15. Sahabat yang Selalu Ada

48 7 0
                                    

Suara siulan terdengar di antara hening yang menyelimuti kamar minimalis benuansa putih. Sebelumnya bukan karena tidak ada orang, karena nyatanya ada tiga pria dewasa yang sayangnya sibuk dengan urusan masing-masing.

Seperti Yudha yang sedari tadi sibuk bertelepon dengan Sarah, Alpen yang kebingungan memilih WO untuk acara pernikahannya, dan Vano yang tertidur nyenyak di atas karpet.

“Ampun Pak Dokter pelor banget,” Chiko datang membawa makanan untuk sahabat-sahabatnya.

Setelah menyimpan makanan di meja, pria dengan wajah tampan itu berbaring di kasurnya, kemudian bersiul lagi.

“Padahal malam minggu, tapi pada sibuk banget.”

Chiko duduk bersila di kasurnya, memerhatikan Yudha dan Alpen secara bergantian. Matanya kemudian beralih memerhatikan Vano, Chiko menghela napasnya, menggeleng kecil melihat Vano yang tertidur lelap. Kasian sekali sahabatnya itu.

“Gak enak ternyata jadi dokter, untung dulu gue bego,”

“Bukannya sekarang juga masih ya? Begonya.”

“Sialan lo! Sekarang justru gue makin pinter cari duit, gede lagi duitnya. Kerja juga gak perlu pusing-pusing kayak lo semua. Ya walaupun tertekan dikit, tapi gak papa lah.”

Chiko meneguk minuman kaleng miliknya sampai tandas. Kemudian ia melemparnya ke tempat sampah. Sial, lemparannya meleset. Yudha yang melihat itu lantas memungutnya dan memasukan ke tempat sampah.

“Kayaknya silinder gue nambah,”

“Bukannya lo minus?”

“Iya, kan diborong sama silinder juga.”

“Minus otak maksud gue.”

Yudha terkekeh mendengarnya. Alpen dan Chiko memang seperti itu sejak dulu. Syukurnya kedua manusia itu tidak berubah sampai sekarang.

“Lo balik gih! Rese tau lo.”

Ck, mentang-mentang yang punya kamar.”

“Kalo tau minus sama silinder, kenapa lo gak pake kaca mata?” tanya Yudha. Ia sudah selesai bertelepon dengan Sarah. Katanya masih butuh waktu yang lumayan untuk Kakak sepupunya itu menyelesaikan pekerjaannya di Macau.

“Biasanya gue pake kontak lensa. Tapi kadang pake kaca mata juga biar keliatan dewasa, berwibawa, dan hot.”

“Pantat lo tuh yang hot!” sarkas Alpen.

“Dan lo tau Raden, kalo gue pake kaca mata yang deketin gue itu cewek-cewek independent yang gajinya udah dua digit. Maklum, pesona pria well done. Tapi gue maunya dedek-dedek gemes yang baru lulus SMA, HAHAHA!”

“Gila lo!”

“Jangan kelewat batas, Chik!”

Chiko masih tertawa mendengar respon kedua sahabatnya. Siapa juga yang mau sama anak di bawah umur. Chiko hanya bercanda dengan omongannya barusan.

“Canda, please.”

“Omongan itu doa, hati-hati.”

“Iya Raden, gue barusan cuma becanda doang.”

Chiko beranjak dari duduknya, berjalan menuju meja kerja untuk mengambil kaca mata.

“Anjir, kalo ada tsunami juga kayaknya Abraham Adijaya gak akan bangun.”

Yudha mengangguk setuju. Lima menit setelah mereka datang ke rumah Chiko, Vano langsung merebahkan tubuhnya di atas karpet. Yudha pikir Vano akan bersantai saja, rupanya pria itu tertidur. Benar ternyata kalo dokter itu bisa tidur di mana saja.

Miracle of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang