04. Sebuah kalung

5.3K 323 1
                                    

'Manusia akan berubah jika tidak dihargai.'

Aurelia Selina

***

Aurel bersenandung kecil. Ia tersenyum melihat dirinya di cermin. Wajah dengan polesan make-up tipis itu menambah kecantikannya. Di tambah gaun yang melekat di tubuh. Rambut pirangnya juga dihiasi jepit rambut. Dan dia baru sadar, dirinya seperti nona-nona Belanda.

"Gila, gadis cantik kayak aku ngejar William? No, itu tidak akan terjadi lagi," gumamnya. "Tapi, tunggu ...." Aurel menjeda kalimatnya. Dia tidak salah menyebut dirinya gadis, 'kan? Aurel yakin kalau tubuh yang dia tempati ini masih gadis. Sama seperti dirinya di dunia nyata. "Aku harap begitu," lanjutnya.

Aurel keluar sambil menenteng tas kecil. Wajah bahagianya tidak pernah luntur meski sudah di lantai bawah.

Dia berjalan dan menyapa ramah pada pembantu yang berlalu lalang.

"Konichiwa, everyone," ucapnya sedikit berteriak.

Para pelayan melihat itu sedikit bingung. Tidak biasanya nyonya mereka seriang ini. Bahkan, menyapa mereka.

Bisik-bisik pun terjadi, tapi tidak dihiraukan oleh Aurel. Dia memaklumi karena perbedaan sifat dengan pemilik asli tubuh ini sangat berbeda.

"Mau ke mana kamu?"

Langkah Aurel berhenti, ia menoleh pada sumber suara. Awalnya ia hanya melihat William yang tadi bertanya. Tapi, tatapan itu malah beralih pada pria di samping William.

Mata Aurel berbinar. "Ganteng bangat," gumamnya tanpa sadar.

William mengerutkan dahi. Ia menatap arah tatapan Aurel. Kemudian, memutar mata malas.

Ommo, jadi serius aku ketemu salah satu cogan di novel itu. Dia siapa, ya? Batin Aurel. Rasanya dia ingin berlari dan mengatakan 'hallo tampan, this is calon masa depanmu.' Namun, Aurel masih berusaha menahannya.

"Elia, mau ke mana kamu?"

Aurel tersadar. Dia menghampiri dua pria itu, tapi tatapannya tidak luput dari pria di samping William.

Tolong, aku grogi dekat cogan. Mana bule bangat. Batin Aurel.

"Elia, apa telingamu sekarang tidak berfungsi?" William mendengus kesal karena istrinya sedari tadi tidak memperdulikan keberadaannya.

"Jangan kasar sama perempuan," ucap pria di samping William.

"Diamlah, Felix! Perempuan sepertinya memang pantas dikasarin," ketus William.

Jadi, namanya Felix. Batin Aurel kembali. Ia merekahkan senyumnya.

"Aurel."

Jantung Aurel berdetak kencang saat namanya disebut oleh pria bernama Felix tersebut.

Dia manggil aku apa? Tidak, mau pingsan saja. Dia memanggil nama asliku. Aurel memekik dalam hati.

"Aurel, are you oke?" tanya Felix. Pria ini memang memanggil Elia dengan panggilan Aurel. Katanya agar berbeda dari orang lain.

Aurel tersadar. Dia mengangguk cepat dengan senyuman yang masih belum luntur.

"Felix, mmm sudah lama di sini?" tanyanya lembut.

Sok lembut, samaku malah kasar. Batin William, dia kesal dan sedikit jealous.

"Belum, aku baru datang. Hari ini kamu terlihat cantik. Tidak sering menangis lagi, 'kan?" Felix bertanya balik dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Suamiku antagonis tampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang