Sudah hampir dua minggu sejak aku datang untuk tinggal di rumah Phraya Phichai Phakdi. Phraya dan Bibi Ying merawatku dengan sangat baik, seolah-olah aku adalah anggota keluarga. Bahkan orang-orang sombong di rumah yang tidak menyukaiku pun tidak berani melanggarku. Mungkin karena Klao bersikap agresif terhadap semua orang. Sebagian besar pelayan di rumah ini baik padaku, dan karena aku tidak bertindak seperti bos mereka, mereka memperlakukanku lebih baik lagi.
Bahkan bisa dibilang aku beruntung memiliki tubuh Klao. Aku bahkan tidak ingin memikirkan bagaimana jadinya jika aku jatuh ke era ini sebagai seorang budak. Kehidupan seorang budak bergantung sepenuhnya pada karakter dan kebaikan tuannya. Jika kau memiliki tuan yang baik, kau beruntung. Tapi jika ada budak yang memiliki tuan yang temperamental, itu tidak ada bedanya dengan menjadi karung tinju yang hidup. Aku sering mendengar gosip dari para budak tentang budak lain yang dipukuli hingga dilukai bahkan meninggal. Serius, meski dia selamat, dia akan menjadi cacat. Jika aku harus menjadi budak di rumah seperti itu, aku mungkin akan memilih untuk menenggelamkan diri.
"Apa kau kenyang?" Orang yang makan di sebelahku berbicara dengan suara yang dalam, saat aku sedang melamun.
"Krap," jawabku sambil menoleh ke arah P'Phop yang berseragam sambil mengangkat segelas air melati untuk diminum.
Sejak hari orang-orang bergosip tentangku (maksudku, tentang Klao), saat berjalan di pasar dan P'Phop datang untuk melindungiku, aku mulai memandangnya dengan lebih baik dan simpati. Faktanya, aku tahu bahwa dia bukan orang jahat, dia berhati-hati mencari-cari kesalahan ku karena dia punya akal sehat. Tapi aku kesal dengan senyuman kecil itu, begitu kesal hingga membuatku menaruh sedikit prasangka padanya. Namun setelah hari itu ketika dia melindungiku, aku mencoba untuk lebih sering berbicara dengannya, dengan kata-kata yang lebih ramah, setidaknya untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas nama Klao yang asli.
Dia melindungiku dengan mempertaruhkan reputasinya. Aku harus berterima kasih padanya, bukan?
"Bukankah makanannya enak?" Dia bertanya.
"Sangat enak."
"Jadi, apa kau merasa tidak enak badan?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Kenapa P'Phop mengira aku sakit?"
"Aku kira kau sakit, karena aku tidak melihatmu meminta nasi atau makanan ringan lagi, seperti yang biasa kau lakukan. Aku akan meminta Ai'Jom untuk memeriksamu." Matanya yang tajam berbinar saat dia menggoda, membuatku cemberut sebagai jawabannya.
Yah, bukankah dia secara halus mengolok-olok nafsu makanku?
"Bibi, bisakah kau mengambilkan jeruk untukku?" Aku bertanya kepada kepala pelayan, yang sedang berjongkok tidak jauh dari situ.
"Krap, Khun Klao. Berapa banyak yang kau inginkan?"
"Satu atau dua saja sudah cukup untuk meyakinkan orang-orang di sekitar sini bahwa aku baik-baik saja." Aku menekankan kata terakhir saat aku melihatnya sambil tersenyum. Lalu aku mengambil jeruk dari pelayan, mengupasnya, memasukkan satu siung jeruk ke dalam mulutku, dan mengunyahnya.
Aku selalu menjadi paranoid setiap kali dia mengatakan sesuatu. Mungkin karena aku cenderung menjadi orang yang bias, tapi memang begitulah dia. Aku mencoba memandangnya secara positif dan berbicara dengannya, tapi dia selalu membuat ku gelisah seperti ini.
'Jadi kau tidak ingin kita memiliki hubungan yang baik, begitu, kan?' Ku pikir.
"Oke, aku senang melihat nafsu makanmu kembali sehat," kata P'Phop sambil tersenyum sebelum berbalik memerintahkan gadis pelayan untuk membawakannya jeruk juga. Aku berhenti sejenak saat mengunyah, dan mendekatkan tanganku ke pipiku.