22 : Lidah Pembawa Bencana

880 127 102
                                    

-Happy Reading🌷-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Happy Reading🌷-

"Apakah ada tren terbaru? Baju mu memiliki jahitan payet dan sedikit renda-renda," tanya seorang gadis dengan pandangan meneliti pada kostum panahan temannya.

Sang teman menanggapi dengan gerakan berputar layaknya putri kerajaan yang tengah memamerkan gaunnya. "Tidak tahu sih, aku modif sedikit. Bagaimana, apakah indah?" tanyanya balik.

"Ooh begitu ya...benar...mungkin cukup indah (?)"

"Tentu saja! Seleraku tidak usah diragukan!"

"Bukankah ia Si Tamara-Tamara itu? Padahal bajunya sangat tidak cocok di kondisi sekarang." bisik Jean ke telinga Sophia sembari menatap ogah-ogahan pada salah satu peserta yang terkenal problematik itu.

"Benar sekali, meskipun aku kurang pandai soal busana. Tapi bajunya biasa saja tuh." balas Sophia dengan mata mendelik.

"Soph, aku bisa membuat yang lebih cantik tau. Tapi inikah bidang olahraga ya, apa dia mau melakukan jamuan teh dengan renda-renda lebay semacam itu? Pake payet lagi, mau pergi pesta?" lanjut Jean semakin gencar.

"Kalian tau? Kalian sangat mirip ibu-ibu penggosip." tukas Jolanka seraya bersedakap dada sembari memandang kasihan pada dua temannya.

"Hey Nona Jo, kenapa kau memandang kami dengan tatapan remeh seperti itu? Kami hanya menggunakan hak asasi kami untuk berpendapat." ujar Jean,

"Kalian seperti komentator yang panas hati, Jean." balas Jolanka.

"Enak saja, tidak ya!", Jean menekuk alisnya cemberut.

"Ayo Sophia, kita tinggalkan saja Jolanka. Ia tidak berbakat jadi Ibu-Ibu sosialita nih."

Sophia turut mengangguk-anggukan kepalanya setuju. Kemudian dengan cepat ia menggandeng teman rumpinya pergi mendahului Jolanka.

Lagi-lagi Jolanka menatap kasihan pada punggung kedua gadis itu yang mulai berada agak jauh dari tempat ia berpijak. "Wah...kenapa bisa modal otak anak-anak semacam mereka berhasil lolos babak ketiga ya? Keren sekali..."

Setelah mengucapkan kalimat ejekan tersebut, gadis semampai itu menyusul kedua teman tersayangnya yang sangat gemar melontarkan gosip.

Dasar titisan lambe turah!

👑👑👑

Pagi ini sepertinya kicauan burung tidak lagi terdengar seperti melodi lagu yang menenangkan hati. Terik panas matahari kian menjadi cemooh-an gadis-gadis muda yang kini sedang berbaris rapih di tengah lapangan seraya menunggu pembicara membuka kegiatan perlombaan.

Hari yang cukup memacu jantung untuk berdetak tak se-normal ketika mereka menikmati hidangan istana malam pertama menginap di Kerajaan. Tak heran mengapa sedari tadi banyak yang bercucuran keringat hingga menyebabkan dandanan mereka sedikit luntur. Babak ketiga berisi perlombaan anak panah yang begitu awam dilakukan para putri kerajaan yang hobinya lebih terarah pada benda berkilau dan mahal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Crowns For Nine PrincessesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang