Nadia
Sesuatu mengelitik tenggorokannku, rasa haus benar-benar membakar tenggorokanku saat ini. Aku butuh minum iya aku butuh segelas air. Kupaksa kedua mataku untuk terbuka sekarang. Rasanya kepalaku begitu pusing saat ini. Dan aku bertanya-tanya dimana aku sekarang? Aku membuka kedua mataku, dimana aku? kenapa... tanganku? Aku meraba tangan kiriku, infus? Aku dimana? di rumah sakitkah? Kenapa aku bisa disini? Bukan kah aku tadi masih di toliet coffee shop?
"Re...van... Re...van..." spontan aku menyebut nama itu. nama yang terdengar menyakitkan lebih menyakitkan dari pada aku memanggil papa.
"Nadia, kamu udah sadar?" tanya seseorang.
Aku mendongak terlihat Dikta terduduk disampingku. Wajahnya begitu lelah dan panik. Tunggu, matanya nampak merah apa dia habis menangis? "Aku dimana?"
"Tadi siang kamu pingsan Nad," jelas Dikta, "Kamu udah pingsan seharian."
Aku coba mengingat kejadian beberapa jam tadi, seseorang mengirim sebuah pesan singkat sebelum aku pergi pulang kerumah dan dia bilang aku harus membuka amplop itu sendirian tanpa ada orang yang melihat. setelah membuka amplop itu aku harus membuangnya. Rasa penasaran begitu menghampiriku hingga aku nekat membuka amplop itu dengan alasan ke toilet dengan Dikta.
Dan... aku benar-benar terkejut saat membuka amplop apa yang aku lihat? Foto suamiku... ya foto Revan yang sedang tidur dengan wanita lain dan aku tidak tahu siapa wanita itu karena dia menutup wajahnya dengan selimut.
Hatiku benar-benar remuk seketika. Orang yang begitu aku percaya, orang yang begitu aku cintai, orang yang aku anggap bisa mengantikan sosok papa yang pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Begitu tega mengkhianati semua janjinya denganku. Kemana janjinya dulu yang bilang tak ingin meninggalkanku? Kemana janjinya yang bilang akan mencintaiku apa pun keadaanku. Tapi sekarang yang aku dapati? Ternyataa semua omong kosong!
Dan dadaku mulai sesak kembali. Seperti aku saat kecil, rasanya aku seperti tercekik. Aku ingin mati saja saat itu. kenapa penyakit ini kambuh lagi? Kenapa harus kambuh lagi di saat seperti ini? Tidak mungkin kan aku harus menggunakan obat-obatan itu lagi? Lalu pandanganku berangsur-angusur buram. Mungkin aku mati.
"Kandunganku gi-."
"Kadungan kamu nggak apa-apa kok" selak Dikta, "Kata dokter kamu cuman kecapean aja, memang ada pendarahan sedikit tapi kedua anak kamu nggak apa-apa kok."
"Dua?"
"Iya, anak kamu kembar katanya!" tegas Dikta.
Aku terdiam sembari memandangi perutku yang buncit, pantas saja aku sering sesak nafas padahal kehamilanku baru berjalan minggu keempat belas. Semua orang sering bilang aku nampak seperti orang yang hamil lima atau enam bulan karena perutku terlalu buncit. Ternyata... mereka kembar. Jadi aku akan memilik dua anak, begitu?
"Berapa lama aku pingsan?" Aku mencoba mengalikan pembicaraan.
Dikta melirik jam tanganya sejenak. "Sekitar sepuluh jam."
"Selama itu kah?"
Dikta mengangguk. "Ya, awalnya aku pikir kamu koma."
Aku tersenyum. "Memangnya kalau koma kenapa?"
"Ya aku panik lah, kalo koma berarti kamu-."
Aku mencubit pipi Dikta dengan gemas. "Pingsan sama koma beda ya, ngerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Proposal Making A Baby [EDISI REPOST]
Romance"Ketika hati ini mulai goyah karena bayang-bayang masa lalu itu kembali, bagimanakah aku harus melangkah?" Nadia memang mencintai Revan namun di satu sisi hatinya seorang Dikta tak pernah bisa ia lepaskan begitu saja. Dikta benar-benar masih men...