Pagi hari, seperti biasa Jean bangun pukul empat pagi. Pemuda bersurai kecokelatan itu memutuskan untuk segera mengambil wudhu kemudian melaksanakan ibadah sholat subuh.
"Keknya PR udah selesai semua, deh, kemarin. Apa, ya, yang belum?" gumamnya saat mempersiapkan peralatan sekolahnya.
"Ah, iya! Baju olahraga, bisa-bisanya lupa!" Jean pun berjalan membuka lemari bajunya, mencari baju olahraga yang ternyata sudah tersusun rapi di dalam lemari.
"Makasih, Mami, udah siapin baju Abang." Jean bergumam lagi. Jean memang sering berbicara sendiri. Kadang, Jean juga kelepasan bicara sendiri saat ada di keramaian membuat ia dipandang aneh. Bagi Jean tidak masalah, toh, semua orang bebas berpendapat.
Begitu semua perlengkapan sekolahnya siap, Jean meletakkan tasnya di ruang keluarga kemudian berjalan ke dapur. Ingin melihat apa yang maminya masak pagi ini. Aroma masakan yang sangat Jean kenal memasuki indera penciumannya saat memasuki area dapur.
"Wah, nasi goreng pake sosis! Pasti enak banget, ada yang bisa Abang bantu?" tanya Jean sambil nelihat maminya yang fokus mengaduk nasi goreng agar tercampur dengan bumbu secara merata.
"Bantu bawa piring aja, Bang, ke ruang makan. Makasih, ya, Nak!" Jean tersenyum hangat. Padahal semalam ia sangat kesal karena ditinggal maminya makan malam di luar, tetapi hanya karena mendengar suara halus sang ibu ia langsung saja luluh.
Jean berjalan menuju ruang makan dengan lima tumpuk piring dan lima pasang sendok garpu di atasnya. Ia kemudian menyusun piring dan perlengkapan makan ke atas meja saat tiba di ruang makan.
"Wah, Abang rajin amat!" kata seseorang yang berstatus sebagai adik Jean. Ia Kean, adik Jean yang selisih umurnya hanya lima menit.
Tak lama kemudian, Sean dan sang kepala keluarga tiba di ruang makan. empat orang laki-laki berbeda usia itu pun duduk di tempatnya masing-masing. "Adek sama Kakak nanti pulang jam berapa?" tanya Ferdi—Ayah si kembar tiga—sembari mengusap kepala Kean yang duduk di dekatnya.
"Aku kaya biasa, Pi, ga ada kegiatan lain, kok." Kean menjawab dengan senyuman bahagianya. Mendapat usapan dari Ferdi adalah tambahan daya di pagi hari.
Pandangan Ferdi kemudian terarah pada si sulung, bermaksud menagih jawaban dari pertanyaan yang ia berikan. "Aku juga langsung pulang, Pi," ucap Sean.
Jean? Ia hanya diam, Ferdi tidak bertanya padanya. Namun, merasa harus Jean pun berkata, "Abang nanti ada latihan taekwondo, Pi, pulang agak sore. Boleh, kan?" izinnya.
Ferdi berdecak, "Taekwondo lagi, kamu ga lihat badanmu sudah memar semua? Lagi pula, harusnya kamu contoh Kakak sama Adek yang pulang sekolah belajar, ga kayak kamu. Kalo ga main, ya, taekwondo. Ga pernah belajar!" cerca Ferdi. Jean menciut, Ferdi adalah irang nomor satu yang Jean takuti.
"Tapi Abang, kan, tetep belajar malemnya, Pi." Jean membantah ucapan Ferdi, tetapi sepertinya Juan salah mencari ribut di pagi hari begini.
"Taekwondo itu ga menghasilkan apa pun, Jean! Lebih baik kamu belajar! Papi mau kamu jadi dokter, bukan atlet! Paham? Papi ga mau anak Papi ga punya masa depan karena hobinya yang ga berguna!"
Jean mengepalkan tangannya, ia beranjak pergi begitu saja. Tanpa pamit, Jean berlari mengambil tas dan kunci motornya di ruang tamu.
"Bodo amat! Dasar pak tua pilih kasih." Jean bergumam sembari memakai helmnya. Ia pun mengendarai motornya menuju sekolah dengan kecepatan standar. Jean masih sayang nyawa.
—
Motor Scoopy hitam Jean berhenti di parkiran khusus motor. Tepat di sebelah Jean memarkirkan motornya, terdapat empat motor lain yang tak lain adalah motor teman-teman Jean.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐬𝐭 𝐂𝐡𝐨𝐢𝐜𝐞 [END]
De TodoSejak kecil, Jean terbiasa mengalah juga disalahkan. Terlahir kembar tiga bukan berarti sama. Selain rupa, nasib Jean dan dua kembarannya juga berbeda.