Keinginanku menjadi kenyataan sebulan kemudian.
"Emh..." Di tengah malam, satu-satunya suara yang memenuhi udara hanyalah kicauan serangga yang mencari pasangannya. Aku bangkit dari tidurku, perlahan membuka kelopak mataku yang mengantuk.
Dalam cahaya redup yang dipancarkan oleh lampu samping tempat tidur, aku mengamati sekeliling, mencoba menghitung jam berapa sekarang. Meskipun tidak ada jam yang bisa menunjukkan waktu dengan tepat di zaman sekarang ini, akhir-akhir ini aku selalu bangun sebelum fajar seperti ini. Itu menjadi kebiasaan bagi ku. Aku meluruskan kakiku, melakukan peregangan dengan malas. Namun, aku tak bisa banyak bergerak karena ada lengan kekar milik seseorang yang memelukku dari belakang.
Menatap tubuh telanjangku yang tersembunyi di balik selimut, aku menoleh untuk menatap kekasihku, yang berada dalam kondisi serupa. Kau mungkin mengira wajahnya yang tajam dan tubuhnya yang menarik sudah tidak asing lagi bagi ku sekarang, karena aku melihatnya setiap pagi, tetapi hati ku masih hangat dan membengkak setiap kali aku melihatnya.
Saat fajar menjelang, dengan enggan aku melepaskan rasa manis di dadaku, mengeraskan hatiku, dan menyenggol orang yang berbaring di sampingku.
"P'Phop, bangun, ini sudah hampir pagi," bisikku, berusaha melepaskan lengannya dari sekelilingku. Karena kami belum menikah, Bibi tetap melarang kami tidur sekamar. Namun, P'Phop masih menyelinap ke kamarku setiap malam seperti sebelumnya, dan kembali ke kamarnya sebelum fajar.
"P'Phop, bangun," ulangku. Orang yang memelukku dari belakang mengerang, matanya masih tertutup. Sebaliknya, lengannya memelukku lebih erat lagi, sampai aku tidak bisa menahan senyum.
Sebenarnya, P'Phop mudah tidur, dan suara sekecil apapun dapat membangunkannya. Meski begitu, dia secara ajaib berubah menjadi tukang tidur setiap kali tiba waktunya untuk kembali ke kamarnya, seperti yang dia lakukan sekarang. Lengannya akan melingkari tubuhku sampai aku tidak yakin apa itu lengan manusia, atau tentakel gurita.
"P'Phop, ini sudah pagi. Ayo kembali ke kamarmu," kataku sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tentakel guritanya. Aku duduk dan mengguncangnya hingga akhirnya dia membuka matanya.
"Bolehkah aku berbaring di sini dan memelukmu seperti ini?"
Pria yang lebih besar menopang dirinya dan duduk di tempat tidur, memelukku dari belakang. Bibirnya yang hangat dengan lembut mencium bahu dan leherku, membangkitkan kenangan akan malam intim yang kami lalui. Aku merasakan panas di perut bagian bawahku, hampir seperti menyalakan api unggun kecil di dalamnya.
"Tidak, kalau ada yang tahu dan melaporkannya pada Bibi, kita berdua akan dimarahi," kataku pada kekasihku, menyembunyikan kekesalanku.
Cahaya redup lentera terpantul di alisnya yang gelap, yang berkerut. "Siapa yang berani buka mulut?" Dia bertanya.
"Seseorang, mungkin. Lebih baik berhati-hati, bukan begitu?" Jawabku sambil melirik ke arahnya. Pria tua itu terdiam beberapa saat.
"Aku ingin hari pernikahan kita segera tiba," petugas polisi itu menghela nafas panjang. Dia mengusapkan wajahnya ke bahuku, sebelum menciumku erat di tengkukku.
Aku tersenyum tipis, membiarkannya duduk dan memelukku seperti itu selama beberapa menit lagi, sebelum sekali lagi mengingatkannya untuk kembali ke kamarnya. Dia kemudian bangkit, mengambil cawat dan melilitkannya di pinggangnya secara santai. Begitu dia kembali ke kamarnya, aku akhirnya berpakaian dan melemparkan diriku kembali ke tempat tidur. Aku menatap balok kayu di langit-langit, merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi selama sebulan terakhir.
Yang terpenting adalah patroli tersebut berhasil mencegat kiriman opium dalam jumlah besar. Ai'Cherd dan rekan kejahatannya ditangkap. Setelah beberapa saat, P'Phop dan Than Phraya berhasil mengumpulkan bukti Muen Harn dan Phra Sunthorn sebagai pelaku utama operasi opium, dan berhasil mendapatkan surat perintah penggeledahan rumah mereka.