03

1.7K 105 6
                                    

HAPPY READING LOV🤍✨
.
.

Lima orang pemuda dengan seragam putih abu-abu tengah duduk melingkar di sebuah kafe. Salah satu di antara lima orang tersebut adalah Jean. Ia tengah asyik bercengkerama dengan teman-temannya.

"Jer, si Farah nanyain nomor lo, nih, kasih kaga?" Mahesa yang tengah berbalas pesan dengan gadis yang bernama Farah bertanya pada Jeriko.

Jeriko dengan enggan menjawab, "Jangan, mending lo kasih dia nomornya Setia, noh,"

"Anjing! Gila lo? Bisa di santet sama Ema gue!" serunya dengan penuh penolakan.

"Ya, gapapa, Set, nambah satu lagi." Jean menimpali dengan wajah jahilnya.

"Ogah, masih mau idup gue. Lagian kasian juga entar Farah yang dihabisin sama Ema." Setia kembali berkata dengan tangan yang terulur mengambil kentang goreng kesukaannya.

"Bener juga, ceweknya Setia ganas banget emang," Faisal menyahut.

"Terus gimana ini? Lo mau Je?" Jean yang mendengar pertanyaan tersebut menggelengkan kepalanya.

"Bukan tipe gue banget, ga mau." Jean menjawab sembari mengibaskan tangannya.

"Emng ngapa, deh? Dia minta cariin pacar sama lo?" Tanya Faisal.

"Iya, tapi dia maunya salah sau di antara kita doang, ga mau orang lain," jawab Mahesa.

"Gila, emng sekeren itu, ya, kita?" Jeriko menyibakkan rambutnya, sembari tersenyum miring.

Saat hendak menimpali kembali, ponsel Jean berdering. Layarnya menampilkan panggilan masuk dari Ferdi. Jean menghela napas kasar dengan enggan Jean pun mengangkat telepon tersebut tanpa mengacuhkan tatapan heran dari teman-temannya.

"Kenapa, Pi?" tanya Jean saat telepon sudah terhubung.

"Pulang sekarang, sebelum saya bakar seragam taekwondo kamu!"

Suara tegas dan penuh penekanan tersebut membuat Jean membeku. Ia dengan segera memutuskan sambungan telepon, lalu bergegas pamit pada teman-temannya.

"Gue duluan, ya! Bokap gue nyariin. Bye!" Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya Jean segera berlalu pergi.

Jean mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia bahkan menerobos lampu merah yang untungnya ia masih selamat sampai tujuan. Bukan tanpa alasan Jean kalang-kabut seperti sekarang. Jean tahu betul bahwa Ferdi bukanlah orang yang main-main dengan ucapannya.

Napas Jean terengah saat memasuki ruang tamu rumahnya. Ferdi duduk di sana dengan tangan terlipat di dada. Tatapan matanya tajam, menyiratkan amarah yang bisa saja meledak saat itu juga.

"Dari mana?" tanya Ferdi dengan nada rendah.

"Main sama temen, Pi," jawab Jean, kepalanya tertunduk dengan tangan yang meremas tali tas yang ia kenakan.

"Pulang sekolah bukannya langsung pulang ke rumah malah main dulu. Seragam sekolah bahkan belum diganti, mau jadi apa kamu, Jean?" Mendengar perkataan Ferdi, Jean hanya diam. Kali ini ia mengakui bahwa ia salah. Namun, semua ini ia lakukan karena masih merasa kesal pada papinya. Jika saja Ferdi bisa lebih memahami posisinya, mungkin Jean tidak akan berprilaku tidak sopan pada Ferdi.

"Kenapa hanya diam? Merasa bersalah?"

"Maaf, Pi." Lirihan Jean terdengar.

"Sekarang, saya tanya. Mau kamu apa?" tanya Ferdi dengan nada yang sama tegasnya. Jean terdiam, antara bingung dan takut.

"Kalo aku bilang, apa papi mau turuti?" tanya Jean.

Ferdi mengangguk mantap. "Asal bukan taekwondo," tegasnya.

Jean menatap Ferdi marah. "Terus, kenapa Papi tanya aku mau apa kalau ujung-ujungnya tetep keinginan Papi yang harus aku turuti?"

"Saya sudah berbaik hati kasih kamu pilihan. Kamu mau saya tidak membeda-bedakan kamu dan saudaramu lagi, kan? Jika iya maka turuti kemauan saya, saya akan turuti kemauan kamu. Saya beri waktu dua puluh empat jam." Begitu Ferdi menyelesaikan perkataannya, Jean beranjak menuju kamar. Mulai memikirkan perkataan papinya.

Jean membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia memandangi langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu.

"Harus banget, ya? Apa Papi ga bisa berhenti banding-bandingin aku tanpa aku harus jadi orang lain?"

"Kenapa harus taekwondo yang Papi benci? Kenapa bukan melukis atau main game?"

"Dua puluh empat jam? Gue harus apa?"

Jean beranjak, ia memutuskan untuk menemui adiknya. Jika diingat lagi, Jean belum meminta maaf pada adiknya atas perkataannya yang mungkin saja membuat Kean tersinggung. Jean menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di depan pintu kamar Kean, Jean mengetuk pintu berwarna putih tersebut.

"Kenapa, Bang?" tanya Kean begitu pintu terbuka dan menampakkan wujud Jean.

"Boleh masuk?" tanya Jean, sudah dikatakan meskipun terkadang merasa kesal Jean tetap menyayangi Kean.

"Boleh, ayo! Tumben banget Abang main ke sini?" Kean memberi arahan agar Jean duduk di tikar.

Jean duduk meluruskan kakinya. Ia sedikit binguharus menjawab pertanyaan Kean, tetapi pada akhirnya Jean menjawab, "Abang mau minta maaf, buat perkataan Abang yang ga enak didenger kemarin."

"Oh, gapapa kali. Aku juga tau Abang cuma bercanda," sahut Kean.

Jean menghela napas lega. "Kean," panggil Jean.

Kean menolehkan kepalanya, memberi isyarat seolah berkata 'kenapa?'

"Kalo kamu disuruh pilih antara hobi dan keinginan orang tua, kamu pilih yang mana?" tanya Jean.

"Kalo aku bakal pilih kemauan orang tualah, Bang. Orang tua itu nomor satu, restu orang tua itu penting. Tanpa restu orang tua kita ga bisa apa-apa, kan?" jawab Kean sembari memberi pendapat.

"Gitu, ya?" Jean menundukkan kepalanya, sedikit merasa bahwa pendapat Kean benar. Bahwa ia harus mendahulukan keinginan orang tuanya.

"Kenapa emangnya?" tanya Kean kebingungan.

"Gapapa, cuma pengen tau pendapat kamu aja."

"Kirain kenapa," ucap Kean, "mau main PS ga?" imbuhnya dengan memberi pertanyaan.

Jean sedikit ragu untuk menerima ajakan tersebut, tetapi mengungat ia sudah lama tidak bermain PS ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan Kean. "Ayo!" serunya dengan penuh semangat.

Malam itu Jean habiskan untuk bermain PS dengan sang adik hingga hampir menginjak tengah malam. Jean sedikit takut akan terlambat bangun besoknya, tetapi ia tidak enak menghentikan permainan yang sangat seru secara tiba-tiba. Ia juga sudah lama tidak bermain dengan Kean, ternyata tidak buruk menghabiskan waktu dengan adiknya. Mungkin lain kali, ia bisa mengajak Sean untuk bergabung bersama ia dan Kean. Pasti akan sangat menyenangkan bukan?

Di tengah-tengah permainan yang berlangsung, Kean berkata, "Bang, kalo Abang ga bisa pilih antara taekwondo atau kemauan Papi aku bisa bantu Abang buat yakinin Papi kalau hobi Abang bukan hal yang ga berguna."

Jean membeku, merasa terharu atas sikap Kean yang terlalu peka akan kondisinya. Jean tersenyum manis hingga lesung pipinya terlihat. Jika boleh jujur, Kean tidak pernak melihat Jean tersenyum semanis ini jika sedang di rumah.

"Makasih, ya, Dek. Tapi, Abang bakal usaha sendiri dulu. Kalau emang udah ga bisa, nanti Abang minta bantuan Adek, gimana?"

"Boleh! Pokoknya Abang harus inget satu hal. Abang ga sendiri, ada aku sama Kak Sean yang bakal selalu ada buat Abang."
.
.
—tbc

𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang