Nisa terbangun dan mendapati Eza masih terlelap di sampingnya. Ia segera meraih ponsel dan menatap layar.
"A Eza bangun. Udah pagi." Nisa panik. Karena yang ia tahu seharusnya mereka bangun lebih awal agar Eza bisa berangkat sebelum azan subuh berkumandang.
"Hmmm...." Eza menggeliat.
"Bangun. Cepetan siap-siap." Nisa mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki itu. "Ehh...." Nisa membulatkan mata saat Eza malah menariknya dalam pelukan. "A Eza."
Eza tidak menyahut tapi ia kunci Nisa dalam dekapannya. Dikecupnya puncak kepala Nisa.
"A..." Lirih Nisa berdebar.
"Kamu mau mandi duluan?" Tanya Eza kemudian.
"A Eza aja duluan. Kan harus..."
"Aa ke Jakarta nanti sore."
"Hah?! A Eza nggak kerja?"
"Izin. Aa ada urusan dulu. Ayo sana siap-siap ngantor." Ujarnya bernada perintah.
"Iya tapi lepasin atuh." Pinta Nisa yang mana ia masih dikunci dalam pelukan Eza.
"Cium dulu."
"Genit." Cetus Nisa.
"Cium dulu." Desak Eza.
"Kata Ibu juga tolak aja kalau A Eza minta apa pun." Ujar Nisa yang teringat pesan Winda semalam. Sontak itu membuat Eza terdiam. Perlahan pelukannya melonggar. Hatinya mendadak tidak karuan. Nisa sedikit mengernyitkan kening.
"Ya udah aku mandi dulu." Pamit Nisa sembari mengecup pipi kiri Eza. Eza hanya mengangguk sekilas.
***
Mereka? Nggak kan?! Tapi Eza... Terus kancing piyama Nisa? Winda menggelengkan kepalanya berkali-kali tanda ia menolak untuk menerima kenyataan yang ia lihat semalam.
"Nis, Aa yang pegang ya kartu aksesnya. Nanti siang pas urusan Aa selesai, Aa stay di sini sambil nunggu sore."
"Iya."
"Ya udah ayo Aa anter kamu ke kantor."
"Iya."
Semalam, sepanjang Nisa menerima video call dari Winda pikiran Eza bekerja. Ia mengingat-ingat siapa saja yang kira-kira ia rasa bisa membantunya. Ya membantunya menyelesaikan masalah yang Winda hadapi. Bukan karena ia peduli pada Winda tapi ia takut jika Angga yang menyelesaikan, ada jasa yang harus dibayar. Dan ia takut imbalannya itu adalah Nisa. Entah mengapa tapi itu yang terpikir olehnya.
"Ya Allah Eza, apa kabar?"
"Gini aja."
"Ada apa nih? Kaget pagi-pagi didatangin sama manager perusahaan gede."
"Ahh lu. Ehh gue mau minta tolong."
"Tolong apa?"
Eza pun menceritakan masalah Winda pada Wili, teman SMA Eza yang kini menjadi pengacara di kota Bandung.
"Lemah ya secara hukum." Ujar Wili.
"Tapi bisa nggak nyokap yang menang?"
"Kecil kemungkinan. Kecuali mau nego sama pihak yang mempermasalahkan."
"Gitu ya?!"
"Kenapa atuh ceroboh?!"
"Biasa tergiur harga miring, mana di daerah strategis. Tapi meyakinkan sih makanya nyokap iya-iya aja. Ehh nggak taunya harta warisan yang belum jelas pembagiannya."
"Naah itu."
"Cuma nego?"
"Ya paling aman itu. Kalau kata gue sih ya?!"
"Oke, gue cari info dulu ke mana kita harus nego."
"Oke."
"Thanks banget lho. Tapi kalau misal nanti gue udah tahu, lu bisa kan dampingin gue? Gue nggak paham soal hukum."
"Siap. Gue dampingin."
***
Selepas dari kantor Wili, Eza menancap gas menuju rumah Suryana dan Euis. Pasangan lanjut usia itu saling tatap menyambut kedatangan sang cucu di hari kerja. Tidak seperti biasanya.
"Lhoo... Tumben. Cuti, Za?" Tanya Suryana.
"Izin."
"Dari Jakarta langsung?"
"Kemarin sempet ke Sukabumi dulu. Ibu dirawat."
"Ibu kamu dirawat? Sakit apa?" Tanya Euis cepat.
"Kecapekan sama stress."
"Ya ampun." Ucap Euis sedikit banyak khawatir pada kondisi putrinya itu.
"Ayo masuk, Za." Suryana merangkul Eza. Ia merasa cucunya datang dengan membawa masalah yang hendak ia bagi pada dirinya juga Euis. "Tapi kamu baik-baik aja kan?" Tembak Suryana.
"Ki, Eza bisa numpang nikah di sini nggak?"
"Numpamg nikah?" Baik Suryana maupun Euis mengernyitkan kening.
"Iya nikah secara agama gitu. Jangan rame-rame, cuma akad aja yang penting sah dulu."
"Kenapa diam-diam terus nikah siri?" Tanya Euis tidak mengerti.
"Nisa masih ada kontrak, Nin. Dia nggak boleh nikah sebelum kontraknya selesai."
"Apa nggak sebaiknya nunggu kontrak Nisa selesai? Emang kapan itu kontrak selesainya?" Tanya Suryana.
"Masih lama, Ki."
"Ada apa? Sampai pengen cepet-cepet gitu?" Eza terdiam sedang Suryana dan Euis tetap menunggu jawaban dari Eza.
***
"Assalamu'alaikum."
"Waa'alaikumsalam." Balas Winda. "Ehh Angga. Masuk."
"Maaf Angga ganggu."
"Nggak kok, Ga." Geleng Winda. "Ayo."
"Angga mau nanya-nanya ke Tante. Boleh kan?"
"Tanya apa, Ga?!"
"Soal tanah itu. Angga pengen tahu kronologis yang rinci biar Angga tahu dan paham."
"Ohh boleh." Angguk Winda.
"Emang kemarin Tante sempet cerita tapi kayaknya masih general. Pengen lebih rinci aja." Papar Angga.
"Boleh... Boleh...." Ujar Winda yang kemudian menceritakan secara rinci dari awal ia tertarik sampai akhirnya transaksi itu.
***
"Pak....?!" Kalimat Euis menggantung saat mereka berdua tengah mengobrol berdua selepas Eza pamit.
"Kita denger versi Winda. Siapa tahu salah paham."
"Kalau iya teh tega si Winda. Segitu tau anaknya udah jatuh hati pisan ke Nisa. Pantesan Ibu ngerasa dia setengah hati."
"Udah, kita tanya Winda dulu aja biar tahu versi Winda."
Suryana langsung menelepon Winda bertepatan dengan Winda yang baru saja melepas Angga pergi. Suryana selain menanyakan kabar Winda juga menanyakan kabar mengenai Eza dan Nisa.
"Eza ke situ barusan? Emang dia nggak kerja?" Winda balik bertanya saat ayahnya batu saja melontarkan pertanyaan padanya.
"Izin katanya."
"Ya ampun." Winda geleng-geleng kepala.
"Dia ke sini bilang mau numpang nikah."
"Nikah?! Kan Nisa masih kontrak."
"Iya katanya nikah siri aja dulu."
"Ya emang sih harus kayaknya. Mereka udah kelewatan."
"Maksudnya?" Suryana tercekat. Sedang Euis tiba-tiba saja mengernyitkan kening.
"Pak, boleh Winda minta tolong?"
"Tolong apa?"
"Tolong urus soal nikah siri Nisa dan Eza? Nggak usah rame-rame takutnya pihak kantor Nisa curiga. Winda lagi nggak bisa urus soalnya. Winda lagi banyak masalah. Tapi Winda juga merasa punya tanggung jawab terhadap mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Jodohmu
RomanceKalau sudah jodoh, bagaimana pun ceritanya pasti akan bersatu. Tapi benarkah kamu jodohnya aku? Happy Reading ❤️