"ISA!"
"Anjing!" Aku memutar tubuh dan memukul kepala Roni dengan kesal. Hingga bocah tengik itu kesakitan. "Anjir banget kamu Ron! Aku kaget tahu?!" Kesalku.
"Sakit njir! Enteng banget yah tuh tangan!" Pekik Roni.
"Lagian ngapain kamu ngagetin aku sih?" Aku bertanya dengan merenggut.
"Yah, siapa suruh Lu ngelamun.. nanti kesambet tau rasa lu." Aku memutar bola mata jengah. Lalu melangkah masuk meninggalkan Roni.
Aku Risih! Pria asli jakarta itu berjalan mengekor di belakangku. Namun bukan itu yang membuatku risih, melainkan dia berjalan sambil berceloteh ini dan itu. Dan celotehan terakhirnya itu sukses membuatku berhenti melangkah. "Tumben pake hijab, hm pasti leher lu banyak kiss Mark nya ya.. hahaha.."
Aku menatap pria yang sudah menjadi sahabatku sejak 6 tahun yang lalu. Roni adalah pria yang sedikit kemayu, dan banyak bicaranya. Terkadang aku merasa kesal dengan ocehannya. Namun sayangnya, itu adalah salah satu kelebihannya.
Aku tidak tahu, apa dia punya ilmu hitam, atau bisa menembus isi pikiran seseorang. Tapi yang pasti adalah, Roni selalu menebak sesuatu dengan benar. Dan aku, terkadang membenci hal itu.
"Roni ganteng.. Bisa nggak sih, ngomongnya di filter dulu.." pintaku dengan tersenyum manis. Namun aku merubahnya menjadi senyuman kecut.
"Nggak!"
Ahhhhh!
Andai Nadin ada di sini, Aku pasti akan lebih sabar menghadapi pria ini. "Besok Gue kawinin Lu sama Anaknya Pak didin!"
"Ihh!! Najis!" Roni bergidik ngeri.
Aku memukul kepalanya lagi, "Dari pada sama si Diki! Goblok!"
"Nggak papa, Diki ganteng!" Ucap Roni.
Eeuuww!
Aku mendelik dan menatap Roni dengan tajam. "Jangan coba-coba!"
"Becanda Sis!" Roni memeluk tubuhku dan menggiring langkahku memasuki kampus.
"Gini-gini gue juga masih normal njir..""Lupa pernah nyium si Rendi?" Dengusku. Mengingat kejadian 3 tahun yang lalu saat kelulusan sekolah.
"Eh! Lu kan tahu Gue kalah taruhan sama si cici.." Roni berpindah posisi menghadapku, sambil berjalan mundur. "Lagian Lu juga ikutan! Monyet!" Jarinya dengan enteng menunjuk wajahku.
Aku berdecak. Benar, aku juga menikmati permainan aneh kami waktu itu. "Terus ngapain kamu baper sama si Diki."
"Diki keren..."
"Anaknya pak didin juga keren."
"Ihh! Keren apanya?! Ngeselin!"
"Besok aku bilangin enyak Mae ah.." Mae adalah ibunya Roni. Namanya Maemunah, asli orang jakarta. Orang-orang desa sering memanggilnya dengan sebutan Enyak Mae.
"Isaa!!"
Aku tertawa melihat Roni yang kesal. Perlu di ketahui, Roni tinggal di lingkungan yang sama dengan aku dan Nadin. Sejak pertama kepindahannya ke kota ini, pria itu sering di bully karena gestur tubuhnya yang mirip seperti perempuan. Awalnya aku dan Nadin tidak terlalu memperdulikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, kami merasa kasian, dan membantunya. Dan dia tidak pernah memperdulikan bullyan itu lagi, sejak berteman dengan aku dan Nadin.
Pertama kali aku melihat kemarahannya adalah saat dia tahu kalau Nadin hamil anak si Catur. Dan di situlah aku menyadari sesuatu. Roni menyukai Nadin. Tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh. Yang pasti aku merasa sedih, karena Roni memilih diam dan menjauh dari Nadin. Sikap pengecutnya itu sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang banyak bicara. Jujur aku sempat kesal, namun aku tidak ingin bersikap egois. Tidak bisa menuntut Roni untuk ikhlas. Dan juga tidak bisa mengatakannya kepada Nadin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Suami VS Mbak Istri
Rastgele⚠WARNING⚠ BANYAK TYPO⚠ cerita masih absurd dan acak-acakan. * * * Mari simak kisah Perjuangan Mas Suami yang tampan dan mapan ini dalam Usahanya menjinakkan Mbak Istri yang keras kepala, nakal, dan suka seenaknya sendiri. "Btw, Yakin?!! situ masih m...