HAPPY READING
.
.Hari ini seharusnya Jean berangkat sekolah. Namun, dikarenakan kejadian semalam Jean benar-benar tidak dalam kondisi yang baik untuk beraktivitas. Sejak selesai melaksanakan salat subuh, Jean hanya berbaring di tempat tidurnya dalam keheningan. Tubuhnya benar-benar lemas, tentu Jean tahu penyebabnya karena ia melewatkan makan selama lebih dari dua puluh empat jam. Ia juga sadar bahwa suhu tubuhnya cukup tinggi sekarang karena ia kehujanan tadi malam. Semalaman Jean tidur di lantai dengan keadaan perut kosong dan baju yang basah. Jika bukan karena fisiknya yang kuat mungkin Jean sudah dilarikan ke IGD saat ini.
Jean melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ponsel Jean sedari tadi terus berdering, menandakan ada pesan dan panggilan masuk yang mungkin dari teman-temannya yang ia abaikan. Hati Jean semakin sakit saat mengingat tangan Ferdi yang melayang begitu saja menampar pipinya. Sakit, tetapi tidak sesakit hati Jean. Di tambah orang-orang di rumah seakan mendiamkannya. Biasanya pukul enam pagi Linda pasti sudah memanggilnya untuk sarapan, tetapi hingga sekarang matahari sudah semakin naik tidak ada satu orang pun yang memanggilnya.
"Salah banget, ya, aku di mata kalian semua?" lirihnya. Pikirannya penuh dengan semua cacian yang Ferdi juga Linda layangkan padanya. Kurang baik apa Jean sebagai anak? Ia sudah begitu sabar menuruti setiap kemauan orang tuanya, tetapi mereka justru menambah luka di hati Jean tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tidak ingin semakin larut dalam kesedihan, Jean pun memutuskan untuk kembali tidur. Mungkin ketika bangun nanti perasaannya sudah jauh lebih baik.
—
Hingga sore hari Jean terus mengurung diri di kamarnya. Ia merasa lapar dan ingin ke dapur untuk sekedar menggoreng telur. Namun, Ia takut jika bertemu dengan orang tuanya atau saudaranya. Entahlah, hati Jean tidak tenang. Ia merasa bahwa orang-orang di rumah ini membencinya. Akan tetapi, saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, Jean segera beranjak ke luar kamar. Ia menduga Linda, Ferdi, dan dua kembarannya tengah pergi makan di luar.
Dengan langkah lunglai Jean berjalan menuju dapur, melihat meja makan dan menemukan sepiring nasi goreng di sana. Senyum merekah di bibir Jean saat melihat post it yang tertempel di sebelau piring tersebut.
'Mami minta maaf untuk kemarin, Abang makan yang banyak, ya. Mami dan yang lain makan di luar.'
Jean benar-benar tidak bisa menahan senyumnya selama makan nasi goreng buatan Linda. Selalu, Jean tidak pernah bisa marah pada wanita yang telah melahirkannya itu.
Begitu nasi goreng sudah habis, Jean segera kembali ke kamar. Takut jika Linda dan yang lainnya pulang. Jean masih tidak mau bertemu mereka. Rasanya sakit.
Jean benar-benar mengurung diri di kamar seharian. Ia memutuskan untuk mulai kembali belajar. Tidur seharian membuat Jean tidak mengantuk sama sekali hingga pagi menjelang.
—
"Bang, sarapan dulu," tegur Linda saat melihat Jean tidak berbelok ke ruang makan sama sekali.
"Aku sarapan di sekolah." Jean menjawab dengan nada datar dan sedikit ketus menurut Linda.
Ia seketika merasa sangat bersalah, menyadari bahwa semua ini berawal dari ia yang egois. Hanya karena telur.
"Udah, Mi, gapapa. Nanti biar Adek ngomong sama dia di sekolah." Kean berkata sambil memakan sesuap nasi yang telah ia ambil.
"Tolong, ya, Dek?" mohon Linda.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
RandomSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.