HAPPY READING
.
.Siapa sangka? Bukannya marah, Ferdi kini justru pulang dengan senyum lebar di bibirnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tidak biasanya Ferdi pulang jam segini, sehingga Jean dan dua kembarannya berprasangka sang kepala keluarga tengah marah atu semacamnya. Disaat Jean telah mempersiapkan diri jika harus mendapat amarah lagi, Jean justru terkejut karena papinya pulang sambil tersenyum bahagia.
"Papi bawa oleh-oleh ga?" tanya Kean saat melihat wajah cerah papinya.
"Loh, ya, ngga." Jawaban Ferdi membut Kean merajuk. "Udah gede kamu, tuh, Dekm Besok aja Papi tambahin uang jajannya gimana?" bujuk Ferdi.
"Bener, ya? Janji?" Kean mengacungkan jari kelingkingnya.
"Janji," jawab Ferdi sembari mengaitkan jari kelingkingnya dan Kean.
Pemandangan tersebut disaksikan oleh Jean yang hanya diam. Ia ingin mengobrol akrab dengan papinya, tetapi entah kenapa ia merasa canggung.
"Dah, ayok, ke ruang makan semua. Pas Abang sama Adek udah pada laper." Ferdi merangkul Kean untuk menuju ruang makan. Meninggalkan Jean yang bernapas lega di belakang keduanya. Jean berpikir, setidaknya Ferdi masih mau menegur dirinya.
Begitu semua orang telah berkumpul di meja makan termasuk Linda dan Sean, makan malam pun dimulai dan berjlan dengan khidmat. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar memenuhi ruang makan tersebut.
Jean yang pertama selesai dengan makan malamnya pun hendak beranjak menuju kamar untuk mengerjakan tugas. "Aku selesai, ke kamar dulu, ya, Mi, Pi. Mau nugas," kata Jean.
Ferdi melihat hal tersebut dengan cepat mencegah anaknya. "Ngumpul dululah, Bang, di ruang keluarga. Mau, kan? Nanti tugasnya Papi bantu kerjain," ucap Ferdi.
Jean dengan cepat menganggukan kepalanya. "Aku ke ruang keluarga duluan kalo gitu, ya, Pi?" izin Jean dengan penuh semangat.
"Oke!" jawa Ferdi tak kalah semangat.
Jean dengan cepat melangkah menuju ruang keluarga. Jika boleh jujur, Jean jarang sekali duduk dan menghabiskan waktu bersama keluarganya. Maka, begitu Ferdi mengajaknya bergabung Jean tentu tidak menolak ajakan tersebut.
"Oh, iya, ambil buku sekalian, deh," gumamnya, lalu berbelok menuju kamar.
Senyuman tak lepas dari bibirnya saat mengingat hal-hal baik selalu menghampirinya belakangan ini. Papinya bahkan ingin membantu Jean mengerjakan tugas rumah. Ini seperti mimpi, bahkan saat kecil ia tak oernah mendapat perlakuan semanis ini dari Ferdi. Bahagia sekali rasanya. "Ga nyesel gue bertahan sejauh ini. Bahagia emang bakal dateng kalo saatnya udah tepat," gumamnya lagi. Ternyata kebiasaan Jean berbicara sendiri sama sekali tidak hilang.
"Bang, ayo, cepetan!" Suara teriakan Kean terdengar kencang, membuat Jean bergerak cepat menuju ruang keluarga dengan buku dan perlengkapan tulis yang ia bawa.
"Sabar bisa ga, sih?"
Kean tertawa pelan. "Ga bisa, lo lama!" katanya dengan nada jahil. Kean punya Abang, tetapi rasanya Jean lebih cocok jadi anak bungsu jika melihat lerbedaan tinggi keduanya.
"Udah, jangan rame. Sini duduk deket Papi," ucap Ferdi.
Jean dengan senang hagi mengambil tempat kosong di sebelah Ferdi, kemudian menjulurkan lidahnya memberi ejekan pada Sean dan Kean yang tampak iri.
"Sini Adek sama Kakak deket Mami aja, Biarin Abang sama Papi. Besok Mami masak ayam kecap mereka berdua ga usah dikasih," kata Linda menghibur kedua putranya yang tampak murung.
"Yey! Asyik, jadi nanti Abang sama Papi ga boleh makan, ya, Mi?" kata Sean dengan antusias.
"Nanti pahanya buat aku sama Kakak aja, kan, Mi? Papi sama Abang sisain tulang sama bumbunya aja!" imbuh Kean.
Jean dan Ferdi saling tatap, kemudian tawa bahagia memenuhi ruang keluarga begitu saja. Hangat, bahkan pipi Jean memerah saat ini karena benar-benar merasa bahagia.
Mereka pun saling melontarkan gurauan satu sama lain, berbincang hangat juga membantu Jean mengerjakan tugas matematikanya. Momen yang dulu bagi Jean hanya ada di mimpi, kini menjadi kenyataan.
Begitu tugas Jean telah selesai, Ferdi seblaku kepala keluarga tiba-tiba saja membuka obrolan serius. "Bang, Papi minta maaf, ya? Maaf selama ini Papi egois," kata Ferdi.
"Mami juga, Nak. Maaf, ya? Semua yang kami lakukan buat kebaikan kalian semua, terutama kamu, Jean," kata Linda menimpli.
"Boleh Papi cerita sedikit?" tanya Ferdi, yng mendapat anggukan dari ketiga anaknya.
Ferdi menarik napas dalam, kemudian mulai bercerita, "Papi dibesarkan di keluarga yang hangat. Kehidupan Papi dari kecil benar-benar bahagia, Papi ga lernah merasa kekurangan sma sekalim Semuanya berjalan mulua sama sekali ga ada batu di jalan yang Papi lalui." Ferdi menghela napas saat perasaan sesak memenuhi dadanya, "tapi, Papi salah. Kesulitan itu justru menemui Papi di akhir."
"Papi kesulitan mencari pekerjaan karena terbiasa diperlakukan lembut oleh Oma dan Opa kalian. Papi kesulitan menghadapi dunia kerja karena mendapat atasan yang galak juga teman kerja yang ga supportive. Papi ga menyalahkan cara Opa dan Oma mendidik Papi dengan penuh kelembutan. Hanya saja, Papi ga mau kalian bertiga merasakan kesulitan di saat dewasa nanti." Penjelasan Ferdi tentu dapat dicerna dengan baik oleh ketiga anaknya. Terutama Jean, ia kini paham kenapa Ferdi selalu meminta ia belajar dengan rajin. Ia paham kenapa Ferdi bersikap keras. Hanya saja yang Jean tak paham, kenapa hanya ia? Kenapa tidak pada Sean dan Kean?
"Jean, mungkin kamu mengira Papi cuma keras sama kamu aja. Kamu salah, Nak. Papi juga berlaku sama pada kedua kembaranmu. Tapi, kenapa Papi kasih mereka waktu buat main game dan melukis? Itu karena mereka mampu memenuhi kemauan Papi. Maaf, tapi kamu bahkan belum bisa mendapat nilai sempurna. Tapi, sekarang Papi sadar. Tidak semua anak mampu, tiap anak memiliki kemampuan berbeda, kan?" Ferdi tersenyum hangat pada Jean, yang hanya mendapat anggukan dari Jean. Jean sendiri bingung harus berkata apa.
"Tapi sekali lagi Papi tegaskan, Papi ga bisa kasih kamu izin untuk ikut taekwondo lagi. Kalau kamu memang ingin perjuangkan hobimu, silakan penuhi kemauan Papi terlebuh dahulu. Tapi Papi ga bisa mengelak, je. Papi bangga sama kamu, makasih sudah bertahan sejauh ini, ya? Sean dan Kean juga, makasih udah selalu ada untuk Papi dan Mami." Mata ferdi tampak berkaca-kaca. Bahkan pipi Linda sudah banjir akan air mata.
Malam ini, Jean tahu bahwa ia tak sendiri lagi. Selama ini, ialah yang terlalu tak memperhatikan sekitar. Ia tidak tahu bahwa Sean dan Kean sama tertekannya. Mulai sekarang Jean bertekad untuk mendapatkan apa yang papinya mau, nilai sempurna dan fakultas kedokteran di universitas terbaik. Demi Papi sama Mami, Je. Demi kembaran lo.
.
.
— tbcJadi gitu😁
Maaf ya kalo banyak typoo😭
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
RandomSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.