeritku sambil tangan mengusap-usap dahi bekas sentilannya.

"Dari tadi di panggil-panggil bukannya nyaut malah ngelamun kamu. Anak perawan bangunnya siang-siang. Aduh... Apaan sih Rim pukul-pukul. Mau KDRT kamu sama suami."

"Nggak inget tadi yang nyentil aku duluan siapa. Lagian masih pagi juga bahas- bahas KDRT."

"Lagian ya Mas kamu itu lupa apa gimana, kita itu udah suami istri ya meskipun cuma di atas kertas aja tapi plisss tolong di ingat kalau di sini itu berbeda. Jadi jangan panggil aku anak perawan karena itu bisa membuat ibu curiga. Tau?"

"Mana ada udah suami istri berbulan-bulan tapi masih perawan aja kalau bukan aku." Aku masih menggerutu.

"Oh jadi ceritanya kamu pingin di perawani gitu. Oke mau sekarang atau nanti malem". Goda mas Raffi yang langsung ku balas dengan geplakan ke lengannya lagi.

"Aduh.." erang nya sakit dengan mengusap-usap lengan kanannya. "Hahaha.. gitu aja ngamuk orang bercanda aja juga."

Aku tak menanggapi, masih memberengut kesal. "Lagian ya Rim sampai tiba waktunya kita bercerai aku akan tetap menjaga kesucian kamu." Tambahnya.

Tak kami sangka, ternyata di balik luar pintu kamar yang sedikit terbuka ada ibu yang berdiri mendengar percakapan rahasia antara anak kandungnya dengan anak angkat yang juga berperan sebagai menantunya kini. Jika bukan suara bude Marwah yang memanggil mungkin kami akan meneruskan percakapan ini lebih jauh lagi.

"Lho anak-anak belum keluar tah Yuk, kok kamu berdiri ndek depan pintu gitu." Suara bude Marwah di susul suara langkah kaki tergesa-gesa membuat percakapan kami benar-benar berhenti. Mata kami saling memandang, layaknya lewat tatapan mata itu kami bisa menyuarakan kegelisahan yang tiba mendera.

*

Suasana meja makan sesuai dengan apa yang aku bayangkan tadi. Tidak ada lagi ramah tamah suara ibu yang menawarkan lauk pauk kesukaan kami. Bahkan bude Marwah pun ikutan bungkam suara. Keheningan ini sungguh sangat mengganggu. Suara dentingan sendok yang di taruh di piring kosong terdengar nyaring di susul decitan suara kursi menandakan salah seorang telah menyelesaikan sarapan pagi ini.

Ibu yang menjadi orang pertama melakukannya. Beliau berlalu ke arah dapur dan melanjutkan aktivitas mencuci piringnya. Aku menghela nafas menyesali setiap kata yang keluar dari mulutku sewaktu tadi di kamar. Ku tebak ibu pasti mendengarnya semua.

Acara sarapan pagi pun kami lanjutkan dengan mata menunduk ke piring masing-masing serta mulut yang tak henti mengunyah makanan hingga di piring habis tak tersisa.

Cuaca yang mendung dengan gerimis yang masih setia meneteskan airnya membuatku tak bisa kemana-mana seperti sekedar bertemu ketiga sahabatku. Padahal aku sudah rindu sekali dengan mereka. Memang kami janjian ketemuannya hari minggu besok, karena hari ini ku niatkan untuk bermanja sepuas-puasnya dengan ibu. Namun sepertinya Sang Pencipta tak merestuinya. Bukannya bermanja-manja yang ada sikap kami sekarang sedang merenggang.

Otak ku terus ku putar demi mencari cara agar kami bisa berbaikan. Karena tujuan kepulanganku ini ingin membabat habis rindu yang meraja rela. Bukan malah menciptakan tembok panjang yang membentang.

*

*

Malam harinya setelah kami makan malam bersama aku kembali masuk ke dalam kamar. Tentu saja kamar yang di tempati mas Raffi. Tidak mungkin aku merengek untuk tidur bersama dengan ibu lagi ketika hubungan kami masih merenggang begini. Lebih tepatnya ibu yang terlihat merajuk kepada kedua anaknya.

Jika ibu tidak sedang ngambek, aku pasti akan lebih memilih berlama-lama di luar dari pada masuk ke dalam ruangan dimana hanya ada mas Raffi di dalamnya. Karena apa... Ya tentu saja karena telinga ku sangat-sangat malas mendengarkan obrolan via telepon suamiku dengan istri keduanya itu. Huft...

Namun baru saja aku duduk dan menscroll layar handphone sudah diinterupsi oleh ketukan pada pintu kamar. Mas Raffi menoleh ke arahku mengisyaratkan agar aku segera membuka pintu kamar.

Setelah ku buka ternyata ibu yang berdiri di depan pintu kamar dengan membawa dua gelas minuman yang kulihat sekilas seperti minuman ramuan jamu tradisional.

"Mana mas mu. Panggil sini. Suruh minum jamu ini dulu sebelum tidur." Pinta ibu.

Aku yang sedari tadi mengamati nampan dengan dua buah gelas di atasnya mencium bau-bau kecurigaan tapi entah apa itu aku masih belum bisa menerka nya.




*

*
Bersambung. . .

Duhhh kira-kira si iboek ini bawa jamu apa an yeeee
Jangan-jangan jamu kuat tuh wkwkwk

Kepo in ke bab selanjutnya yukkks...
Jangan lupa kencengin juga bintangnyooo 🌟🌟💆💆

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang