02

1.9K 129 2
                                    

HAPPY READING LOV🤍✨
.
.

Entahlah kali ini salah Jean apa. Namun yang pasti, ia mendapat panggilan dari Ferdi untuk langsung menemuinya di ruang kerja setelah jam makan malam. "Perasaan taekwondo juga ga sore-sore banget pulangnya. Kan, udah izin juga?" gumamnya saat berjalan menaiki tangga agar bisa sampai ruangan yang ia tuju. Melelahkan, ini sebabnya Jean tak masalah ia memiliki kamar di lantai satu.

Jean mengetuk pintu ruang kerja Ferdi dengan tangan bergetar ketakutan. Sering mendapati amarah Ferdi sama sekali tidak membuat Jean terbiasa, Jean justru semakin takut dibuatnya.

"Masuk!" Seriuan sang ayah membuat Jean dengan cepat membuka pintu ruangan tersebut. Kepalanya tertunduk, masih mengingat perkataan sang oma bahwa ia tidak boleh menatap mata orang yang sedang marah padanya. Terkesan tidak sopan, begitu katanya.

"Duduk!" Tanpa menjawab dan membantah, Jean segera duduk dihadaan Ferdi. Ah, sangat menegangkan. Mending ketemu setan daripada dimarahin Papi. Begitu pikir Jean.

"Kamu tau apa kesalahanmu?" tanya Ferdi dengan suara rendah yang terkesan dingin dan mendominasi. Membuat Jean merasa tertekan dan semakin gugup.

"Jawab, Jean!" tegas Ferdi saat ia sama sekali tak mendapat jawaban dari Jean.

"Maaf, Abang ga tau, Pi," lirih Jean dengan suara yang bergetar dan terbata.

Jean tidak tahu bagaimana ekspresi papinya saat ini, yang pasti ia mendengar dengan jelas bahwa Ferdi berdecak kesal. "Maaf, Pi," lirihnya, berharap permintaan maaf tersebut dapat membuat Ferdi luluh. Namun, nihil, ia bukan Kean atau Sean yang dapat meluluhkan Ferdi.

"Kamu meminta maaf atas kesalahan yang kamu sendiri ga tau? Bodoh! Ga berguna!" bentak Ferdi dengan tangan yang mengepal erat.

"Papi, kalo Abang salah tolong kasih tau salah Abang di mana. Biar Abang bisa perbaiki," tutur Jean.

"Kamu melawan? Kamu nantangin saya? Iya?" bentak Ferdi lagi.

"Bukan gitu, Pi, Abang, kan-"

"Berhenti menjawab Jean! Saya tidak meminta kamu untuk bicara!" teriak Ferdi menyela perkataan Jean.

"Kamu itu sudah tidak sopan sama saya, saya ini papi kamu! Yang membesarkan kamu, tapi kamu malah seenaknya sama saya. Tadi pagi berangkat sekolah ga pamit, pulang telat ga izin, mau kamu kamu apa, Jean?"

"Kamu harusnya bisa contoh Kakak dan Adik kamu! Mereka selalu nurut sama Papi dan Mami, bukan seperti kamu yang bisanya melawan. Kerjanya keluyuran terus."

"Ke mana kamu tadi sore? Nongkrong? Taekwondo?"

Ferdir berdecak saat sama sekali tak mendapat jawaban dari Jean. Jean diam, tangannya saling bertaut karena merasa gugup. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya dan mendengar setiap ucapan sang ayah.

"Berapa kali saya bilang sama kamu? Berhenti melakukan hal-hal yang ga berguna Jean! Saya ga minta banyak hal sama kamu, saya cuma minta kamu untuk belajar, belajar, dan belajar! Tugas kamu hanya belajar Jean!"

"Kamu dengar ga saya biacara apa? Jangan hanya diam saja, Jean! Punya mulut itu dipakai!"

Ngomong salah, diem juga salah, batin Jean.

"Maaf, Pi, Abang ga akan ulangi lagi." Jean berkata dengan suaranya yang lirih. "Abang ke kamar dulu, Pi, maaf sekali lagi." Tanpa menghiraukan Ferdi yang terus memanggil namanya, Jean bergegas meninggalkan lantai dua rumah besar tersebut ia muak jika harus terus mendengar Ferdi membanding-bandingkan ia dan dua kembarannya.

"Gila, orang tua ga waras. Besarin katanya? Dia bahkan ga pernah ngobrol sama gue tanpa amarah. Ngebesarin raga doang, jiwa gue malah dibunuh sama dia. Gila, mati beneran gue lama-lama," gumam Jean saat tubuhnya sudah duduk di kursi meja belajar.

"Disuruh nurut mulu, perasaan gue udah nurut, deh. Harusnya dia yang bisa bersikap adil. Punya anak tiga, yang disayang cuma dua. Ga guna," gumamnya lagi.

Jean terus bergumam sembari mengambil beberapa buku yang akan ia baca malam ini. Bagaimanapun, Jean tentu sadar bahwa kewajibannya sebagai pelajar adalah belajar. Jean adalah anak yang penurut, buktinya ia masih mau belajar meski sang ayah telah menjatuhkan mentalnya terus-menerus. Maka dari itu, yang Jean harapkan dari Ferdi hanyalah dukungan atas hobinya.

Jean terbangun saat merasakan kasurnya bergerak rusuh. Matanya yang masih setengah terbuka berusaha mengamati siapa yang saat ini tengah berbaring di bawah selimutnya.

"Kak Sean, kenapa?" Jean bertanya saat menyadari orang tersebut adalah kakaknya.

Sean yang awalnya membelakangi Jean pun memutar tubuhnya agar dapat berhadapan dengan Jean. Ia tersenyum, kemudian berkata, "Papi marahin kamu lagi?"

Jean mengangguk sebagai jawaban, lagi pula untuk apa berbohong?

"Gapapa, Papi marahnya cuma bentar, kok, nanti juga baik lagi, kan? Kalo ada apa-apa bilang Kakak, ya? Kamu punya Kakak!"

Jean tersenyum tipis, ucapan Sean memang manis. Akan tetapi, Jean sudah tidak lagi percaya pada siapa pun selain dirinya sendiri.

"Aku udah biasa," jawab Jean.

Sean tersenyum sendu, merasa prihatin karena hal tersebut. Namun, tetap saja Sean tidak bisa berbuat banyak. Meskipun ia dan Ferdi cukup dekat, Sean tetap saja takut pada pria yang menjadi ayahnya tersebut.

"Kamu kenapa ga nurut sama Papi aja Jean? Berhenti ikut taekwondo dan fokus belajar supaya bisa masuk fakultas dan kampus yang Papi mau." Sean berkata dengan pelan, berharap tidak menyinggung perasaan Jean. Namun, Jean hanya berdecak pelan.

"Aku belajar, Kak! Aku udah belajar selama tujuh jam di sekolah, dan malam aku belajar lagi sebelum tidur. Bukannya itu udah cukup? Aku taekwondo bahkan cuma dua jam, lebih banyak waktu belajarnya, kan? Kenapa nggak Papi aja yang ngertiin aku? Kenapa harus aku yang ngertiin Papi?" Jean menarik napas, dadanya naik turun karena emosi yang menggebu. "Papi bisa ngertiin hobi melukis Kakak, Papi bisa ngertiin hobi main game Kean, tapi kenapa nggak bisa ngertiin aku?" imbuhnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Sean meneguk ludahnya,merasa gugup karena telah membuat keributan tengah malam dengan Jean. "Udah, tidur lagi sana! Maaf, ya, Kakak ganggu kamu tidur." Sean kembali membalikan tubuh membelakangi Jean.

Jean melakukan hal yang sama, ia membalikan tubuhnya memunggungi Sean. Apa susahnya ngertiin hobi aku yang cuma dua kali seminggu? Setiap latihan juga cuma dua jam, ga lebih. Kenapa susah banget? Kakak bahkan bisa ngabisin waktu seharian buat ngelukis, apa lagi Kean? Dia bahkan sering ga tidur cuma buat main game. Tapi kenapa cuma aku yang diperlakuin beda? Sebenarnya aku ini anak Papi atau bukan, sih? batin Jean. Ia benar-benar lelah akan perilaku anggota keluarganya. Entah bagaimana caranya menyadarkan mereka bahwa Jean masih bisa belajar dan menyerap pelajaran dengan baik meskipun mengikuti taekwondo.

Aku capek. Kalo gini terus mending aku ikut sama Oma aja. Oma udah pasti mau nampung aku di rumahnya. Rumah yang bisa menjadi tempat pulang, rumah yang benar-benar rumah.


.
.

-tbc

Lov, kalo ada typo tolong ditandain, ya! 😭🤏🏻 maaf bgt, aku emg sering typo😔

(26 okt, edited, tapi kalo masih ada typo tolong ingetin) 😭🙏

𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang