Pagi ini Wendy disambut dengan suasana yang menyejukkan. Sudah lama rasanya sejak terkahir kali ia menikmati suasana sejuk khas Puncak.
Hari ini ia tidak ada jadwal mengajar di sekolah, tadinya ia akan memanfaatkan waktu luang dengan bersantai di rumah bersama Cinta. Tapi dini hari tadi seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan brutal, mengajaknya dan Cinta untuk jalan-jalan mengisi waktu luang. Hampir saja tadi Wendy memukul wajah pria itu saking kesalnya.
Wendy berjalan menyusuri area villa yang sejuk dan menyegarkan. Sementara Cinta masih tidur di villa. Ini bukan kali pertama ia ke sini. Rasanya menenangkan sekali karena hari ini ia libur bekerja, kecuali nanti malam tentunya.
Wendy naik ke atas batu, duduk sembari menikmati hijaunya perkebunan teh. Tiba-tiba seseorang datang menyodorkan secangkir kopi padanya. Tentu Wendy menerima dengan senang hati. Meskipun ia kurang tidur, tapi rasanya sayang kalau harus tidur dan melewatkan pemandangan pagi ini.
"Keliatan banget gak pernah jalan-jalan."
"Kayak yang diri sendirinya ada waktu aja buat jalan-jalan."
"Waktu sih ada, cuma lebih enak di rumah aja, rebahan sambil ngemil."
Wendy mengangguk setuju atas pernyataan pria di sampingnya. Memang rebahan di rumah adalah sesuatu yang langka ia dapatkan. Jadi untuk kalian yang masih bisa rebahan, maka rebahanlah sedikit lebih lama lagi karena kalian akan merindukan rasanya suatu saat nanti.
"Rencananya gue mau ngambil spesialis."
"Bagus. Spesialis apa?"
"Kardiotoraks."
Saat kecil Wendy sempat punya keinginan untuk menjadi dokter spesialis kardiotoraks, berharap ia dapat menyembuhkan seseorang. Sayangnya cita-citanya itu harus ia kubur dalam-dalam saat menginjak kelas 1 SMP setelah Papanya mengatakan sebuah fakta yang mengejutkan.
"Bagus. Aku yakin kamu pasti bisa."
"Gue mau nyembuhin Cinta."
Wendy tersenyum tipis, menatap Vano yang tengah menatapnya dengan serius.
"Makasih."
Vano tidak membalas, "Di minum, nanti keburu dingin." ujarnya.
"Padahal masih panas, tapi berhubung udaranya dingin jadi gak kerasa."
"Mau lagi?"
"Enggak, gak usah. Ini udah cukup kok."
Vano mendesah kasar, menikmati paginya yang menyejukkan. Kapan lagi ia akan merasa se-segar ini. Berada di Puncak bersama sahabatnya, Wendy. Ya semoga saja wanita itu juga menganggapnya sebagai sahabat.
"Kalo kita mundur ke 10 tahun yang lalu, lo pernah ngebayangin gak kalo kita bakal duduk berdua di sini?"
"Ya enggak lah." Wendy membalasnya sembari tertawa kecil.
Hubungan Wendy dan Vano hanya sebatas tetangga, tidak lebih. Itu pun mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah bertegur sapa baik di rumah maupun di sekolah. Di rumah, Wendy jarang keluar. Kalau pun keluar juga belum tentu Vano ada di luar rumah. Sedangkan di sekolah, Wendy benar-benar tidak bisa bersosialisasi. Padahal saat kecil ia termasuk anak yang ceria. Tapi setelah masuk ke bangku sekolah, ia sangat kurang bergaul.
"Gue pernah berdoa mau ada di sini sama cewek yang gue sayang,"
Wendy menoleh, menunggu Vano melanjutkan perkataannya.
"Gue emang sayang sama lo, tapi bukan lo yang gue maksud. Ahh gue jadi belajar sekarang kalo berdoa itu harus spesifik, kalo bisa gue tunjukkin fotonya." lanjut Vano yang diakhiri kekehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle of Love
ChickLit[Semua Karakter/Tokoh dalam Cerita Ini Fiktif. Apabila Terjadi Kesamaan Itu Hanya Kebetulan Belaka] Di malam pertunangannya, Yudha mendapat sebuah surat dari seorang wanita yang ia kenal. Isi surat itu membuatnya terkejut, bahkan tangannya bergetar...