11 - Rumah 13.35 -

15 7 8
                                    

"Halo buk..."
"Eh iya Ric... kamu sedari kecil memang..."
"Memang kenapa buk?" Tanyaku.
"Kamu sedari kecil memang bisa melihat apa yang harusnya nggak kita lihat Ric...
Kamu juga sering tiba - tiba ngomong sendiri seolah ada lawan bicaranya... kamu juga kadang ngobrol sambil megang sesuatu yang nggak ada, kayak gandengan tangan..." jawab ibuk.

Aku sebenarnya sudah tahu kalau aku memang bisa melihat yang seharusnya tidak terlihat, tapi baru kali ini mereka bertingkah agresif dan bahkan ingin membunuhku? Eh atau minta tolong? Memang makhluk seperti mereka itu tidak bisa dipercaya sama sekali. Biasanya yang sering bertemu denganku hanya mengajakku ngobrol seperti orang biasa jadi tidak terlalu mengganggu ku, hanya saja saat mereka mengajakku untuk ikut dengan "mereka" selalu ku tolak.

"Rico? Kamu nggak apa - apa le?"
"Eh... iya buk, nggak apa - apa buk... doain Rico terus ya buk, ibuk juga nggak perlu khawatir sama Rico" jawabku.
"Iya le... pulang aja kalau memang udah nggak kuat" kata ibuk.
"Iya buk, makasih buk... Rico tutup dulu ya buk teleponnya" kataku.
"Iya Ric, hati - hati di sana" kata ibuk.

Aku mematikan sambungan teleponku dengan ibukku. Aku melihat ke arah kanan - kiri, kulihati dinding ruang makan yang menjadi satu dengan dapur itu, kulihat pantulan sinar dari jendela yang menghadap langsung ke jalan besar itu. Semuanya tiba - tiba membuatku tidak nyaman, rumah ini sudah bukan rumah lagi bagiku. Bulu kudukku tiba - tiba berdiri, apakah mungkin ada kejadian menakutkan di siang hari yang cerah ini?

Aku langsung mengambil ponsel yang ada di atas meja dan pergi ke kamarku. Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan badanku di kasur. Saat aku menghadap ke langit kamar, tiba - tiba aku teringat dengan telepon yang aku terima di rumah sakit. Telepon apa itu? Aku disuruh mengecek kasur ku? Bagian bawah kasur ku memang bolong dan aku mengisinya dengan kardus dan beberapa barang yang jarang aku pakai. Mataku tertuju ke satu benda tajam yang tergeletak begitu saja. Pisau, ya benar itu pisau dengan bilah yang tajam seperti baru di asah. Aku merasa tidak memiliki pisau itu dan anehnya lagi pisau itu tergeletak begitu saja di bawah kasurku.

***

Pria itu barusan memotong tali menggunakan pisau yang baru saja dia asah dan mengikatkan tali itu di langit - langit kamar milik perempuan itu. Perempuan yang sudah tidak berdaya itu langsung diikat lehernya menggunakan tali yang sudah menggantung itu. Pria itu tertawa puas sekali melihat hasil "prakarya"-nya, mencekik perempuan itu sampai mati dan menyisakan bekas memar serta membuat seolah ini adalah kejadian bunuh diri. Agar semua terlihat meyakinkan, pria itu memberikan kursi kecil di dekat tubuh perempuan yang menggantung itu.

***

"Hmm pisau apa ini? Aku kan nggak pernah punya pisau yang kayak gini, besar banget dah"

Aku pun membawa pisau itu ke dapur dan meletakkan pisau itu bersama benda tajam lainnya. Aku kembali merebahkan tubuhku di kasur setelah sampai ke kamar lagi. Hari ini benar - benar membosankan karena aku masih harus istirahat di rumah dan masih belum boleh masuk kerja.

"Ring... ring... ring..."

"Halo Mas Aron?"
"Halo Rico, kamu udah di rumah?"
"Iya mas udah, ada apa mas?" Tanyaku.
"Ohh nggak apa - apa Ric, kamu udah baikan?" Tanya Mas Aron.
"Udah mas, ini juga masih istirahat sesuai anjuran dokter" jawabku.
"Oh oke Ric... kemarin kamu pasti bosen banget ya soalnya di ruangan itu cuman ada kamu hahaha, tapi aneh banget deh soalnya jarang - jarang kan rumah sakit tu ada yang kosong ruangannya berasa kayak kamar VIP hahaha" kata Mas Aron.
"Hah? Aku di ruangan sendiri?" Tanyaku.
"Lah iya kan Ric... kemarin di ruangan itu cuman ada kamu, makanya kemarin kita bisa agak rame - rame dikit" jawab Mas Aron.
"Hah?? Bukannya kemarin sebelah ku ada bapak - bapak ya mas?" Tanyaku lagi.
"Hah, ngaco kamu Ric jelas - jelas kemarin tu ruangan kosong cuman ada kamu loh" jelas Mas Aron.
"Halu deh kamu kayaknya, udah istirahat lagi aja... ohya aku telepon karena mau kabarin kalau kamu hari ini nggak perlu berangkat kerja dulu, besok kalau mau izin juga masih boleh kok" kata Mas Aron lagi.
"Oh oke mas, makasih buat infonya ya mas" kataku.
"Iya Ric, aku tutup ya teleponnya"

Telepon itu terputus meninggalkan ku dengan banyak pertanyaan. Jadi bapak - bapak yang kemarin itu bukan manusia? Jadi lagi - lagi aku berkomunikasi dengan "yang seharusnya tidak terlihat"? Lalu kenapa bapak - bapak itu bilang ke aku kalau dia melihat aku seperti dicekik? Ohh... aku kecekik di malam kedua, apakah "bapak" itu memberiku suatu pesan?

"Kak Rico... kamu sudah lihat pisau itu?"

Bulu kudukku langsung berdiri saat aku mendengar suara gadis itu. Suaranya tidak ada di samping atau di belakang ku tapi suara itu seperti menggema di otakku. "Hahh... perempuan itu datang lagi" pikirku sambil berusaha menyingkirkan sisa gema suara "perempuan" itu.

"Kak Rico... tolong kami, tolong"

"NGGAK! Aku nggak bakal nolong kamu dan siapapun itu!!" Teriakku ke entah siapapun itu.

Tidak ada suara yang menggema itu lagi. Tapi tiba - tiba buku yang ada di mejaku jatuh begitu saja ke lantai seperti ada yang melemparnya.

"HAH?! Sekarang kamu marah?! Gimana aku yang manusia ini bisa percaya sama hantu yang suka manipulasi?!?"

"AKU JUGA PERNAH JADI MANUSIA"

Hantu perempuan itu teriak dan suaranya kembali menggema di kepalaku. Aku menutup telingaku menggunakan tanganku tapi usahaku itu sia - sia saja karena aku masih mendengar teriakannya yang memekik di telingaku. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan terjadi jika aku terus menolak hantu ini? Apa aku harus membantu hantu ini?

THE CALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang