19. Kutukan

631 40 1
                                    

Kematian itu wajar, tapi mati dengan paksaan namanya kurang ajar.

***

Aurel dan Hana berjalan menelusuri kota Amsterdam siang ini. Pulang dari Kampus dua perempuan tersebut memilih mengelilingi Amsterdam dengan berjalan kaki.

Mereka bercanda ria, sambil menikmati cemilan yang mereka bawa.

Suasana Amsterdam hari ini cerah. Ditambah bunga-bunga tulip yang ditanam di pinggir jalan sebagai penghias. Meski tidak mekar kembali, bunga itu masih tetap cantik.

"Kamu mau?" Hana menawarkan snack di tangannya pada Aurel.

"Thank you, tapi aku tidak ingin lagi. Ini sudah cukup."

"Tapi, ini enak ...." Jari Hana yang mengapit keripik mengarah pada mulut Aurel. Memaksa agar perempuan itu memakannya.

"Hais, baiklah," putus Aurel menerima keripik itu.

Hana tertawa pelan, lantas bertanya, "enak, 'kan?" Sambil memasukkan keripik kembali ke dalam pelukannya.

"Hm ...." Tidak berniat melanjutkan perkataannya, Aurel memandangi tempat mereka berjalan dan tatapannya berhenti pada seseorang yang familiar.

Bukannya kakek itu ..., Berpikir beberapa detik, lantas dia berteriak memanggil orang tersebut, "KAKEK, TUNGGU!" Dia berlari kecil, meninggalkan Hana yang kebingungan.

Orang yang dipanggil itu berhenti, tapi dia tidak menatap Aurel karena pandangan di depannya lebih dia sukai.

"Kakek, kita bertemu lagi." Aurel berdiri di samping orang yang dia panggil kakek. Dia tersenyum kecil karena senang.

"Untuk apa kamu memanggil saya?"

Kerutan samar menghiasi kening Aurel. Dia menatap bingung Handerson. Seingat dia, pria tua ini bersikap ramah padanya. Namun, pertanyaan dengan nada tidak suka itu membuat Aurel bertanya-tanya.

"Kamu suka mengambil milik orang lain?" Handerson memposisikan badanya menghadap Aurel. Jadilah mereka berhadap-hadapan.

"Maksud Kakek?"

"Kamu suka mengambil milik orang lain, salah satunya tubuh cucu saya dan suaminya." Tidak lagi bertanya, perkataan Handerson kali ini lebih ke pernyataan yang menekankan kalau Aurel suka mengambil milik orang lain.

Memahami kalimat tersebut, senyum Aurel memudar. Dia yang tidak mau disalahkan, lantas membela diri.

"Kek, aku tidak mengambil apapun. Termasuk tubuh cucu Kakek. Kakek tau sendiri kalau aku masuk ke dalam tubuh Elia karena takdir."

"Tapi, takdir itu bisa diubah." Wajah berkerut itu menampilkan kebencian yang mendalam pada Aurel. "Malam itu harusnya kamu keluar dari tubuh cucu saya. Tapi, William malah menghalanginya."

Aurel menghembuskan nafas kasar. Dia yang merasa korban, tetapi disalahkan.

"Seandainya William mengizinkan, Elia bisa kembali ke tubuhnya ini?"

Tatapan tajam Handerson berubah sendu. Dia menunduk karena pertanyaan Aurel tidak bisa dia jawab.

Elia tidak akan kembali pada tubuh aslinya. Jika, Aurel meninggalkan tubuh Elia maka akan dinyatakan meninggal.

"Kakek diam berarti jawabannya tidak. Lantas, kenapa Kakek menyalahkanku akan nasib Elia?"

Handerson meremas tongkatnya. Dia kembali mendongak menatap Aurel.

"Kehadiranmu membuat Elia sakit hati. Bukan hanya mengambil tubuh kamu juga mengambil suaminya. Lelaki yang dia cintai dari kecil. Kalau bukan demi William dia---"

"William tidak mencintainya. Untuk apa dia merasa sakit hati. Aku tidak merebut suaminya, Kek. Dari awal, aku ingin menjauh dari William sampai berniat ingin kembali pada dunia asalku. Tapi ...," Aurel menjeda perkataan. Matanya memperhatikan raut Handerson yang menggambarkan kebencian padanya. "Takdir tidak bisa memisahkan aku dan William," lanjutnya membuat Handerson geram.

"Kalau begitu kalian akan menerima akibatnya. Cucu saya memang ikhlas, tapi tidak dengan saya."

"Harusnya Kakek juga ikhlas dan ...." Aurel mengetuk-ngetuk dagu memikirkan perkataan yang bagus untuk melanjutkan ucapannya. "Ah, ya. Dan juga Kakek harus menerima takdir. Lagipun aku akan memperbaiki hubungan Kakek dengan orang tua Elia. Harusnya---"

"SAYA TIDAK BUTUH ITU YANG SAYA BUTUHKAN KEADILAN UNTUK CUCU SAYA!" Handerson berteriak sambil mengangkat tongkatnya di depan wajah Aurel. Kerutan diwajahnya semakin jelas. Dadanya naik turun.

Terkejut mendapat bentakan Handerson. Aurel tetap menampilkan wajah santai. "Mmm," gumamnya samar. "Keadilan, ya?" Dia bertanya dengan nada tidak yakin.

"Kisah 20 tahun silam itu akan kalian rasakan kembali. Kamu dan William akan mati, bahkan lebih tragis dari 20 tahun silam."

Setiap kata yang Handerson lontarkan merupakan akhir dari kisah aneh ini.

Kerutan di wajahnya menjadi saksi kalau perkataan itu bukanlah main-main. Sebuah kutukan yang membuat Aurel merasakan hal aneh dalam hatinya.

Jantung perempuan itu berdetak lebih cepat saat Handerson melontarkan kalimat yang terdengar mengutuk kehidupannya di novel ini.

"Itu tidak akan terjadi," ucap Aurel dengan raut takut.

"Kita tunggu saja."

"Alur novel ini bukan Kakek yang menuliskan. Jadi, tidak mungkin---"

"Apa yang tidak mungkin? Kamu dari dunia lain saja bisa masuk ke sini. Bersiaplah, kita hanya menunggu waktu."

Handerson menarik sudut bibirnya. Dia menepuk pundak Aurel setelah itu berbalik badan.

Langkah demi langkah dia lewati diiringi tongkat yang membantunya untuk berjalan.

"Itu tidak akan terjadi," kata Aurel dengan pandangan lurus pada punggung Handerson. Tatapannya datar dengan tangan mengepal di bawah.

Handerson mendengarnya menghentikan langkah. Tanpa berniat berbalik, dia setia berdiri mendengarkan perkataan Aurel selanjutnya.

"Aku masuk ke dunia ini bukan kemauanku. Dan Kakek harus sadar, kalau Elia sebelum aku memasuki tubuhnya sudah meninggal di dalam gudang. Jadi, aku tidak mengambil tubuhnya."

"Terlalu menyimpulkan. Kam---"

"Kalau tidak, tidak mungkin raganya keluar sendiri dan tidak bisa untuk masuk kembali. Jadi, Kakek tidak berhak mengutukku ataupun William." Aurel memotong perkataan Handerson karena tidak ingin mendengar perkataan pria tua itu yang akan terus menyudutkannya.

"Cucu saya sudah banyak menderita hidup bersama William dan dia juga cukup bodoh mengendalikan perasaannya. Mau bersalah atau tidak dalam alur ini kamu akan tetap mendapat kutukan itu karena William."

Kalimat yang Handerson lontarkan menjadi akhir pembicaraan mereka. Pria tua ini melanjutkan langkah. Meninggalkan Aurel yang terdiam kaku.

"Hey."

Aurel tersentak, dia berbalik menghadap orang yang memegang bahunya.

"Aku tidak paham maksud obrolanmu dengan kakek itu. Tapi, dari yang aku dengar semuanya terdengar mustahil." Hana--perempuan yang memegang bahu Aurel itu sedari tadi menyimak di belakang temannya. Dia sedikit bingung mencerna semua obrolan menurutnya tidak mungkin.

"Ah, itu. A--aku pulang dulu. Kapan-kapan kujelaskan. See you, Hana."

Aurel berlari meninggalkan Hana. Dia harus berbicara pada William tentang apa yang Handerson katakan hari ini. Sedang Hana, yang masih diam berdiri berdecak pelan.

"okay, see you too," balasnya dengan nada kecil.

***

TAMAT
Okay, aku pamit dulu papay
Malas aku lanjutin, udah hilang idenya. Terlalu lama disimpan. Gak nyambung 😌

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suamiku antagonis tampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang