Berakhir

538 15 0
                                    

Halimah yang berurai air mata karena tidak tahan bagaimana orang-orang itu memperlakukan Dyas begitu buruk, tidak bisa berkata apa-apa lagi.

" Kami rundingkan dulu dengan Dyas pak Ramelgia " kata Danu mengambil alih, wajahnya pucat .

" Mas Danu " kata Ramelgia tersenyum memandang dingin Danu " Jangan pernah nurutin anak umur belasan tahun, lihat saya. nggak mikir panjang nikahkan Anjas kemarin, kan jadi begini--- keputusan kalian saja "

" Keputusannya ada pada Dyas, dia yang hamil " ucap Danu tak kalah dingin. " Kalau tidak ada lagi, mana barang-barang Dyas ? "

" Mas Danu kita selesaikan ini baik-baik--- ayolah. Mas kan punya anak, saya juga, kenapa nggak ngerti ? "

" Saya nggak ngerti ! kami nggak ngerti. Dyas apa lagi. Sedikit pun kami nggak berniat datang ke sini, kalau bukan ngambil barang Dyas. Keputusan Dyas, dia ingin anaknya tidak mengenal Anjas, itu katanya. Umurnya baru tujuh belas tahun, harusnya kuliah, tidak akan hamil kalau bukan karena anak anda "

*******

 Bagaiman ia bisa melupakan Dyas, wangi tubuhnya saja masih terpantri jelas dalam ingatan, setiap kali merapalkan namanya, Anjas mengingat jelas setiap jengkal tubuh gadis itu, masih mengingat rasanya merengkuh Dyas ke dalam pelukan. Kalau saja merindukan Dyas akan sesakit ini, Anjas menyesal pernah menyakiti gadis itu, ingin ia memutar waktu, akan ia perlakukan Dyas selembut dan sebaik mungkin.

Dan andai mereka tidak pernah bertemu, mungkin Anjas tidak akan sehancur ini. Kalau saja, ia tahu gadis seperti apa Dyas sebenarnya, ia tida akan jatuh cinta, tidak membiarkan perasaanya jatuh sedalam ini. Kenapa dia harus mengangumi kepolosan dan kesucian hidup Dyas jika sebenarnya itu tidak berarti, kenapa dia harus berjuang sendirian untuk membahagiakan Dyas selama ini, kalau Dyas memiliki rencana masa depan sendiri. Gadis itu pergi, meninggalkannya begitu saja tanpa alasan apa pun.

Tahukah Dyas, ia sangat menderita. Tidak semua orang bisa menerima hal semacam ini, tidak semua orang sekuat dan sedingin gadis itu, dengan mudahnya membuat orang lain jatuh cinta lalu meninggalkannya begitu saja. Tidak bisa seperti Dyas yang mudah melupakan, tapi Anjas masih berada di tempat, dengan segala kenangan dan mengharap Dyas kembali.

Anjas menghembuskan napas kasar, ia sadar apa yang di lakukannya. Jemarinya terus menekan layar bagian atas, segala kenangannya bersama Dyas dalam bidikan kamera itu terhapus satu-persatu. Setelah memastikan tidak ada lagi wajah Dyas tertinggal di sana, Anjas bangkit berdiri. Melangkah masuk ke dalam rumahnya, mungkin tidak akan kembali lagi ke taman itu. 

****

" Aku nggak mau ketemu dia " kata Dyas dengan suara bergetar.

Halimah menghdapa lemari pakaian yang terbuka, menyiapkan pakaian yang pantas untuk Dyas seketika berbalik badan. Dadanya sakit, perasaanya hancur menatap Dyas berdiri terpancang berurai air mata, nampak menderita.

" Aku nggak mau ketemu dia " Dyas memohon.

Meski tersiksa melihat keadaan Dyas saat ini, Halimah berusaha kejam. Ia mendekati Dyas, mendudukan anak itu di pinggir tempat tidur, Dyas menangis terisak-isak, menggeleng lemah berharap Halimah mengerti perasaanya .

" Yas, aku ngerti perasaan kamu. aku ngerti " ucap Halimah kasar menyebut dirinya sendiri aku untuk pertama kalinya di hadapan Dyas.

" Perasaanku lebih hancur Yas, tapi kupaksakan. Aku juga nggak sanggup ketemu orang yang menghancurkan hidup putriku, aku juga nggak sanggup. Tapi mau bagaimana lagi, kalau dulu aku nggak bisa menyelamatkan Delia, gagal jadi orang tua. masa aku diem aja lihat hidup kamu hancur juga. Nggak kubiarkan keluarga Buk Pramesti memperlakukan kamu begini " Halimah menangis tegar.

Dyas menutupi mulutnya, Terguncang mendengar penuturan Halimah.

" Kusingkirkan dendam selama belasan tahun , aku minta maaf sama Delia, aku nggak tahu perasaanya kalau lihat musibah ini. Tapi kuharap dia ngerti " Halimah meratap memandang langit-langit kamar, seakan wajah putrinya ada di atas sana.

" Temui dia Yas, cium tangannya. Bagaimana pun, Thomas itu bapak kandung kamu " kata Halimah memalingkan wajahnya, pedih sekali hatinya saat mengatakan itu.

" Dia bisa bantu kamu, dia bisa ngeluarin kamu dari masalah ini Yas " kata Halimah mengusap air mata, seolah tidak terjadi apa-apa, ia bangkit kembali ke depan lemari, mengambil baju Dyas, meminta anak itu mengganti pakaian.

Halimah kejam, menyongsong Dyas yang mengenakan kemeja panjang dan rok panjang ke ruang tamu. Tempat Danu menyambut Thomas dan Sofia. Danu yang mengerti langsung mengambil alih membawa Dyas, tangis Halimah pecah kembali berjalan ke belakang mendengar suara histeris Dyas di dalam pelukan Thomas.

Halimah rela menyingkirkan sakit hati, benci dan dendam. Melepaskan Dyas, anak itu tidak akan menderita kalau ayahnya datang dari awal. Sekarang di sanalah Dyas pulang, ke tempat yang pantas, semoga Dyas senantiasa baik-baik saja pikirnya. 

*****

" Makasih Om Thomas, Tante Sofia pulang ya " pamit Dyas.

" Iya sayang, ingat Yas. Besok jam tujuh malam sudah siap-siap " kata Sofia ceria.

Dyas mengangguk, mengambil dua paper bag berisi makan malamnya dan botol minum baru pemberian Sofia.

" Kalian mau ke mana ? " tanya Thomas menatap Sofia.

" Girls's Bussines honey " jawab Sofia genit.

Dyas senyum menahan tawa setiap kali melihat kelakuan Sofia, beralih pada Thomas yang kebingungan, Dyas tidak mengatakan apa pun karena Thomas tidak bertanya padanya.

Dyas turun dari mobil menenteng paper bag, melambaikan tangan pada Sofia yang mengucapkan selamat tinggal dari kaca mobil yang terbuka. Ia melangkah masuk lobi apartemen saat mobil Thomas melaju. Setelah menekan tombol yang di apit dua pintu lift, Dyas berharap salah satunya cepat terbuka karena ia harus ke kamar mandi untuk buang air kecil.

Pintu terbuka, Dyas mengangkat wajah. Membeku seketika, tidak bisa bergerak. Di sana berdiri pria jangkung, mengenakan kemeja batik hitam berlengan panjang, rambutnya di cukur rapi, kedua tangannya tersimpan di masing-masing saku celana bahan hitam, sangat tegap menatap ke arah depan seolah memang sedang menunggu pintu terbuka. Sangat persis yang dikenali Dyas selama ini, pria itu juga menatapanya, membeku terkejut, tatapan matanya berubah tajam mengancam. Tapi Dyas benar-benar tidak bisa bergerak, bertampang bodoh matanya bergerak baru menyadari di samping Anjas seorang gadis yang ia tahu bernama Gisca, menunduk sedang memainkan ponsel, mengenakan kebaya kuning muda.

Jantung Dyas berdebar dua kali lebih cepat. Menghidupkan sirine peringatan, Dyas terkesiap sadar. Anjas seakan melompat dalam beberapa langkah panjang, hendak menghantam pintu lift yang seketika tertutup dengan sendirinya. Dyas memekik histeris berlari masuk ke dalam lift sebelah yang terbuka, menekan tombol serampangan membabi buta. Tapi terlambat, pintu lift tidak tertutup sesuai keinginannya yang ketakutan, Anjas berhasil masuk menydutkan Dyas ke dinding. Memeluk perut besarnya, ia memilih menunduk memejamkan mata, pasrah tidak ingin melihat apa pun, kecuali merasakan tubuh besar Anjas mengukung tubuhnya. Tubuhnya panas dengkul Anjas di tengah pahanya yang terbuka, merasakan pria itu merunduk. Anjas mencengkram lengannyya kasar.

" Ngapain lo di sini. JAWAB ! " bentak Anjas mengebrak dinding di samping kepala Dyas. 

******

Lanjut karyakarsa ya gaess harganya murah, 20 halaman word. 


Pernikahan DYASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang