HAPPY READING
.
.Akhir pekan adalah hari yang sangat dinantikan oleh setiap orang. Terutama Jean, hari sabtu ini Ferdi sudah berjanji untuk meluangkan waktu bersama keluarga. Tidak ke mana-mana memang, mereka hanya akan piknik di halaman belakang rumah. Tak lupa, Ferdi juga mengundang Oma Rena.
"Oma!" seru Sean, Jean, dan Kean secara bersamaan. Nyatanya benar, mereka kembar tiga yang saling terhubung melalui batin.
"Ya, ampun. Cucu Oma! Oma kangen banget sama kalian bertiga," ucap Oma Rena saat tubuhnya dipeluk oleh ketiga cucunya.
"Ayo, Oma masuk. Mami sama Papi udah nunggu di belakang," ucap Kean sembari menarik pelan tangan Oma Rena agar mengikuti langkahnya.
Begitu keempatnya tiba di halaman belakang mereka langsung mendudukkan diri di tikar yang sudah Linda bentang bersama Ferdi. Beberapa makanan ringan pun telah di susun lengkap dengan semangkok besar es buah, juga beberapa kaleng minuman.
"Oma nginap ga nanti?" tanya Jean yang sedari tadi terus menempel pada omanya.
Oma Rena tersenyum, senang melihat Jean bahagia bersama keluarganya. "Nggak, dong. Oma pulang nanti," jawab Oma Rena.
"Yah, sayang banget. Padahal nanti malam Papi ngajakin bakar ayam, loh," kata Sean, menimpali obrolan Jean dan Oma Rena.
"Gapapa, dong. Nanti pas tahun baru bakar-bakar ayam lagi di rumah Oma, gimana?" ucap Oma Rena.
Dengan penuh semangat Sean, Jean, dan Kean menjawab, "Mau!" ketiganya saling tatap saat menyerukan kata tersebut bersamaan. "Mau banget!" seru ketiganya lagi, kemudian suara tawa pecah begitu saja saat menyadari bahwa Sean, Jean, dan Kean sangat kompak.
"Udah, sini ambil gelas masing-masing biar Mami isiin es buahnya," ucap Linda.
"Papi duluan, punya Papi pakai semangka yang banyak!" seru Ferdi penuh semangat, ia mengulurkan gelas yang ia pegang pada istrinya.
Begitu gelas sang suami penuh, ketiga anaknya bergantian mengulurkan gelas agar dapat diisi oleh minuman segar tersebut. Sedangkan Oma Rena, beliau hanya meminum segelas teh hangat. Bukan karena dibedakan, tetapi beliau memang lebih menyukai teh tawar hangat.
"Mami, browniesnya enak banget, besok bikin lagi, ya?" seru Kean saat telah menghabiskan tiga potong brownies.
Linda terkekeh saat mendapati remahan brownies yang memenuhi sekitaran bibir Kean. "Tenang aja, Mami bikin banyak, kok," balas Linda. Bukan hanya bualan, sebab ia telah membuat tiga loyang brownies—berharap cukup untuk satu minggu kedepan—mengingat ketiga anaknya sangat menyukai kue coklat tersebut.
"Asik, buat Adek semua, ya, Mi?" Ucapan Kean tersebut tanpa sadar mengundang keributan.
"Enak aja, Papi juga mau, ya!"
"Abang juga mau, Abang suma brownies buatan Mami," kata Jean tak mau kalah.
"Kakak! Kakak juga mau, Kakak anak kesayangan Mami, jadi browniesnya buat Kakak!" Kali ini Sean malah membawa status 'anak kesayangan' membuat suasana semakin memanas.
"Kan, Papi yang kasih uang buat belanja bahan bakunya," seru Ferdi lagi. Ambisinya masih menggebu-gebu—tidak sadar usia.
Perdebatan kanjang tersebut membuat Oma Rena dan Linda saling tatap dalam diam. Wajah kedua wanita tersebut tampak pasrah dan lelah. Hingga akhirnyaa kesabaran Oma Rena benar-benar habis. "Cukup! Browniesnya Oma jual. Ga ada yang bisa makan kalo ga beli lewat Oma!" ucap Oma Rena tegas. Suasana mendadak hening sesaat. Hingga satu persatu keluhan terdengar dari empat pria berbeda usia tersebut.
"Yah, kok, gitu, sih?" keluh Jean.
"Jahat banget, uang jajan Kakak, kan, udah habis buat beli cat kemarin," ucap Sean yang turut mengadu nasib.
"Uangku udah habis juga buat beli jajan kemarin." Kali ini keluhan Kean yang terdengar.
"Tega banget sama anak sendiri," ucap Ferdi dengan wajah masam.
Pada akhirnya mereka berempat hanya bisa pasrah, kendali utama saat ini berada pada tangan Oma Rena.
Kegiatan pun berlanjut hingga malam. Mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama, bahkan Oma Rena yang awalnya tidak ingin menginap pun terpaksa menginap karena sudah terlalu larut untuk pulang ke rumahnya. Waktu benar-benar tidak terasa jika dihabiskan bersama orang-orang terkasih.
—
Jean tengah berbaring di atas tempat tidurnya. Hari ini sangat menyenangkan, meskipun jam sudah menunjukkan waktu tengah malam Jean sama sekali tidak mengantuk. Ia masih sangat antusias.
"Andai aja dari dulu gini," gumam Jea.
Ia menggelengkan kepalanya, kemudian kembali bergumam, "harus bersyukur, Je."
Jean kembali melirik jam dinding. Kemudian berusaha untuk tidur saat tiba-tiba teringat pada teman-temannya. Sudah hampir seminggu mereka tak saling sapa. Bahkan Setia yang satu kelas dengan Jean pun enggan menyapa Jean atau membalas sapaan Jean.
"Gue salah apa, ya? Apa mereka ga seneng gue udah baikan sama Papi? Kan, ga mungkin," gumam Jean.
Saat ia tengah asyik dengan pikirannya, pintu kamar Jean tiba-tiba saja terbuka. Memperlihatkan sosok Sean yang memasuki kamar Jean dengan membawa sebuah guling.
"Kenapa, Kak?" tanya Jean heran.
"Ga bisa tidur gue," jawab Sean. Ia mendudukkan dirinya di sebelah Jean. Jean pun menggeser tubuhnya agar Sean bisa berbaring dengan leluasa.
"Sama, gue juga ga bisa tidur," kata Jean.
"Lo mikirin apa sampe ga bisa tidur?" tanya Sean heran. Pasalnya, belakangan ini Jean selalu tidur lebih awal.
"Ga ada, sih. Cuma mungkin kebawa suasana aja, lagi happy jadinya ga ngantuk samsek," jawabnya.
"Bohong, mata lo nunjukin kalo lo lagi mikirin sesuati. Mikirin apa?" tanya Sean sekali lagi. Tolong ingatkan Jean bahwa Sean terlampau peka akan kondisinya.
"Mikirin Setia sama yang lain, Kak," jawab Jean pada akhirnya saat menyadari ia tak bisa membohongi Sean.
"Kenapa lagi dia? Cari masalah sama lo?" tanya Sean. Ia tahu bahwa Sean dan teman Jean yang lain sempat adu mulut. Akan tetapi, Sean pikir masalah mereka telah selesai. Nyatanya dugaan Sean salah.
"Ngga, gue cuma bingung. Gue salah apa sama mereka? Terakhir kali mereka marah karena bilang gue ga bisa imbangi waktu belajar sama latihan taekwondo. Mereka nyalahin gue, Kak. Harusnya gue, kan, yang marah sama mereka?" kata Jean, matanya menatap netra Sean yang memenangkan. "Tapi, salah. Justru mereka yang marah ke gue. Setia bilang gue cuma ke mereka kalo lagi susah aja, padahal ngga, kok," imbuhnya.
"Gitu, ya? Gue juga ga terlalu paham karena ga deket sama temen-temen lo. Tapi, nanti hari senin gue bantu buat ketemu dan bicara baik-baik sama mereka mau ga?" ucap Sean, berusaha menenangkan Jean.
Tentu saja Jean menjawab dengan antusias. "Mau, makasih, ya, Kak!" katanya.
"Udah sekarang tidur aja, udah hampir jam satu. Nanti kalo ketauan Papi bisa habis kita," ucap Sean sembari menarik selimut. Disusul oleh Jean dengan melakukan hal yang sama.
Keduanga tertidur lelap. Menjemput mimpi indah yang telah menanti.
.
.
—tbcDibikin seneng dulu☺🤏🏻
Maafin kalo banyak typo, yaa. Maklum emang anaknya suka typo😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
Ngẫu nhiênSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.