14. Hujan di Suatu Sore

59 7 0
                                    

Tidak ada yang salah dengan yang namanya membuat rencana, meski terkadang takdir itu sendiri tidak sesuai dengan yang direncanakan. Sebaik-baiknya rencana sejatinya kita hanyalah manusia biasa yang akan selalu mengikuti garis takdir yang sudah digariskan oleh sang pencipta. Berbicara tentang takdir, apa boleh takdirnya sebercanda ini?

Perempuan bersurai hitam legam itu menutup laptopnya setelah dirasa matanya cukup lelah melihat layar berukuran 14 inci itu. Ia lantas meminum secangkir kopi yang kini sudah dingin. Sudah lebih dari satu jam lamanya ia berada di café. Hujan masih mengguyur kota tempat tinggalnya, lama, dan cukup deras.

Matanya memandang ke luar, melihat banyaknya orang yang masih berlalu lalang di bawah guyuran hujan. Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa orang juga terlihat memilih berteduh di depan toko. Ada satu objek yang menarik perhatiannya, yaitu seorang Ayah dengan putrinya yang duduk berteduh di samping gerobak rongsokan miliknya.

Tanpa disadari bibirnya tersenyum tipis, satu alisnya terangkat setelah merasa ada perasaan yang seharusnya tak boleh ia rasakan. Rindu.

Sudah lebih dari 10 tahun sejak pengusiran yang dilakukan oleh Papanya, sejak saat itu Wendy tidak pernah lagi bertemu dengan Papanya sampai dengan sekarang. Entah di mana adanya sekarang pria tua itu, yang jelas Papanya tidak ada di rumah tempat mereka tinggal dulu.

Di mana pun Erlan sekarang berada, sebagai putri kandungnya, Wendy tidak peduli lagi. Ia hanya berdoa semoga Papanya selalu diberi kebahagiaan yang disertai kesehatan. Wendy tidak pernah berdoa atau menginginkan hubungan ia dan Papanya membaik. Baginya sekarang semuanya sudah cukup. Ia sudah merasakan bagaimana tersiksanya masa sekolah hanya demi memenuhi ekspektasi Papanya.

“Maaf, boleh saya duduk di sini? Kebetulan tidak ada lagi tempat yang kosong.”

“Iya, ten…tu,”

Keduanya sama-sama terdiam, saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya suara petir menggelegar memutus tautan mata mereka. Di luar hujan semakin deras mengguyur ibu kota, yang mana karena hal itu membuat café ini penuh oleh mereka yang singgah untuk berteduh.

Namun, mengapa dari banyaknya café di sekitar sini harus Yudha orang yang meminta bergabung duduk dengannya?

“Keberatan?”

Wendy meneguk salivanya kemudian menggeleng, “Enggak, silahkan kalo mau duduk.”

Memangnya kenapa ia harus keberatan? Toh memang semua pengunjung di café ini mempunyai hak yang sama. Justru seharusnya ia yang sudah pergi dari sini karena terlalu lama duduk hanya dengan secangkir kopi saja.

Beberapa saat kecanggungan melanda keduanya, baik Yudha maupun Wendy sama-sama diam sehingga hening menyelimuti mereka. Tak lama seorang waiters datang membawa segelas kopi berwarna hitam pekat, pesanan Yudha.

“Apa kabar, Wen?”

“Baik, kamu?”

“Baik juga.”

Lagi, hening menyelimuti mereka selama lima menit.

“Soal suami kamu, aku baru tau dari Alpen belum lama ini. Maaf, saat itu tidak datang melayat.”

“It’s okey, itu udah lima tahun yang lalu.”

“Selama lima tahun terakhir ini kamu baik-baik aja?”

Wendy menegapkan tubuhnya, merasa bahwa pertanyaan Yudha tidak seharusnya ditanyakan. Karena nyatanya mereka berdua tidak sedekat itu untuk sekedar ingin tahu.

“Kamu sendiri, gimana selama ini?”

Ada jeda yang cukup panjang sebelum Yudha menjawab, “Tidak pernah lebih baik dari saat ini.”

Miracle of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang