HAPPY READING
.
.Mendapati kamar anak tengahnya kosong, Ferdi mengusap wajahnya. Tanpa pikir panjang ia segera keluar untuk menemui sang istri.
"Kenapa, Pi?" tanya Linda saat kembali melihat Ferdi.
"Jean ke mana?" tanya Ferdi balik, tanpa menjawan pertanyaan istrinya.
"Aku ga tau, dia ga izin ke aku." Jawaban Linda membuat Ferdi frustasi.
"Masalahnya aku lihat berita ada anak SMA bunuh diri. Aku lihat sepatu yang dia pakai mirip sepatu Jean, Mi. Aku takut kalo itu anak kita," tutur Ferdi dengan penuh kekhawatiran.
Linda mendengar penjelasan Ferdi pun menjadi cemas. Pasalnya sekarang sudah malam, tidak biasanya Jean belum pulang dijam segini.
Saat keduanya tengah dilanda rasa khawtir, pintu rumah tiba-tiba terbuka memperlihatkan sosok Jean yang berjalan dengan lesu. Linda melihat hal tersbut bergegas menghampiri sang anak di susul oleh Ferdi di belakangnya.
"Abang, dari mana aja?" tanya Linda khawatir.
Jean mendengar pertanyaan Linda mengernyitkan keningnya, merasa bingung akan sikap Linda yang seakan memperhatikan dirinya.
"Aku abis duduk di taman, kenapa? Tumben Mami nanyain?" tanya Jean.
"Ga ada apa-apa. Syukurlah kamu baik-baik aja. Kalau gitu sana ke kamar, langsung istirahat," kata Ferdi dengan nada lembut.
Jean kembali heran, ini ga salah Papi nyuruh gue istirahat? Papi ga nyuruh gue belajar? batinnya.
"Tapi aku mau belajar, besok ada ulangan," kata Jean.
"Ngga, kamu langsung istirahat aja. Pasti cape, kan?" sahut Linda. Ia menarik tangan anaknya menuju kamar. Meninggalkan Ferdi yang terduduk di sofa ruang keluarga dengan perasaan lega. "Maafin Papi, Je," lirihnya.
Sementara itu, Jean justru tengah terduduk di kasurnya dengan perasaan bingung. Tadi setelah mengganti baju, Linda berkata akan menggorengkan ayam untuk ia makan malam. Sangat langkah karena biasanya Jean tidak akan diperlakukan begini.
"Aneh, biasanya pulang malem bakal diomelin. Baru kali ini juga Papi ngomongnya lembut banget," gumamnya.
"Jangan-jangan Papi sama Mami kerasukan lagi? Anjir, kan, ga lucu." Jean bergidik ngeri saat membayangkan bagaimana jika saat ini orang tuanya justru tengah dalam keadaan dipengaruhi makhluk lain.
"Bang, ini makan dulu. Gapapa makan di kamar aja, piringnya taruh di meja belajar Abang aja, besok Mami yang cuci," kata Linda sambil membawa sepiring nasi dengan sepotong ayam di atasnya. Ia meletakkan piring tersebut di meja belajar sang anak.
"Kalo butuh apa-apa bilang sama Mami, ya?" katanya sambil mengusap kepala sang anak lembut.
Jean membeku di tempatnya. Agak canggung saat mendapatkan perlakuan baik dari sang mami yang tidak biasa. "Makasih, Mi," katanya.
"Sama-sama, Mami ke kamar dulu, ya?" pamit Linda.
"Iya, Mi," jawab Jean.
Begitu Linda meninggalkan kamarnya, Jean segera duduk di meja belajarnya. Kali ini bukan untuk belajar, melainkan untuk menyantap makan malam yang Linda siapkan khusus untuknya. Bagi Jean, sepiring nasi dan sepotong aham goreng ini begitu spesial karena Linda yang menyiapkan khusus untuk dirinya seorang.
Keterkejutan Jean semakin bertambahnya saat tiba-tiba Ferdi memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu.
"Papi ngagetin, ya? Maaf, ya, Bang," kata Ferdi saat melihat Jean tersedak. Ia pun segera mengulurkan segelas air putih yang ia bawa lantaran Linda lupa membawakan air untuk Jean.
"Kenapa, Pi?" tanya Jean sesaat setelah meneguk air putih yang dibawakan papinya.
"habisin aja dulu, Papi tunggu," kata Ferdi yang telah mendudukkan dirinya di atas kasur Jean. Papi lembut banget, kaya mimpi.
Jean pun tak menunda waktu, ia tak ingin membuat Ferdi marah karena terlalu lama menunggunya.
"Udah, Papi mau bicara apa?" tanya Jean yang sudah duduk di sebelah Ferdi.
Ferdi tampak menghela napasnya, ia tersenyum tipis pada Jean. Senyuman yang selama ini tidak pernah Jean dapatkan. "Papi minta maaf, ya? Papi mohon hiduplah lebih lama, Je. Papi tau, Papi jahat sama kamu. Tapi, apa yang Papi lakukan sekarang itu adalah yang terbaik buat kamu." Ferdi mengusap rambut Jean pelan, lalu menepuk bahu Jean dua kali.
Jean tersenyum hangat. "Aku pasti akan hidup lebih lama, demi kalian semua. Karena Mami, Papi, Kakak, dan Adek. Makasi, ya, Pi? Jean seneng bisa denger Papi bicara lembut gini," ucapnya memberi sedikit gurauan di akhir.
Ferdi justru semakin merasa bersalah dibuatnya. "Kalau butuh apa-apa bilang Papi, ya? Papi minta maaf sekali lagi, tolong jangan pergi dulu." Ferdi memeluk hangat tubuh Jean. Mengusap punggung lebar anaknya.
Ferdi sadar, ia dan Jean terlalu jauh selama ini. Ia bahkan tidak tahu bahwa Jean memiliki bahu yang lebih lebar dari Sean dan Kean. Tubuh Jean juga lebih pendek dari Kean ternyata. "Udah sana, tidur. Papi tinggal, ya? Selamat malam," kata Ferdi sebelum beranjak meninggalkan Jean yang tersenyum sangat lebar.
Begitu pintu kamarnya kembali tertutup, Jean memiringkan tubuhnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. "Ah, gue harap ini bukan mimpi. Kalaupun emang mimpi, gue harap geu ga bangun biar bisa lihat senyum Papi terus," kata Jean lirih.
"Sekarang Jean tau kenapa Allah masih kasih Jean kesehatan dan waktu sejauh ini. Ternyata bahagia emang bakal datang kalau waktunya udah tepat."
—
Senyuman Jean pagi ini begitu cerah mengalahkan cahaya matahari yang bahkan tampak malu-malu memperlihatkan dirinya di balik awan hitam.
"Pagi, Mami," sapa Jean begitu duduk di meja makan dan mendapati Linda tengah menyusun piring yang akan mereka gunakan untuk sarapan.
"Pagi, Sayang. Cerah banget wajahnya, abis menang undian, ya?" gurau Linda.
Jean tertawa lebar mendengar gurauan Linda. "Mami bisa aja," katanya.
"Pagi," sapa Kean dan Sean berbarengan. Kemudian di susul oleh Ferdi yang langsung duduk di tempatnya tanpa banyak bicara.
Sarapan pagi itu berjalan dengan hangat, Kean dan Sean bahkan sampai heran saat kedua orang tuanya tampak sangat memperhatikan Jean. Mereka tidak iri, hanya aneh saja melihat orang tuanya yang berbeda dari biasanya.
"Mami sama Papi kesurupan, ya?" tanya Kean saat piringnya telah kosong.
"Kok, gitu?" tanya Linda heran.
"Ya, aneh aja. Biasanya marahin Abang terus. Aku kira kerasukan makanya jadi lembut banget ke Abang. Iya, kan, Kak?" jelas Kean dibumbui pertanyaan pada Sean di akhir.
Sean mengngguk setuju. "Iya, aneh dikit ga ngaruh, sih. Tapi aku sama Kean seneng, kok, kalo Mami sama Papi bisa selembut ini." Sean tertawa setelanya.
Linda dan Ferdi pun tersenyum menanggapinya. Tak mengelak jika saat ini keduanya memang tampak aneh karena sikap yang berubah tiba-tiba.
"Udah, nanti pada telat. Ayo, berangkat. Hari imi dan seterusnya kalian bertuga berangkat dan pulang sekolah Papi yang anter," ucap Ferdi.
"Loh, kenapa, Pi?" tanya Kean.
"Lebih aman. Papi ga mau anak-anak Papi keluyuran ga jelas sampe malem," jawabnya.
Jean yang merasa tersindir pun hanya menggaruk pipinya yang tak gatal. "Ya, maaaf, sih, Pi," kata Jean tak enak.
"Udah, gapapa. Ayo, Papi antar. Hitung-hitung hemat bensin."
Mau tak mau, Sean, Jean, dan Kean pun berangkat bersama Ferdi pagi ini. Untuk pagi-pagi berikutnya biarlah mereka diskusikan nanti.
.
.
—tbcGa jadi tenggelam😔
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
De TodoSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.