HAPPY READING LOV🤍✨
.
."Anjir! Gila, ya, bapak lo?" Mahesa menggebrak meja kantin dengan tidak santainya, beruntung kondisi kantin cukup ramai sehingga mereka tidak begitu menjadi pusat perhatian.
"Gila emang! Padahal Jean udah dapet banyak mendali dari taekwondo, tapi bisa-bisanya dia bilang taekwondo ga berguna? Stress! Lo minggat aja, dah, Jean. Gue siap nampung lo di rumah gue." Jeriko menimpali ucapan Mahesa dengan emosi yang tak kalah menggebu.
Saat ini kelimanya tengah berada di kantin, berhubung Jean membutuhkan bantuan dari teman-temannya ia pun menceritakan apa yang terjadi antara ia dan Ferdi kemarin. Mendengar cerita dari Jean, teman-teman Jean tentu langsung naik pitam. Mereka tidak habis pikir bahwa ada sosok orang tua yang begitu egois.
"Jangan heran gitu, dari dulu bokap gue emang udah ga waras kali."
"Tapi, kalo dipikir-pikir ada baiknya gue nurut sama Papi ga, sih?"
"Jangan, gila, ya, lo? Lo udah dikenal semua orang berkat taekwondo Jean. Bapak lo itu emang gila, lo jangan turuti dia cuma karena pengen disayang!" ucap Faisal tak terima.
Jean terdiam, ia tahu itu. Ia juga begitu mencintai taekwondo. "Gue bisa lakuin dua-duanya, kan? Gue bisa turuti kemauan Papi supaya gue jadi dokter. Gue juga bisa ikut taekwondo diem-diem." Jean berkata dengan ragu.
Teman-teman Jean terdiam, mereka merasa kasihan pada Jean yang malang. Mahesa menghela napasnya. "Terserah, deh, kita sebagai temen cuma bisa ngasih dukungan ke lo. Mau lo pilih yang mana, semoga itu yang terbaik, Jean."
Jean tertunduk, sedikit merasa bersalah pada teman-temannya yang berusaha mendukung Jean dan hobinya. "Makasih semua! Gue ga tau, kalo ga ada kalian mungkin gue udah beneran gila," lirihnya.
"Ngomong apaan, dah, kita ini temen, Je. Jadi santai aja," Ucap Setia yang baru saja menghabiskan baksonya.
Ah, Jean harus berhenti mengeluh. Meskipun ia tidak memiliki Ayah yang baik. Ia masih memiliki teman terbaik sepanjang masa.
—
"Mi, Papi udah pulang?" tanya Jean pada Linda—maminya.
"Belum, kenapa, Bang?" tanya Linda.
"Ada yang mau dibicarain, tapi kalo Papi belum pulang nanti aja, deh. Aku ke kamar dulu, ya!" ucapnya, lalu berjalan meninggalkan dapur.
Jean membaringkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Ia masih ragu akan keputusannya untuk menurutu kemauan sang ayah.
"Gapapa, Jean. Lo harus yakin! Kalo lo mau disayang, lo harus berguna buat Papi." Gumaman tersebut bertujuan utnuk membut dirinya kembali yakin akan pilihannya.
"Lagian bener kata Kean, gue harus utamain orang tua," gumamnya lagi.
Saat Jean tengah termenung mempertimbangkan pilihannya, pintu kamar Jean tiba-tiba diketuk.
"Jean, Papi manggil." Suara Sean, Jean yang mendengar hal tersebut segera bangkit.
"Iya,Kak, bentar!" Ia berganti baju terlebih dahulu sebelum akhirnya berjalan cepat menemui Ferdi.
Jantung Jean berdetak tak karuan, takut akan pilihannya sendiri. Ia sebisa mungkin meyakinkan dirinya bahwa ia memang harus menuruti kemauan sang ayah. Jika ia bisa membuat Ferdi bangga seperti Sean dan Kean, ia pasti akan diizinkan untuk kembali mengikuti taekwondo.
Begitu tiba di ruang keluarga, Jean menempatkan dirinya untuk duduk di seberang Ferdi yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Sudah menemukan pilihanmu?" tanya Ferdi sembari menyimpan ponselnya ke saku.
Jean dengan ragu mengangguk. "Sudah, Pi. Aku setuju untuk berhenti ikut taekwondo." Jean menunduk dalam. Ucapan Jean tak sepenuhnya benar, seperti yang ia katakan pada teman-temannya bahwa ia akan berlatih taekwondo secara sembunyi-sembunyi. Maaf, Pi, Abang bohong.
"Bagus, Jean. Masuk kamar, istirahat."
Ketegangan yang menyelimuti Jean seketika sirnah saat respon Ferdi terdengr lembut. Baru ini Papi minta aku buat istirahat, kalo aku seneng berlebihan ga, sih?
"Iya, Pi. Makasih, Papi." Jean segera beranjak. Langkahnya menuju kamar terhenti saat mendapati Linda tengah menata piring di meja makan. Ah, benar! Sebentar lagi makan malam.
Dengan langkah riang Jean menghampiri ibunya. Suasana hati Jean sangat baik karena mendapat sedikit perhatian dari sang ayah.
"Mami! Ada yang bisa Abang bantu?" tanya Jean sembari memeluk Linda dari belakang. Jean memang sangat menyayangi Linda, lebih dari apa pun. Mau bagaimanapun sikap Linda terhadap Jean, Jean tidak pernah bisa marah pada wanita tersebut.
"Abang duduk aja, sebentar lagi Oma datang." Linda menyahut dengan senyuman.
"Yang bener? Kok, tumben ga ngabarin Abang?" Jean mendudukan dirinya di kursi yang biasa ia tempati.
"Kata Oma kejutan, tapi Mami mana bisa kalo ga kasih tau Abang. Jadi, nanti Abang pura-pura kaget aja, ya?" Linda terkekeh.
Jean pun tertawa lebar, hingga lesung di pipinya terlihat. "Siap! Abang nanti mau pura-pura pingsan sekalian, deh!" katanya bergurau.
Linda tertawa, terasa hangat saat ia bersenda-gurau dengan anak tengahnya. "Sebentar, Mami mau ambil lauk di dapur dulu, ya!" Jen mengangguk menjawab perkataan Linda.
Sean dan Kean turun bersamaan, keduanya terheran saat mendapati Jean tersenyum lebar sambil bermain ponsel. Sangat langka, Jean jarang sekali tersenyum lebar kecuali saat di sekolah—bersama temn-temannya.
"Eh, ada apa, nih? Cerah banget mukanya," tanya Sean, kemudian duduk di seberang Jean.
"Ga biasanya, ya, kan, Kak?" sahut Kean.
Jean sedikit canggung, tetapi ia hanya tertawa kecil. "Gapapa, kok. Oh, iya, Dek! Makasih, ya, buat sarannya kemarin!"
Kean mengernyitkan keningnya. "Saran yang mana?" Bingung Kean.
"Gapapa kalo lupa, jangan diinget-inget." Jean tertawa melihat wajah serius Kean. Aneh saja, biasanya Kean selalu memasang wajah konyol sehingga wajahnya yang serius tampak konyol di mata Jean dan Sean.
"Udah, Dek. Mukanya biasa aja, jangan ngerut gitu!" Sean tertawa keras, begitu juga Jean. Membuat Kean merengut.
Tak lama kemudian, Linda datang membawa sepiring lauk yang masih panas. Ayam kecap, kesukaan si kembar!
"Wah! Ayam kecap! Spesial banget kayanya ini." Kean membantu Linda menaruh piring lauk tersebut di tengah-tengah meja makan.
Baru saja Sean dan Jean hendak menyaguti, Ferdi datang bersama seorang wanita lanjut usia. "Lihat siapa yang datang!" kata Ferdi, membuat atensi ketiga putranya teralihkan.
"Oma!" Jean yang paling antusias berlari menghampiri omanya.
Kean dan Sean pun tak mau kalah, keduanya berlari menghampiri Oma Rena. "Oma, kok, ga ngasih tau dulu kalau mau ke sini?" tanya Sean sembari memeluk hangat Oma Rena.
"Iya! Tiba-tiba aja dateng," sahut Kean.
Oma Rena hanya tertawa, merasa berhasil memberi kejutan pada ketiga cucunya. Tanpa tahu bahwa Jean dan Linda saling mengacungkan jempol, memberi kode bahwa misi pura-pura terkejut keduanya berhasil.
Makan malam berlangsung dengan hangat, Jean benar-benar senang. Kali pertama ia duduk di meja makan tanpa ketegangan. Senyum terus merekah di bibir Jean. Penuh harap, Jean membatin, semoga ini awal yang baik.
.
.
— tbcNgerasa kalau cerita ini bakal fail, tapi aku usahakan sebisa mungkin nulis sebaik yang aku bisa. Terima kasih sudah mampir, selamat beraktivitas kembali, Lov🤍✨
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
RandomSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.