Elvano sedari semalam masih betah menemaninya meski hanya ruang hampa nan sepi yang akan pemuda itu dapatkan, "El." Elvano yang sibuk mengamati taman rumah sakit dari kaca jendela ruangan Gevano menoleh dengan senyum manis.
"Kau sudah bisa berbicara." Gevano tertawa pelan melihat raut wajah Elvano yang tampak bahagia.
"Mau peluk." Sosok transparan itu mendekat, memeluk tubuh lemas sang kembaran dalam dekapan hangat sembari membisikan sesuatu.
"Mereka datang, jangan katakan apapun." Gevano menatap bingung Elvano yang kini berdiri di sampingnya, menatap sendu kearahnya.
Tapi karena tak ingin membuat masalah Gevano akhirnya hanya mengangguk sekilas bersamaan dengan pintu ruangannya yang terbuka pelan.
"Ano, apa kabar?" Tanya sang ibu, sedangkan Diego tampak menatapnya datar.
Gevano tidak menjawab lantaran sibuk menikmati elusan lembut di kepalanya dari Elvano, "Ano, kau tau apa alasan dirimu bisa ada di rumah sakit?" Gevano mengernyit heran, dan itu tak luput dari mata elang keluarga Kavandra.
"Tidak, benar juga, aku juga penasaran."
"Mereka, mereka yang menyebabkan dirimu bisa sampai terbaring disini. Reynan memukulmu tepat disini." Elvano menunjuk perutnya dengan tangan kiri sebab tangan kanannya masih sibuk mengelus rambut sang kembaran, tak berselang lama tangannya beralih untuk mengelus perut itu dengan lembut.
"Dia memukul perutmu dengan tangan kotornya sebanyak lima kali, dan ini.." kini tangan itu berpindah menunjuk ke pipi kiri Gevano.
"Dia memukul ini juga, ada sepuluh kali banyaknya." Terdengar suara Elvano agak lirih, Gevano sendiri tidak menyangka, bocah sekecil dirinya sudah di perlakukan sekasar ini hanya karena keegoisan belaka?
"Aku paling marah saat Acel dan San hanya diam, oh tidak, mereka bahkan membantu memegang kedua tanganmu agar tidak bisa membalas ataupun memberontak, ah tangan yang selalu ku jaga agar tidak terluka malah dengan seenak jidat mereka buat terkilir." Elvano berdiri, berjalan kearah Diego yang menatapnya datar.
"Ini, dia yang menyuntikan racun ke tubuhmu agar dirimu bisa kritis, Ano, dirimu bukan anak yang lemah, pukulan seperti itu mungkin membuatmu cidera, tapi tidak akan sampai koma." Gevano tidak bisa berkata-kata, air mata perlahan menggenang di kedua netra indahnya siap untuk jatuh jika berkedip.
"Setelahnya mereka dengan tega melempar tubuh kecilmu itu dari lantai tiga!!, mereka jahat!!, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang tertidur, maafkan aku." Gelengan Gevano sebagai respon akan perkataan Elvano membuat keluarganya heran, terlebih air mata pemuda itu yang leleh dengan derasnya membasahi pelipis.
"El gak salah.." Seluruh keluarganya menegang, nama itu, nama yang sangat mereka benci, nama orang yang berhasil membuat mereka hampir mati karena berani mengangkat tangan pada keluarganya sendiri dengan menggunakan tubuh sang kembaran.
"Meski sudah mati anak itu benar-benar masih sangat merepotkan ya?" San tertawa pelan mengingat perbuatan sang adik yang hampir saja membunuh dirinya.
"Yah tapi ku akui dia memang sangat kuat." Larnia menatap mereka tajam hingga hening pun menyapa, tatapan itu beralih menatap lembut putra bungsunya.
"Sayang, boleh mommy minta sesuatu?" Gevano hanya bisa mengerjap bingung, kenapa tiba-tiba sang mommy mau meminta tolong padanya?
"Avan sakit, salah satu ginjalnya rusak, apa Ano mau mengikuti tes untuk mendonorkan salah satu ginjalmu pada Avan jika ginjal kalian cocok?" Gevano menganga tidak percaya, hey, dirinya baru saja sadar dari koma.
"...."
Melihat Keterdiaman Gevano San pun geram, maju untuk menghampiri sang adik.
"Kau tidak bisu, Ano."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Me [On Going]
Teen Fictionpokoknya ini idup pada di luar nalar & akal sehat manusia.. gue sepanjang idup : hah?, apa?, kenapa?, kok bisa?, gimana?. pokoknya 5W+1H ada semua lah.