Eighteen

810 201 30
                                    

"Bentar ya, Beb... aku ngecek susu dulu." Reinald berdiri untuk mengecek botol berisi ASI yang sedang dihangatkan. Dia menuang sedikit ke tangannya, memastikan suhunya sesuai baru setelahnya dia pergi ke kamar Rena untuk mengambil Rehan.

Putri tersenyum kecil memerhatikan Reinald yang bisa mengurus keponakannya dengan sangat baik menggantikan Rena yang pergi belanja ke pasar bersama ibunya.

Reinald kembali bersama Rehan di tangannya dan mulai memberikan susu untuk makhluk mungil itu. "Untung dia anteng, beb... cuma kenapa sih harus mirip bapaknya?" gerutu Reinald.

Putri tertawa lepas. "Ya kan bapaknyaaa!! Seenggaknya Arga cakep, kok. Gak akan failed lah gedenya Rehan nanti."

Reinald menyampirkan handuk kecil di bahunya, membantu Rehan untuk bersendawa setelah minum susu kemudian menimangnya sejenak sampai dia terlihat mengantuk sebelum bangkit dan menidurkannya kembali ke baby crib.

"Kamu tuh layak dapet award uncle of the year, Beb!" puji Putri saat Reinald kembali ke sofa dan merebahkan kepalanya di pangkuan Putri.

"Ya gapapa, lah. Itung-itung latihan buat ntar...." jawab Reinald sekenanya.

"Hmppphhh... sama siapa???" ucap Putri.

"Ya sama kamu, lah...."

"Aku kan gak pernah bilang kalau aku mau punya anak."

Terdiam, Reinald tiba-tiba saja bangun dan menatap Putri tajam. "Serius?"

Putri mengangguk meyakinkan. "Gak pernah menganggap bayi itu menarik. Walau gak pernah benci juga. Aku cuma gak punya keinginan untuk mengurus dan membesarkan anak aja."

"Aku gak pernah tau kamu punya pemikiran begitu...." tuntut Reinald yang baru pulih dari rasa terkejutnya.

"Karena kita gak pernah bahas sebelumnya, Beb. Menurut kamu kenapa coba aku beli apartemen satu kamar tidur aja walau sebetulnya aku masih bisa beli yang dua kamar?

Selain karena lebih murah ya... padahal aku juga udah tau kalau apartmen akan sulit buat disewakan atau dijual di zaman sekarang. Not good investment lah kalau gak dipake jangka panjang.

Ya sebetulnya karena aku berniat tinggal sendiri aja. Berdua maksimal...." jelas Putri.

Kening Reinald berkerut dan ekspresinya terlihat tidak suka. "Ini kamu ikut-ikutan trend childfree atau gimana?"

Tertawa, Putri langsung membantah. "Sejak kapan aku suka ikut-ikutan trend, sih? Aku mikir begini udah lama banget, kok. Dari sebelum kita bareng juga udah mikirin. Tadinya aku pikir makin tua pemikiranku akan berubah. Main sama keponakan bikin aku ngerasa, oh.. baby is fine... kids will make me happy... tapi ternyata makin ke sini pikiranku malah makin bulet."

"Kasus Rena bikin kamu makin takut ya?" tanya Reinald berhati-hati.

"Ya enggak, lah! Gak cuma Rena maksudku. As you know, Rei... aku dan kakakku adalah produk dari kegagalan orang tua kami. Ya jangan dilihat sekarang gimana... coz we're doing fine setelah semua struggle yang terpaksa kami jalani. Tapi perjuangan sebelum sampe ke titik ini harusnya gak dialami anak manapun. Berjuang sendirian itu melelahkan, Rei.

Aku sama kakakku harus belajar mati-matian setiap hari demi cari beasiswa karena kami tau kalau kami gak belajar sekeras itu ya pintu kesempatan kami buat mengubah keadaan akan ketutup sepenuhnya. Mamaku kerja mati-matian nahan hinaan dari sana-sini dan kakakku nyambi macem-macem pas kuliah supaya bisa ngasih aku kesempatan untuk les bahasa Inggris karena mereka anggap itu akan berguna banget buat aku ke depannya. Well it works. Aku sering dikirim untuk ikut lomba bahasa inggris dari sekolah dan aku menang! Uang hadiahnya aku kumpulin untuk biaya tambahan pas kuliah. Aku juga jadi tutor, ambil job freelancer online, ikut survei ini-itu buat tambahan uang saku. Basicly aku sebisa mungkin membiayai diriku sendiri sejak dini. It wont happen seandainya papaku punya sedikit aja rasa tanggung jawab sebagai orangtua.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang