20 tahun lalu ....
Hujan mengguyur kota Jakarta malam ini. Pohon-pohon di tepi jalan melambai karena dihembus angin. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang, karena jam pun sudah menunjukkan pukul dua pagi.
Kebanyakan manusia sudah terlelap untuk mengarungi mimpi. Ada pun yang masih terjaga hanya sebagian kecil, itu pun masing-masing berlindung di ruangan tertutup agar tidak terkena air hujan.
Siapa yang ingin keluar saat hujan begini?
Berselimut tebal saja masih dirasakan bagaimana dinginnya, apalagi untuk keluar dan menikmati hujan.
Namun, berbeda dengan empat anak kecil ini. Mereka berlari menelusuri jalanan kota. Lampu jalan sebagai penerang, tidak ada yang mau berhenti. Mereka malah semakin kencang berlari tanpa melepas pegangan.
Apa yang mereka lakukan?
Di saat orang tertidur nyenyak empat anak kecil ini malah berlari tanpa berpikir bahaya di depan sana.
Namun, bahaya dari belakang lebih menakutkan dari pada bahaya yang akan di hadapi di depan sana.
"Awws." Salah satu dari mereka meringgis saat kakinya menginjak sesuatu.
Mereka langsung berhenti.
"Ada apa?" tanya salah satu dari mereka.
"Kaki Elia terkena beling." Anak kecil yang menyebut namanya Elia itu mengangkat satu kakinya. Tangisannya pecah bersama deraian hujan yang menimpa mereka.
"Menyusahkan."
Si paling tua di antara mereka menghampiri Elia. Dia adalah William. Anak kecil berusia delapan tahun itu berjongkok dan mencabut beling tersebut.
Senyuman manis merekah di bibir Elia, lantas kemudian berucap, "terimakasih, Liam."
William hanya menatap datar gadis kecil di depannya. Ia kemudian, memegang kembali tangan adik perempuannya yang tadi ia lepas.
"Kak Liam, Lina takut."
William menoleh, ia bisa melihat wajah adik perempuannya itu menggigil, bibir itu juga pucat pasi.
Beralih pada adik keduanya. Kondisi anak kecil itu juga sama.
Dada William terasa sesak. Netra birunya meneteskan air mata bersamaan dengan hujan yang mengguyur wajahnya.
Peristiwa itu, peristiwa yang membuat dirinya dan tiga anak kecil tersebut harus bermain hujan di malam hari.
Anak berusia delapan tahun ini, harus menguatkan mental hanya karena sebuah peristiwa yang membuat siapa saja akan trauma.
Pembunuhan, tidak lebih tepatnya pembantaian massal.
Beberapa menit sebelum kejadian ini, mereka masih tertidur lelap dalam kasur empuk. Tidak ada raut ketakutan dari wajah mereka, semuanya aman. Bahkan, mimpi yang mereka dapatkan membuat mereka enggan untuk terbangun.
Namun, semua itu berakhir saat kedatangan kelompok bersenjata.
Suara peluru saling beradu di rumah mewah milik orang tua William. Tidak ada yang mau mengalah, meski taruhannya adalah nyawa.
"Semua harus mati."
Perkataan seorang pria bertopeng membuat bawahannya mengangguk patuh. Tanpa komando lagi, beberapa yang belum menyerang langsung menyelundup masuk pada setiap ruangan yang berada.
Tangan mereka memegang satu benda. Di mana, benda itu akan mencabut nyawa setiap orang yang mereka temui.
Jangan berpikir, jika itu sebuah pisau. Benda ini lebih besar dan tentunya lebih menyakitkan. Apalagi kalau bukan, Kapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku antagonis tampan
RomanceTransmigrasi pada tubuh seseorang itu memang terbilang aneh dan diluar nalar. Apalagi, dunia yang dipijaki adalah dunia novel. Bagaimana, kehidupan Aurelia Selina yang bertrasmigrasi pada tubuh wanita bernama Aurelia Tiffany Algantara? Bisakah dia m...