Aku menenggak dengan rakus es kopi di tanganku. Well! Akhirnya setelah mendengar ceramah panjang kali lebar dari ibuk yang tidak berhenti meski aku sudah keluar dari rumahnya. Di sinilah kami. Starbucks!
Bukan tanpa alasan! Ingat apa yang aku katakan semalam? Ya! Aku ingin membuat Pria yang sejak keluar dari Rumah bapakku tidak berhenti menggenggam tanganku ini jatuh miskin.
Walau aku tahu akan sia-sia karena dia punya banyak uang. Tapi sekali lagi, aku akan mencoba, membuatnya miskin. Salah sendiri menyentuh wanita lain di depanku. Sedangkan aku tidak boleh menyentuh pria lain.
Oh! DEMI DEWA NENEKNYA TAPASYA!
Apa aku terlihat seperti gadis yang sedang cemburu? Hah! Kenapa aku jadi kesal pada diriku sendiri?
"Mau apa lagi?" Tanyanya dengan lembut seraya mengelus tanganku yang bebas di atas meja.
Senyumannya begitu tulus dan terang seperti cahaya lampu. Membuat hatiku menghangat dengan sikapnya yang lembut.
"Jalan lagi aja.."
Dia tersenyum, mengangguk. Setelah selesai minum dan sarapan kami beranjak dan berjalan mengelilingi mall.
Aku berhenti, dan menarik tangan Pak Aru memasuki sebuah toko. Aku menatap wajah pak Aru untuk melihat apa dia merasa ragu atau terkejut saat aku menariknya ke dalam toko. Tapi dia hanya diam saja.
Sampai di depan etalase dan di sambut Mbak SPG, aku langsung bergelayut manja di lengannya dan menunjuk salah satu kaca, yang menampilkan sebuah ponsel dengan gambar apel tergigit. Well... Siapa yang tidak tahu ini, Ini adalah ponsel impian setiap orang bukan?
"Om, mau ini..."
Kataku dengan menggodanya. Dia menatapku dengan raut wajah terkejut. Aku sekeras mungkin menggigit pipi dalamku, menahan tawa karena merasa geli dengan diriku sendiri.
Oh yah! Aku sangat puas sekali melihat raut wajahnya. Pasti dia akan menangis setelah ini karena kantongnya yang penuh akan berkurang dalam sehari. Atau mungkin kosong tanpa sisa?!
Aku beralih menatap Mbak-Mbak di depanku ini yang tadi sempat aku lihat juga terkejut dengan apa yang aku katakan pada Pak Aru. Meski dia tersenyum namun tatapan matanya seolah menunjukkan perasaan yang Hmm! Jengkel atau jijik--Padaku?!
Tapi itu bukan urusanku, aku juga tidak harus peduli padanya. Karena aku tidak merasa merugikan perempuan ini. Malah aku akan menguntungkannya jika Aku membeli produk di tokonya.
"Omm..." Aku menggerakkan tanganku di lengannya, dan mendongak menatap matanya. Wajah yang tadi terkejut berubah melembut, dengan sorot matanya yang patut aku curigai. Namun mendengar jawaban dari mulutnya, aku menepis semua hal negatif di otakku.
"Bungkus apa yang gadisku inginkan.." katanya pada si perempuan tanpa melihatnya dan terus menatapku.
Aku menggigit bibir bawahku, merasa senang sekaligus sedikit menyesal karena memintanya. Oh Android Ku masih bagus dan masih bisa aku gunakan dengan baik. Dan aku membuang-buang uang untuk membalaskan perasaan kesal ku padanya. Apa ini Adil?
"Mau yang warna Apa kak? Kami punya banyak stok iPhone terbaru." Tanya si Mbaknya.
Aku menatap perempuan di depanku ini dan tersenyum penuh semangat. Namun saat Melihat sorot mata kagum dari perempuan bertubuh mungil berdada besar ini pada Pak Aru, membuat aku merasa jengkel. Apalagi Pak Aru juga tersenyum tipis padanya.
Aku semakin mengeratkan tautan tanganku di lengan Pak Aru. "Ungu atau merah, saya mau lihat." Perasaan menyesal itu hilang entah kemana.
Setelah hampir satu jam di dalam toko itu, Akhirnya aku keluar dengan membawa kantong berlogo Apel itu.
Aku berjalan mendahului Pak Aru karena merasa kesal padanya. Bagaimana tidak? Dia sempat-sempatnya membalas godaan si SPG itu.
"Sayang.." Panggilannya hanya lewat di telingaku saja. Dan aku terus berjalan didepannya.
Langkahku terhenti di sebuah toko Tas. Oh Tuhan! Aku yakin aku tidak membutuhkannya, tapi aku harus benar-benar membuat pria ini jatuh miskin.
Aku berbalik, menatap Pak Aru dengan senyum lembut "Om, mau yang ini juga.."
Aku menunjuk toko tas dengan merek terkenal. Kali ini membuang rasa ragu dan menarik tangan pak Aru memasuki toko. Aku memilih asal tas yang berjejer rapi, tanpa berniat melihat harganya.
Mungkin jika tidak berguna untuk ku, akan berguna untuk Nadin atau Mbak Anira. Benar, sebentar lagi ulang tahun Mbak Anira. Akan ku berikan ini padanya.
Di kasir, aku melotot saat mendengar harga tasnya yang bahkan lebih mahal dari iPhone yang baru saja aku beli. Namun dengan senang hati Pak Aru mengeluarkan kartu tanpa limitnya itu untuk membayar. Si Mbak kasir yang melihatnya tersenyum senang dengan mata yang berkedip-kedip malu-malu. Jih! Apa dia tidak malu, harusnya dia ingat usia.
"Wah.. Masnya perhatian sekali dengan keponakan nya.." kata perempuan berambut pendek di depan kami ini.
Apa dia bilang? Keponakan? Rupanya perempuan ini lebih berfikir positif daripada pegawai perempuan di toko Apple tadi. Namun meski begitu perasaan kesal bukannya berkurang tapi malah bertambah.
"Mas nya ganteng banget, udah nikah belum?" Katanya, kali ini lebih centil. Sedang Pak Aru hanya tersenyum tipis. Meski tipis, tapi dia tersenyum dan aku tetap tidak suka? Ohh!
"Hmm!" Aku berdehem.
"Masih lama?!"
Sumpah aku tidak berniat mengeluarkan suara ketus itu. Namun entah kenapa hal itu keluar begitu saja dari mulutku. Tuhan.. apa yang terjadi padaku?!
"Sudah dek.." jawab si Mbaknya, dengan tersenyum menggoda. Tentunya pada Suamiku.
Dek?! Apa tubuh gemuk ku ini terlihat begitu mungil di depan tubuhnya yang semok itu?
Aku menatap Pak Aru, yang hanya diam tanpa kata. Saat perempuan itu menyerahkan bungkusan tas itu padaku, aku langsung menerimanya dengan sedikit kasar. Tidak perduli dia terkejut atau apa. Namun dia tetap tersenyum pada lelaki di sampingku ini.
Aku menarik nafas dan membuangnya kasar. Aku Menarik kerah kemeja Pak Aru hingga dia sedikit menunduk padaku, dan dengan sengaja mencium bibirnya.
Lalu aku melepaskannya dengan sedikit, kasar. "Makasih banyak ya Om.." Kataku tersenyum semanis mungkin. Aku mengabaikan wajah terkejut Pak Aru. Dan memilih menggandeng tangan Pak Aru meninggalkan perempuan tua gatal itu yang juga berekspresi terkejut. Dan aku tidak perduli pada apapun yang dia pikirkan tentangku.
Sampai di depan toko aku melepaskan tautan tangan kami, lalu menyerahkan dua kantong bungkusan pada Pak Aru tanpa sepatah katapun. Tempat ini sangat dingin, namun kenapa aku merasa kepanasan. Aku mengambil jepit rambut di dalam tasku dan menggulung rambut pendek ku.
Aku berjalan mendahului Pak Aru lagi. Dan berjalan memasuki super market, mengambil apapun yang aku mau. Tidak lupa mengambil sebotol air dingin, dan meminum hingga tersisa setengahnya.
Aku menempelkan botol itu ke keningku sambil mendorong troli. Sumpah rasanya kepalaku sangat panas. Aku butuh menyegarkan otakku.
"Nisaa..." Pak Aru menarik tanganku lembut, menghentikan jalanku. "Biar saya yang dorong." Katanya. Dan aku menurut karena Aku lelah, berdebat.
Lelah berdebat dengan perasaanku sendiri. Lelah berdebat dengan otakku sendiri. Hah! Aku Lelah berdebat dengan diri sendiri.
Aku menarik nafas dan membuangnya pelan. Lalu berjalan di samping pak Aru dengan menepis segala pikiran buruk.
Hingga aku sadar dan merasa bodoh pada kelakuanku sendiri yang sudah dengan terang-terangan mencium Pak Aru tanpa tahu malu. Tanpa persetujuan nya. Dan sekarang pikiran baru muncul, bagaimana pendapatnya tentangku saat ini.
Tapi kenyataannya lain yang baru aku sadari lebih membuat ku khawatir. Aku benar-benar cemburu.. :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Suami VS Mbak Istri
Random⚠WARNING⚠ BANYAK TYPO⚠ cerita masih absurd dan acak-acakan. * * * Mari simak kisah Perjuangan Mas Suami yang tampan dan mapan ini dalam Usahanya menjinakkan Mbak Istri yang keras kepala, nakal, dan suka seenaknya sendiri. "Btw, Yakin?!! situ masih m...