HAPPY READING
.
."Wihh, cerah amat muka lo, Je?" tegur salah seorang teman sekelas Jean saat ia memasuki kelas bersama Kean.
"Biasa aja. Perasaan lo doang kali," sahut Jean. Meski begitu tak dapat dipungkiri wajah Jean tampak sumringah.
"Kagak, Njir! Beda dari biasanya, ga boong gue," sahutnya lagi.
Jean hanya tersenyum dan melangkah ke bangkunya. "Emang keliatan bnget, y, Dek?" tanya Jean ada Kean.
Kean tersenyum, kemudian menggelengkan kepalanya. "Biasa aja, kok, orang-orang aja yang berlebihan," jawabnya.
Baru saja Jean hendak kembali menyahuti, sosok Setia dengan heboh memasuki kelas menyerobot ke tempat duduk Jean. "Parah lo! Kita-kita nunggu di parkiran lo malah udah di kelas. Parkir si mana? Kok, ga keliatan?" dumal Setia dengan pertanyaan beruntut.
"Gue dianter bokap. Lagian bukannya kalian semua marah ke gue?" kata Jean tak acuh.
Setia tertegun, lalu tak lama seringaian tampak pada bibirnya. "Sialan, lo cuma jadiin kita tempat cerita pas lo susah?" sinisnya.
Jean terdiam di tempatnya, ia hendak menyela, tetapi Setia lebih dulu meninggalkannya dan bertukar tempat duduk dengan Ali yang duduk di bangku paling belakang. Jean menatap Setia dengan sendu. Ia menyadari hal tersebut sekarang, mungkin saat istirahat nanti Jean harus meminta maaf pada Setia dan temannya yang lain.
"Udah, Bang, gapapa. Nanti gue temenin ngomong sama Setia," kata Kean sembari menepuk bahu lebar Jean pelan.
Jean tersenyum tipis, merasa senang karena keluarganya mulai membaik sekarang. Hal utama yang membuat Jean sumringah pagi ini adalah keadaan rumah yang menghangat.
—
Kaki Jean melangkah cepat, meninggalkan Kean dan Sean untuk menyusul Setia. "Setia!" serunya. Ia yakin Setia mendegar panggilannya, tetapi entah mengapa pemuda itu tak acuh dan berjalan tanpa menoleh padanya.
Hingga akhirnya langkah Jean dan Setia sejajar. Ia menahan bahu Setia agar berhenti. Namun, dengn keras Setia menepis tangan Jean. "Mau lo apa, sih?" tanya Setia dengan wajah yang memerah karena marah.
Jean mendadak bisu. Sosok di depannya tak tampak seperti Setia. Nada sinis, wajah memerah, tatapan tak senang. "Gue minta maaf, gue ga tau salah gue apa. Tapi gue beneran minta maaf." Sial, Jean harusnya mengatakan kesalahannya. Jika ia mengelak mungkin saja Setia akan lebih marah nanti.
"Bacot! Lo ke kita cuma pas susah aja, Jean! Baru kemarin lo cerita bokap lo yang pilih kash, tapi hari ini lo bicara seolah-olah kita yang salh karena marahin lo kemarin. Padahal lo jelas tau kali kita marah buat kebaikan lo! Bangsat!" Benar saja, Setia meledak sekarang.
Jean semakin menyesal, dia bukanlah orang yang pandai berkata-kata sehingga sulit bagi Jean untuk menjelaskan apa yang terjadi pada Setia. "Gue ga bermaksud," lirih Jean.
"Woi, Setia! Ngapain masih di sini? Kuylah, kantin!" Faisal tiba-tiba datang dan merangkul Setia. Jean hendak mengajak Faisal bicara, tetapi urung saat Faisal dengan nada sinisnya berkata, "Ngapain sama orang ga tau diri kek dia? Ga guna." Setelahnya Faisal dan Setia berjalan meninggalkan Jean yang terdim di tempatnya.
Jean mengepalkan tangannya, menahan emosi. Ia bukanlah orang yang sabar. Jean bisa saja kelepasan memberi pukulan ke pipi tirus Faisal saat itu juga. Akan tetapi, sebisa mungkin Jean menahannya. Kekerasan hanya akan memperkeruh keadaan. Jean sadar, mungkin saja semua temannya bersikap seperti Setia dan Faisal sekarang. Lebih baik ia membiarkan teman-temannya tenang dan berbicara dengan mereka saat keadaan sudah lebih baik.
—
Sekarang pulang ke rumah merupakan saat paling menyenangkan bagi Jean. Contohnya sekarang, begitu ia, Ferdi, Sean, dan Kean memasuki rumah Linda dengan senang hati menyambutnya. Hal ini tidak pernah Jean dapatkan sebelumnya, sehingga wajar jika Jean menjadi sedikit emosional.
"Loh, kok, nangis, Bang?" tanya Limda saat mendapati mata Jean berkaca-kaca.
Ferdi dan kedua anaknya yang lain pun turut mengalihkan perhatian mereka pada Jean. Jean merasa senang sekali, hingga sulit untuk menahan air matanya agar tidak keluar.
"Nggak, aku ga nangis. Aku seneng bisa dapet perhatian dari Mami. Makasih, ya?" kata Jean dengan setetes air mata mengalir di pipinya.
Sean dan Kean saling pandang. Keduanya merasa bersalah pada Jean. Tidak seharusnya mereka mengabaikan Jean selama ini. Jean adalah anak yang kuat, dia tidak menangis meski tubuh dan hatinya sakit. Akan tetapi, kini air mata Jean keluar dengan deras hanya karena perhatian kecil yang ia dapat dari Linda.
"Udah, Bang, sini peluk Papi. Malu, ah, udah gede, kok, nangis?" gurau Ferdi membuat pipi Jean memerah karena malu.
"Salting dia, Pi. Liat mukanya merah!" kata Sean turut menggoda adiknya.
Kean yang tak mau kalah pun menimpali, "Abang ternyata pemalu, ya? Atlet taekwondo kita cengeng banget." Kalimat tersebut Kean kira akan menjadi bahan gurauan. Namun, nyatanya Keadaan justru menjadu canggung.
Ferdi melepaskan pelukannya dari tubuh Jean. "Udah, ayo, pada ganti baju terus tidur siang. Papi mau balik lagi ke kantor," kata Ferdi.
Begitu Ferdi dan Linda telah kembali ke aktivitas masing-masing. Sean, Kean, dan Jean saling pandang. Jean kini tahu, bahwa taekwondo memang bukan hal yang papinya sukai. Jika boleh jujur, Jean masih ingin kembali mengikuti taekwondo. Namun, jika diberi pilihan antara kasih sayang papinya atau taekwondo ... jean tentu akan memilih kasih sayang dari papinya.
"Gapapa, Bang. Nanti kita coba bujuk Papi buat izinin lo ikut taekwondo lagi." Kean berusaha membangkitkan kembali semangat Jean.
"Iya, nanti Kakak bantu ngomong sama Papi," imbuh Sean.
Jean tersenyum hangat, ia menggelengkan kepalanya. "Ga usah, gue ga mau Papi ngizinin karena terpaksa. Gue udah cukup bahagia karena Papi bisa perhatian ke gue. Gue ga mau Papi pemarah lagi kayak kemarin-kemarin." Jean berkata dengan anda sendu.
"Maafin gue, Bang. Harusnya gue ga usah bahas taekwondo dulu tadi," sesal Kean.
Jean dan Sean saling pandang. Sean yang pertama memeluk tubuh Kean, disusul oleh Jean.
"Udah gapapa. Kalo emang Allah berkehendak gue pasti bisa ikut taekwondo lagi." Jean menepuk punggung Kean lembut.
"Jangan ngerasa bersalah gini, semuanyaa bakal baik-baik aja. Kalo nanti Papi cuekin Jean lagi, mita harus tetep ada buat bantu Jean bujuk Papi lagi." Sean melepas pelukan ketiganya.
"Kita udah kaya apa aja pelukan bertiga," kekeh Jean, "tapi makasih, ya? Gue bersyukur punya kembaran jelek kaya kalian," imbuhnya sebelum melarikan diri menuju kamar.
Jean berlari dengn tawa bahagia, menghindari dua kembarannya yang mengejar Jean dengan kata-kata mutiara yang tak henti mereka lontarkan.
"Sialan lo! Gue ganteng, ya!"
"Ga sopan lo sama Kakak, awas lo!"
Ya, setidaknya hubungan Jean dan dua kembarannya semakin membaik. Masalah Ferdi dan Linda, biarlah mereka bahas nanti malam saja.
.
.
—tbcMaaf, ya, baru bisa up😭
anw, kalo banyak typo juga aku mjnta maaf, ya😔
oh! hampir lupa, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
RandomSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.