HAPPY READING
.
.Ketakukan Jean benar-benar terjadi. Hari yang ia harapkan indah karena seharian bersama Oma Rena nyatanya hanya sebuah angan. Suara Ferdi yang membentaknya terus terdengar sejak tadi tanpa jeda sedikit pun.
"Kamu tau? Gara-gara kamu saya yang dicap sebagai orang tua ga bener!" teriak Ferdi dengan jari telunjuk yang mendorong kepala Jean.
Sejak memasuki rumah yang Jean lakukan hanya diam. Duduk, menundukkan kepala dan mendengarkan setiap kata menyakitkan yang keluar dari mulut ayah kandungnya.
"Kamu dengar tidak saya bicara apa?" bentak Ferdi lagi. Ia geram karena Jean sejak awal hanya mendiamkannya.
Nyatanya Jean tengah berusaha melawan rasa takutnya. Ia diselimuti kebingungan. Jika melawan, bukankah ia berdosa? Tetapi jika hanya diam, Jean akan terus mendengar kalimat menyakitkan yang ditujukan padanya.
"Aku dengar," jawab Jean lirih.
"Bagus! Sekali lagi kamu kabur ke rumah omamu, habis kamu di tangan saya!"
Jean tersentak. Benarkah Ferdi mengancamnya? Menghabisi yang gimana lagi, Pi? Aku bahkan udah hancur sejak dulu. Jean tersenyum miring. Merasa kasihan pada dirinya sendiri.
Tidak ada yang membelanya, tidak ada yang mentap iba padanya. Di ruangan tersebut ada Linda, Sean, dan Kean. Namun ketiganya seolah enggan mencampuri urusn Jean. Mereka seakan turut menyalahkan Jean.
"Papi udah selesai bicaranya? Aku mau istirahat, cape." Lirihan tersebut terdengar dari Jean.
"Pergi," kata Ferdi yang artinya ia setuju jika Jean kembali ke kamar sekarang.
Tanpa berkata apa pun lagi, Jean segera beranjak menuju kamarnya dengan perasaan sesak.
"Aku capek banget. Apa ga ada yang bisa ngertiin aku? Kenapa harus aku yang selalu ngertiin mereka?" lirih Jean. Tubuhnya meluruh di balik pintu kamar. Jean lelah dengan keadaan rumah yang kacau.
"Aku udah nurut, udah berusaha perbaiki nilai. Tapi mereka masih anggap aku ga bisa apa-apa. Percuma."
"Aku capek!" teriaknya keras. Ia tak lagi peduli jika ada orang yang mendengar teriakannya. Biarlah ia dianggap gila, nyatanya Jean benar-benar merasa bahwa keluarganya telah membuat ia gila.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk pulang, justru menjadi tempat paling menyesakkan bagi Jean. Orang tua yang seharusnya membimbing Jean justru menjadi sosok yang membuat Jean jatuh. Saudra yang seharusnya saling melengkapi, justru menjadi lawan.
Di dunia yang seluas ini, Jean hanya memiliki dirinya sendiri untuk berlindung. Hanya dirinya yang mampu menyayangi Jean. Hanya ia yang mampu melindungi dirinya sendiri.
—
"Gue harua gimana? Gue capek banget. Gue udah berhenti dari taekwondo padahal itu dunia gue." Jean dan teman-temannya saat ini tengah berada di rumah Mahesa.
"Udah gue bilang. Harusnya lo jangan keluar dari taekwondo. Sekarang nyesel, kan, lo?" Kalimat tersebut jelas membuat Jean naik pitam.
"Lo bisa jangan pojokin gue dulu ga, sih, Sal? Gue cerita ke kalian itu buat dapet solusi, bukan dapet cacian!" ucap Jean dengan suara yang sedikit meninggi.
"Jean! Jangan emosi bisa ga, sih? Lagian yang dibilang Faisal ga salah!" bentak Setia.
Jean menarik napasnya. "Ternyata semua orang itu sama aja." Jean berkata sembari mengambil tas yang ia lerakkan di bawah kakinya. Saat ia hendak beranjak, tangannha dicekal oleh Mahesa.
"Jean, tenang dulu. Kita bicarain baik-baik," kata Mahesa.
Mau tak mau, Jean akhirnya kembali duduk di sebelah Mahesa dengan wajah suramnya.
"Gue tau lo mungkin capek. Tapi apa yang orang tua lo lakuin itu juga buat kebaikan lo Jean. Coba aja lo bisa imbangi waktu belajar dan latihan taekwondo lo, mungkin sekarang kondisinya ga gini," tutur Mahesa dengan nada sehalus mungkin. Berusaha agar tidak membuat Jean tersinggung.
"Lo tau apa, sih?" lirih Juan dengan mata yang memerah.
"Gue udah imbangi waktu, kok. Ini bukan masalah gue yang keasikan latihan taekwondo sampe ga belajar. Dari kecil gue emang ga pernah dilirik, gue seolah ga ada di rumah. Kalian bisa gampang bilang gue yang salah karena ga pernah ngerasain ada di posisi yang sama kaya gue. Keluarga kalian sempurna, kalian ga pernah tau gimana sakitnya jadi gue. Gue capek! Sanking capeknya gue pengen mati,"kata Jean dengan napas yang terengah.
Ruang tamu rumah Mahesa mendadak sunyi. "Gue beneran capek. Gue tau banyak orang yang nasibnya lebih jelek dari gue. Tapi gue capek." Lirihan tersebut keluar dari Jean.
"Gue cerita ke kalian berharap dapat pengertian. Gue berharap kalian ngasih solusi ke gue. Bukan ini yang gue harapin. Kalo kalian cuma mau nyalahin gue, mending ga usah. Gue muak." Jean mengusak rambutnya kasar kemudian beranjak pergi meninggalkan rumah Mahesa. Entah ke mana tujuannya saat ini, yang pasti bukan rumah. Jean masih belum mau bertemu orang-orang di rumahnya.
Motor Jean melaju pelan. Jean mengendarai motornya menuju sebuah taman yang letaknya tak jauh dari rumah.
Jean duduk di pinggir danau dengan tatapan kosong. Hari sudah cukup sore, Jean belum izin pada orang tuanya jika ia pergi permain setelah pulang sekolah. Mungkin saat ini Ferdi di tengah memakinya di rumah. Atau mungkin Ferdi, Linda, Sean, dan Kean tengah pergi makan di luar tanpa mengingatnya.
Jean menatap air danau gang memantulkan bayangan pohon juga matahari yang hampir tenggelam. Tatapannya kosong, tetapi kepalanya berisik.
—
"SEORANG SISWA DENGAN SERAGAM PUTIH ABU-ABU DI TEMUKAN TENGGELAM DI SEBUAH DANAU."
Headline berita tersebut menjadi perhatian Ferdi saat ini. Ia baru saja pulang dari makan di luar bersama istri dan anaknya. Berbeda dengan Linda dan kedua putranya yang memutuskan untuk langsung beristirahat, Ferdi justru memilih untuk duduk dan menonton TV di ruang keluarga.
"Seorang siswa dengan seragan SMA tersebut diduga bunuh diri. Hingga saat ini, identitas dari siswa tersebut belum diketahui."
Ferdi melihat dengan seksama berita di TV. Danau yang menjadi tempat kejadian perkara seperti tidak asing di matanya. Mata Ferdi menyipit saat melihat sepatu lusuh yang ada di TKP. Seketika hati Ferdi menjadi risau. Dengan tergesa ia berlari menuju kamar putranya, berharapa ia menemukannya di kamar.
Linda yang berjalan yang hendak ke dapur mencegh langkah terburu Ferdi. "Kenapa, Pi? Kok, kaya cemas gitu?" tanya Linda.
"Anak itu ada di kamarnya, kan?" fanya Ferdi.
Linda mengernyit, sedetik kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku belum cek, kenapa, Pi?" tanya Linda lagi.
Ferdi semakin cemas. Ia mengabaikan Linda dan berjalan dengan cepat menuju kamar Jean.
Tangan bergetar Ferdi mengetuk pintu kamar Jean dengan keras sesekali ia juga memanggil nama Jean. Namun nihil, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Jean bukan anak yang akan mengabaikan orang tuanya, semarah apa pun, Jean akan tetap menyahut jika dipanggil.
Ferdi berusaha berfikir positif, maka dengan cepat ia membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Berharap pikiran buruknya tidak benar-benar terjadi.
.
.—tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
RandomSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.