17. Pembantaian (2)

766 62 4
                                    

"Anak-anak nakal, kalian tidak pantas hidup sampai dewasa."

"Elia, pegang tangan Sean!"

"Tapi, kaki Elia sa---"

"PEGANG CEPAT, ELIA!"

Elia langsung menurut karena bentakan William. Dia memegang tangan Sean. Posisinya, William memegang tangan kedua adiknya, sedang Elia memegang tangan Sean.

"LARI!" perintahnya.

Mereka kembali berlari, meski dirasa enggan bagi seorang Sean. Tapi, ia tetap menurut. Anak empat tahun ini sesekali tertawa saat dirinya menginjak genangan air.

Sean suka itu, bahkan dia ingin berlama-lama karena hal ini jarang terjadi.

William mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat persembunyian. Sampai, netra birunya menangkap sebuah rumah kosong.

Anak kecil ini membawa mereka berlari ke arah sana. Mencari tempat persembunyian agar terhindar dari pria bertopeng badut itu.

Mereka memasuki rumah kosong tersebut, membuat Sean mendesah pelan.

"Atu tidat cuta cini, atu mau main hujan," celutuk Sean. Dia ingin melangkah, tapi tangan kecilnya tidak dilepas oleh sang kakak.

"Kita harus sembunyi, nanti kita tertangkap," ucap William sambil mengedarkan pandangannya kembali.

"Ciapa? Om badut tadi? Dia tan ngajat tita buat belmain."

William tak menggubris. Matanya menatap sebuah dinding yang masih berdiri kokoh dari bangunan ini. Tanpa pikir panjang dia menarik mereka untuk bersembunyi di sana.

"Jangan berisik, apapun yang terjadi kalian harus diam," ucapnya.

"Tatat, Cean---"

"Sean, nanti kita lanjut main hujannya. Tapi, untuk sekarang berhenti berbicara."

Sean anak yang patuh, dia langsung menutup mulutnya mendengar itu. Ia merapatkan pelukannya pada William, begitu juga Lina. Sedang Elia melihat itu tidak suka. Harusnya dia yang memeluk William, bukan Lina.

"Anak-anak nakal, kemarilah! Apa tidak lelah? Kalian sudah berlari, kenapa harus sembunyi lagi?"

Suara itu membuat William bergetar ketakutan. Ditambah suara mesin dari pemotong kayu itu membuat bayang-bayang kepergian sang mama kembali menerawang dipikirannya.

Anak kecil ini memeluk kedua adiknya rapat, dia takut karena apapun alasannya dia tidak akan membiarkan adik-adiknya menjadi korban selanjutnya.

"Hey, kalian di mana? Apa kalian tidak ingin tidur seperti orang tua kalian?"

"Tatat, itu ciapa?" tanya Sean sambil menatap wajah ketakutan William.

"Shut, jangan berbicara."

"Kakak, Lina takut."

"Kakak di sini, peluk Kakak erat."

Tanpa sadar suara mereka terdengar samar-samar di telinga psychopath itu. Ia tersenyum miring di balik topengnya sambil menatap dinding di depannya.

Gergaji mesin itu kembali dia hidupkan, menimbulkan suara di tengah sunyinya malam. Hujan di luaran sana kini berganti dengan gerimis.

"Liam, Lia takut. Elia juga pengen dipeluk."

William tidak menggubris. Dia tidak peduli tentang Elia, gadis kecil itu menurutnya menyusahkan.

"Liam, Elia takut," rengek Elia. "Awas, Kak Lina! Elia juga mau peyuk, Liam. Elia takut." Ia menarik-narik Lina agar terlepas dari William.

Suamiku antagonis tampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang