Seven

843 224 27
                                    

"Ma... aku mau ngomong, boleh?" tanya Eza saat menemui mamanya di rumah setelah dia pulang kerja.

"Kamu udah makan belum?" tanya mamanya.

"Udah tadi sore. Dapet banyak cemilan pas rapat jadi masih kenyang," tolak Eza halus.

"Belom makan berat, kan, tapi? Makan dulu sana! Nanti masuk angin!" omel mamanya yang langsung melangkah menuju dapur dan mengambilkan nasi lengkap dengan lauk pauk untuk anak semata wayangnya.

Dia menunggui Eza makan sampai tidak ada butiran nasi yang tersisa di piringnya.

"Kamu mau ngomong apa memangnya? tanya mama Eza.

"Mama tau kan aku dapet beasiswa dari kantor?"

"Iya... kamu mau ninggalin mama pergi jauh. Padahal sekarang aja kita susah ketemu. Makin susah mama nengokinnya kan, Za!" gerutu mamanya.

Tersenyum Eza menjawab. "Seenggaknya mama sama papa masih bisa nengokin minimal setahun dua kali. Sekalian liburan yang lama, lah, kalau dateng ke sana."

"Iya... terus kenapa?" tanya mamanya lagi.

"Aku mau ngelamar Putri, ma.... Aku mau bawa dia ke sana. Atau seenggaknya nanti Putri bisa nyusul aku di tahun ke dua. Yang jelas aku mau ngeresmiin hubungan aku sama dia," ucap Eza berhati-hati.

Dilihatnya sang mama hanya diam saja. Tak menjawab namun, tak menatap wajahnya.

Bukan Eza tidak merasakan keberatan yang terpancar dari diri mamanya acap kali dia membawa Putri datang walau dia juga tahu mamanya bersikap sesopan mungkin terhadap kekasihnya. Tidak pernah menyatakan keberatan secara terang-terangan. Lagipula Putri juga orang yang sangat tahu sopan santun dan tata krama yang baik saat berhadapan dengan orang tua. Eza pikir, mamanya akan melunak mengingat mereka sudah menjalin hubungan nyaris 8 tahun lamanya.

"Gak usah terburu-buru bisa kan, Za? Kamu baru 25, loh! Siapa tau nanti di sana kamu ketemu orang baru...." ucap mamanya gusar.

Eza berdecak sebal. "Ma, kalau aku memang berminat sama orang baru, dari sejak aku di Bandung, aku sama Putri pasti udah bubar jalan duluan! Tapi enggak, kan? Delapan tahun loh, ma! Aku setia sama dia, dia juga begitu ke aku...."

"Ya jelas dia setia dong, Za... kamu kan kaya!"

"What???" Eza ternganga tak percaya. "Mama serius mikir kalau dia bertahan sama aku hanya karena mama sama papa punya uang banyak? I just can't believe it!" seru Eza sambil menggeleng muak.

"You know, ma... aku sama dia setiap jalan selalu share bill karena dia selalu nolak kalau aku ngotot bayar semua. Dari duluuuu, ma!! Saat dia ngerasa keuangannya lagi cekak, dia akan bilang jujur ke aku dan nolak ajakan aku untuk jalan! Jadi aku akan dateng ke rumah dia, numpang makan di sana! Apalagi sejak dia kerja. Gak pernah selama 8 tahun ini aku dengar dia merengek minta apapun ke aku. Setiap kali aku ngasih dia hadiah kejutan, dia akan balikin ke aku dengan hadiah lain yang nominalnya menyerupai! Mama tau gak kenapa dia bersikap setegas itu?? Karena dia malu kalau sampai orang-orang beranggapan dia manfaatin aku!" seru Eza berapi-api.

"Belum apa-apa aja dia udah bikin kamu nentang mama, Za! Kamu pindah kerja pasti karena dorongan dari dia juga kan?" sambar mamanya kesal.

"Loh, kok mama malah bahas yang gak ada kaitannya, sih? Aku yang gak mau kerja sama papa, kok. Aku mau usaha berdiri di kaki aku sendiri itu gak ada kaitannya sama sekali sama Putri!"

"Sudahlah, Za... mama gak setuju. Papa juga! Selama ini kami diam karena kami pikir itu cinta monyet aja... kamu belum lihat dunia lebih luas lagi sampai stuck sama satu orang aja. Iya mama tau dia cantik, manis... tapi yang begitu doang di luar sana masih ada banyak, Za... yang papanya gak kabur ninggalin keluarganya. Ini kamu pacaran sama orang yang punya rumah aja enggak, loh! Nanti kamu kalau nikah sama dia apa gak repot harus nanggung keluarganya juga? Kamu gak kasian sama mama kalau dapet besan yang gak satu level begitu?"

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang