Bab 2

2.2K 84 1
                                    


         Setelah ku rasa lebih tenang aku  langsung menuju ruang inap ibu. Perlahan ku buka pintu sambil mengucap salam. Ku lihat ibu sedang duduk bersandar di ranjang sambil menikmati saluran televisi.

"Bagaimana keadaan ibu, mana yang terasa sakit bu?, Kenapa tidak cerita tentang penyakit ibu selama ini ke Rima?", tanpa bisa ku cegah air mata kembali menetes.

"Ibu tidak apa-apa. Sudah dong jangan cengeng, anak gadis ibu nanti hilang kecantikannya kalau nangis terus." Elusan tangan ibu di kepalaku tidak menghentikan tangisku. Aku merasa bersalah karena kurang memperhatikan kondisi ibu selama ini.

------------------------------------------------------

Sudah dua hari ibu keluar dari rumah sakit, mas Raffi memustuskan untuk menginap di rumah ini. Ia rela menempuh waktu sekitar 2-3 jam berkendara ke tempat kerja karena masih mengkhawatirkan kondisi ibu.
Aku pun juga mengajukan cuti selama  4 hari ini, untung nya atasan ku pengertian orangnya.

Sekarang hari sabtu pagi aku bersiap untuk berangkat bekerja. Mas Raffi yang sedang libur bergantian denganku untuk menemani ibu karena kami masih ingin memantau kondisi ibu.
Fyi aku bekerja di perusahaan pendistribusian barang, jam kerja di tempatku hanya libur di hari minggu dan tanggal merah saja, jadi hari senin sampai sabtu kami tetap masuk dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.

Besok minggu nya aku kembali libur, kondisi ibu sudah lumayan kembali membaik. Dari pagi setelah sarapan kami semua berkumpul di depan teras. Aku yang sibuk dengan mencabut rumput lalu menyirami tanaman ibu, mas Raffi yang sibuk mencuci mobilnya dan motorku, sedang ibu duduk di kursi dengan senyum bahagianya.

"Ibu merasa senang melihat anak-anak ibu berkumpul semua begini. Gak terasa kalian sudah pada dewasa dan ibu semakin tua, tapi salah satu dari kalian gak ada niat kenalin calon mantu ibu nih", tanyanya sambih terkekeh.

"Iya harusnya mas Raffi dulu tuh bu yang harus kenalin kan sudah ada calon, kalo Rima belakangan aja" ucapku menimpali.

Aku merasa mas Raffi menatapku tajam, ada apa ini apa aku ada salah bicara, pikirku.

"Umur kamu itu udah 25, kata lainnya udah tua kalo di sebut jadi anak gadis" balasnya sambil melirik sinis ke arahku.

Ya, aku memang sudah 25 tahun dan mas Raffi 32 tahun kami selisih 7 tahun. Hari ku yang semula berseri menjadi mendung. Entah kenapa kalo mengungkit soal jodoh di umurku yg udah segini aku merasa sensitive. Apalagi sedang jomblo dari lahir pula sedih aku, bukannya gak laku sih sebenernya ada kalo temen deket cuma statusnya gak pernah naik pangkat ke pacar. Karena aku memegang prinsip untuk mempunyai pacar sekali saja yaitu lelaki yang kelak menjadi suamiku. Lebih aman mempunyai suami rasa pacar daripada pacar rasa suami bukan?.
Lagian jalan takdir siapa yang tahu?.

"Kamu sudah ada calon mas?" Tanya ibu ke mas Raffi.
"Bukan orang sama yang dulu pernah kamu kenalin ke ibu kan?, Ibu gak setuju kalau kamu masih tetap sama dia".

Jadi pacarnya mas Raffi pernah di kenalin ke ibu, kapan, kenapa ibu gak pernah cerita. Belum sempat aku mendengar jawaban mas Raffi, di depan pintu gerbang yang terbuka terlihat ada mobil merah berhenti.

"Halo.. selamat pagi sayang". Wanita dengan pakaian warna merah yang minim bahan, heels merah, serta pewarna bibir merah keluar dari mobil dan langsung menuju ke mas Raffi yang sudah berdiri dengan raut wajah syok.

Mula nya si wanita yang mendekat ingin mencium pipi mas Raffi, tapi langsung di cegah mas Raffi.
"Likke, ngapain kamu ke sini. Kenapa gak ngabarin aku dulu".

"Kan aku ingin ngasih kejutan ke kamu. Aku juga ingin lihat ibu kamu yang katanya sakit itu biar cepet sembuh, biar kamu gak bolak balik kerjanya jauh dan jadi gak ada waktu buat aku".

Aku terperangah, dimana letak sopan santun wanita itu. Kenapa bibirnya mudah sekali melontarkan kalimat itu tanpa mempedulikan keberadaan ibu dan aku.

Ku lirik ibu yang sedang acuh pada mereka berdua lalu beranjak dari tempat duduknya.
"Rima.. ayo masuk ke dalam lanjutkan nanti sore saja. Kunci pintu nya jangan biarkan tamu tak di undang itu masuk, kalo mas mu masih betah di luar biarin aja dia sekalian pergi sama pacarnya tapi jangan harap pintu rumah ibu kembali terbuka untuknya"

Seperti titah ibu, ku bereskan peralatan berkebun ku, mengabaikan mereka berdua lalu masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dan dapur sepi, sepertinya ibu sudah masuk ke dalam kamarnya. Aku pun juga bergegas ke kamar dan memilih mebersihkan diri terlebih dahulu sebelum mengecek ibu.

------------------------------------------------

Setelah mandi aku keluar kamar dan mendengar keributan antara ibu dan mas Raffi. Sepertinya wanita yang menjadi perdebatan ibu dan mas raffi sudah pulang. Aku memutuskan menjauh dari kamar ibu karena tidak berhak ikut campur.

2 minggu setelah kejadian itu kesehatan ibu mulai menurun. Sudah 3 kali ini aku pulang kerja mendapati ibu pingsan. Sejak perdebatan terakhirnya dengan ibu, mas raffi memang belum pernah muncul lagi ke rumah. Bahkan untuk sekedar menelpon menanyakan kabar pun tidak. Sepertinya kali ini mas raffi benar-benar marah. Merenggangnya hubungan ibu dan anak itu mempengaruhi kesehatan ibu. Aku yang khawatir segera ku kabarkan ke mas raffi tentang kondisi ibu saat ini.

"Bawa ibu ke rumah sakit, akan ku usahakan secepatnya menyusul ke sana". Singkat padat jelas, titah dari mas raffi tadi ketika ku telpon tentang kondisi ibu.

Setelah itu segera ku bawa ibu ke rumah sakit dengan bantuan tetangga. Dan sekarang ibu sedang tidur mungkin efek dari obatnya.
Mas raffi baru datang langsung menghampiri ranjang ibu, mengelus punggung tangan ibu dan menanyakan kondisi ibu 2 minggu terakhir ini.

Setelah ku ceritakan semuanya, kini mas raffi sedang menuju ruang dokter yang menangani ibu. Tadi sebenarnya dokter ingin menjelaskan tentang kondisi ibu kepada ku, namun aku meminta agar dokter menyampaikan langsung ke anak tertua ibu yaitu mas Raffi.

Sementara mas raffi menemui dokter, aku kembali duduk di samping ibu yang masih tidur, ku pandangi wajah tua yang sudah mulai nampak keriput itu.

"Aku menyayangi ibu, ibu harus sembuh. Rima akan melakukan apa aja asal ibu kembali sehat", lirihku sedih.

------------------------------------------------

Sudah dua jam lebih, ibu sudah siuman tetapi mas raffi belum kembali ke ruangan. Aku sudah menjelaskan ke ibu kalau mas raffi tadi datang dan sedang menemui dokter. Aku pamit ke ibu untuk keluar sebentar berniat untuk mencari mas Raffi.

Baru ku buka pintu ruang rawat ibu aku sudah menemukannya. Ternyata sedari tadi mas raffi duduk di depan kamar inap ibu, menumpukan kedua tangannya ke kaki sambil menundukkan kepalanya.

"Mas..." Ku sentuh pundahnya, mas Raffi terkejut dan mendongakkan kepala.

"Rim.. ibu rim.. kata doker kankernya udah masuk stadium akhir, peluang sembuhnya tidak ada 50%." Jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Bersambung. . .

Part selanjutnya masih agak mellow kayaknya.
240422. 1075 kata

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang