Akhirnya, tibalah hari Jumat – hari yang ditunggu-tunggu semua orang. Setelah seminggu belajar yang melelahkan, akhirnya aku bisa istirahat. Tapi, aku tidak begitu bersemangat seperti yang seharusnya. Aku baru saja pergi ke lantai dasar gedung fakultas untuk memeriksa nilai ujian yang dipasang dan menemukan bahwa aku gagal lagi dalam ujian dan suasana hati baik yang ku rasakan telah hilang.
"Lihat? Sudah ku bilang padamu bahwa kau mengalami kesialan. Hal-hal buruk akan terus menimpamu. Sudah kubilang padamu bahwa kau harus pergi membuat pahala dan menemui peramal itu, tapi kau tidak mendengarkan!" kata Thi dengan keras.
"Apa hubungannya kesialan dengan ini?"
"Apa hubungannya? Saat kau mengalami kesialan, apapun yang kau lakukan, segalanya akan menjadi buruk. Lihat dirimu sekarang." Alasan tidak masuk akal temanku itu mulai membuat kepalaku sakit, aku tak mau berdebat dengannya.
"Tidak apa-apa, satu ujian saja tidak akan menyebabkan nilai rata-ratamu turun terlalu banyak, paling hanya 0,1." Dia melihat ekspresi seriusku dan tidak terus bercanda denganku. Dia menepuk kepalaku dengan lembut untuk menghiburku, lalu mengambil sodanya dan meminumnya dengan santai.
"Kau cukup tenang." Aku melihat ke arah temanku yang mendapat nilai lebih rendah dariku tapi memasang ekspresi cerah dan santai. Jujur, aku merasa agak iri.
Motto hidup Thi adalah: Tidak perlu terlalu serius dalam segala hal, termasuk belajar. Dia sama sekali tidak peduli dengan nilainya. Katanya, dia hanya perlu lulus. Dia bisa berbicara seperti ini karena keluarganya sangat berkecukupan, dia bisa langsung bergabung dengan bisnis keluarga setelah dia lulus. Berbeda dengan ku, yang harus bergantung pada nilai ku untuk mencari pekerjaan. Mengingat betapa ketatnya persaingan antar mahasiswa, aku tidak punya pilihan lain selain belajar dengan giat.
"Hei, kau harus berusaha menjadi lebih sepertiku. Jangan terlalu memperhatikan gangguan ini. Kau selalu bisa menebusnya nanti. Ngomong-ngomong, apa siswa tahun kedua sudah selesai dengan kelasnya apa belum?" Thi melihat sekeliling dengan penuh semangat. Sepulang kelas, dia selalu enggan langsung pulang, karena terlalu sibuk mencari orang tertentu.
"Masih ada 10 menit. Pan baru saja mengirimiku pesan bahwa profesor mereka benar-benar tepat waktu."
"Bagaimana bisa seorang dosen mengajar di luar jam pelajaran?!" Thi tampak jengkel, mengambil sepotong es dan mengunyahnya untuk mengurangi kebosanannya.
"Kenapa kau masih duduk di sana, bukankah kau harus buru-buru pulang?"
"Aku akan menunggu bersamamu, kalau tidak... kau akan kesepian. Bukankah kita sahabat?" Aku memaksakan diri untuk tertawa. Kemampuan aktingnya di bawah standar, senyuman di wajahnya jelas-jelas palsu.
Aku harus berbicara dengan Pan lagi hari ini dan Thi bertekad untuk mendekati Pan, itulah satu-satunya alasan dia masih duduk di sini bersamaku, meskipun faktanya aku tidak membutuhkan siapapun untuk menemaniku. Kami mengobrol tentang beberapa topik acak untuk menghabiskan waktu. Sejujurnya, menurutku perilakunya agak aneh. Ketika aku bertemu dengannya di tahun pertama kami, dia adalah orang yang tidak tertarik untuk terlalu terlibat dengan orang lain. Dia tidak pernah menganggap siapa pun terlalu serius tapi kemudian kami memasuki tahun kedua dan ditugaskan untuk mengurus siswa tahun pertama, dan saat itulah dia bertemu Pan.
Pertama kali dia melihat Pan, aku perhatikan dia terus-menerus menatap anak laki-laki kecil yang lucu itu. Tindakannya sudah mengkhianati niatnya untuk dekat dengan juniorku.
Pada awalnya, aku berasumsi bahwa dia bersikap seperti biasanya, tidak menganggap siapa pun terlalu serius. Pan adalah murid tahun pertama yang ada di bawah pengawasanku, jadi aku menyuruh Thi untuk tidak mengejarnya dengan cara seperti itu. Aku tahu kepribadiannya, jadi aku takut kalau mereka berkencan, mereka tidak akan bertahan lama dan itu akan membuat juniorku patah hati. Namun, kata-kata Thi mengejutkanku.