07

1.3K 112 4
                                    

HAPPY READING
.
.

Jean menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan menahan emosi. Entah bagaimana Jean dapat menjelaskan perasaannya saat ini, sedih, kecewa, malu. Semua berhasil menjadi satu berkat Ferdi. Kejadian saat ia ikut pergi makan malam bersama keluarganya benar-benar membuat Jean kesal. Ternyata pergi bersama keluarga bukanlah hal yang menyenangkan.

"Kalo ga mau punya anak kaya aku kenapa ga bunuh aku aja dari dulu?" gumamnya dengan mata yang berembun. Jean ingin meluapkan semua yang ia rasa, tetapi ia bahkan terlalu bingung dengan dirinya sendiri. Perasaannya campur aduk, ingin menghubungi teman-temannya pun Jean bingung harus bercerita mulai dari mana. Mengingat, setiap bertemu mereka selalu membahas tentang Ferdi yang pilih kasih. Terkadang Jean merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga bahagia.

"Ya Allah, Jean bener-bener udah capek banget. Apa ga bisa sekarang aja cabut nyawa Jean? Jean tau ini terkesan ga bersyukur, tapi siapa yang sanggup dijadikan pilihan terakhir seumur hidupnya?" Jean kembali mengingat semua kenangan buruk di rumah ini.

Sejak kecil, Jean sudah merasakan ketidakadilan tersebut. Di mana ia akan selalu mengalah pada Kean yang merupakan adiknya dan ia harus patuh pada kakaknya—Sean. Tidak ada yang membela Jean. Jika Sean memiliki Linda sebagai sandaran, Kean memiliki Ferdi sebagai penopang. Lalu bagaimana dengan Jean? Ia sendirian? Tidakkah orang tuanya merasa iba?

Tidakkah cukup semua kesakitan yang sudah Jean rasakan sejak kecil? Jean sudah berusaha menurut, ia sudah belajar, ia bahkan rela berbohong bahwa ia berhenti mengikuti taekwondo. Ia rela harus menahan sakitnya sendiri.

Seketika perasaan bimbang memenuhi hatinya. Apa gue kabur dari rumah? Apa gue berhenti nurut sama mereka? Gue bisa kabur dan lakuin apa pun yang gue suka tanpa harus perduli sama Mami dan Papi. Pikiran tersebut membuat Jean melamun cukup lama. Di satu sisi, menurut Jean kabur adalah pilihan terbaik. Namun, di sisi lain Jean sadar ia hanyalah remaja berusia tujuh belas tahun yang masih labil.

"Apa gue masih kurang giat belajar? Kalo gue pinter Papi Mami pasti bakal sayang, kan, sama gue?"

"Gue harus belajar yang giat! Gue harus bisa dapat kampus yang Papi mau." Kalimat tersebut keluar dari belahan bibir Jean dengan suara pelan.

Setelahnya, Jean bangkit dari posisi tidurannya. Ia mulai duduk di meja belajar membuka buku tebal yang ia dapat dari Ferdi beberapa hari lalu. Jean terus berkutat dengan kegiatannya, ia bahkan tidak merasakan kantuk sama sekali. Jean terus membaca setiap deret kalimat yang sulit Jean pahami. Ia tidak menyukai bidang yang Ferdi pilih, tetapi Jean akan membuktikan bahwa bukan hanya Sean dan Kean yang bisa dibanggakan.

"Susah banget, sih, kenapa Papi ngebet banget gue masuk kedokteran? Udah tau anaknya bego. Ah! Sial!" Jean membenturkan kepalanya ke meja belajar berkali-kali.

"Bodoh."

"Jean bodoh."

Semakin lama Jean semakin keras membenturkan kepala ke meja belajar, mulutnya tak berhenti merutuki dirinya sendiri. Beruntung kamar Jean di lantai satu, sehingga suara berisik dari kamarnya tidak akan sampai ke kamar orang tua dan saudaranya.

Jean mendongakkan kepalanya, jemarinya bergerak menarik helai rambut lebatnya sekuat yang ia bisa. Jean sama sekali tidak merasa sakit, semua ini tidak seberapa dengan rasa sakit di hatinya. "Bodoh, bodoh, bodoh! Jean bodoh!" gumamnya marah.

"Gue benci, kenapa gue terlahir bodoh?"

Napas Jean tesengal, tubuhnya meluruh.  Berusaha menenangkan dirinya, Jean kembali membaca buku yang sempat ia abaikan beberapa menit. Matanya sekilas melirik jam digital di meja nakas samping tempat tidurnya. "Udah jam tiga tapi gue bahkan ga ngerti saru kalimat pun yang udah gue baca dari tadi? Se tolol itu, ya, lo Jean?" kata Jean dengan seringaian di bibirnya. "Pantes Papi sama Mami benci lo, lo emang bodoh!" rutuk Jean pada dirinya sendiri.

Ia lelah, matanya mengantuk, dadanya sesak. Namun, Jean tidak ingin menyerah. Ia masih bertekad menarik hati orang tuanya. Ia ingin pintar seperti Sean dan Kean. Ia akan membuktikan hal tersebut. "Kayaknya gue harus beneran berhenti ikut taekwondo? Besok harus temui Bang Ridho buat bicarain ini." Jean sudah putuskan. Benar kata Ferdi bahwa taekwondo hanya menghambat keberhasilan Jean.

"Ya Allah, maafin Jean yang kurang bersyukur. Jean mohon, apa pun jalan yang Jean ambil semoga itu yang terbaik."

Jean menemui pelatih taekwondo nya. Ia duduk di samping pria yang hampir memasuki kepala tiga tersebut.

"Maaf," lirihnya saat mendengar betapa kecewanya respons Ridho.

"Ya, mau gimana lagi. Pulang sana, entar bokap lo nyalahin gue lagi," kata Ridho dengan sedikit sindiran dan bibir yang tersenyum sinis.

Jean menunduk dalam. Sedih memang jika harus meninggalkan hobinya ini, bagaimanapun Jean sudah memiliki cita-cita untuk menjadi pelatih taekwondo seperti Ridho. Namun, takdir berkata lain. Keputusan Jean sudah bulat.

Jean berdiri, hendak menyalami tangan Ridho seperti biasanya. Namun, Ridho mengabaikan Jean. Ia berlalu begitu saja meninggalkan Jean sendirian di taman sekolah.  Ini yang terbaik, kan? Ya, Jean harap begitu.

Ia menghela napasnya lelah. Berjalan pelan menuju lapangan tempat ia biasa berlatih. Kalo gue udah bisa disayang Papi sama Mami dan mereka udah bisa terima hobi gue, gue pasti balik ke sini lagi. Keputusan Jean sudah mantap. Misinya sekarang adalah membuat agar Ferdi dan Linda dapat melihat ia sebagai Jean. Bukan sebagai bayangan Sean dan Kean.

Jean memakan mie instan yang baru saja ia masak dengan lahapnya. Saat tiba di rumah, keadaan rumah sudah sepi. Tidak ada orang satu pun di rumah yang cukup besar tersebut. Tidak heran, sudah pasti ia ditinggal sendirian lagi di rumah. Miris, tetapi bagi jean ini lebih baik daripada ia harus kembali merasa terasingkan seperti kemarin.

Jean makan sambil sesekali tertawa menonton animasi yang ada di ponselnya. "Anjir, si botak cuma gegara kain merah doang sampe nangis-nangis. Lebay banget, Cil!" katanya.

Begitu mienya sudah habis, Jean segera mencuci bekas ia memasak mie dan mangkok yang ia pakai. Tak lupa Jean membuang sampah bekas mie instan tersebut keluar rumah. Di rumah, ada peraturan tak tertulis yang menyatakan bahwa makan mie instan hanya boleh satu bulan satu kali. Mudah bagi Sean dan Kean yang minta makanan apa pun di turuti, tidak seperti Jean.

Jean berjalan lemas menuju kamarnya. Jika boleh jujur kepala Jean rasanya sangat sakit sekarang, tetapi niatnya untuk tidur ia urungkan saat mengingat ulangan matematika yang akan di adakan besok. "Bisa, Jean. Lo pasti bisa dapat nilai lebih baik dari sudara lo!"

Malam itu, Jean tidak tidur sama sekali hingga subuh. Demi nilai sempurna yang Ferdi inginkan.

.
.

—tbc

Maaf ya kalo banyak typo🤍

𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang