Aku menatap nyalang gadis yang kini tengah berkunjung ke rumahku. Pagi-pagi sekali bahkan sebelum ayam berkokok, seseorang mengetuk pintu rumahku berkali-kali. Aku yang masih mengantuk dan masih ingin tidur pun dengan terpaksa bangun dan bangkit dari tempat tidurku, lalu membukakan pintu untuk seorang tamu yang kini berdiri di hadapanku.
Gadis itu Annabella. Gadis yang kemarin membuatku menunggu selama satu jam lamanya dan pada akhirnya aku harus pulang diantar oleh Evan.
"Maaf." Satu kata yang sangat ingin kudengar dari Annabella. Namun maaf saja sepertinya membuat hatiku kurang puas. Gadis yang entah sengaja atau tidak mengingkari janjinya itu membuatku harus berdiri di tengah keramaian selama satu jam lamanya. Sudah pasti kakiku merasa sangat pegal dan kesemutan.
"Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Maaf banget ya, kemarin Alex mengajakku menonton teater hingga tengah malam. Dia juga mengajakku untuk menyaksikan pesta kembang api dan kami juga menerbang...."
Apa gadis itu kini sedang mempermainkan ku?
"Lalu, apa yang mau kamu katakan? Walaupun begitu, kamu seharusnya mengabari ku! Apa kamu tahu kalau aku berdiri selama satu jam karena menunggumu!" Suaraku meninggi karena emosi. Tapi, bagaimana juga Annabella bisa menghubungiku jika teknologi yang bernama ponsel saja tidak ada?
Ah, sepertinya aku harus lebih beradaptasi lagi dengan teknologi yang tersedia di dunia novel ini.
"Apa pria yang bernama Alex itu sangat penting bagimu? Bisa-bisanya kau mengingkari janjimu padaku hanya karena seorang pria yang baru kamu kenal belum lama itu? Kamu ini bodoh atau apa, sih?!"
Annabella tak lagi mengatakan satu patah katapun. Gadis itu menunduk dan menunjukkan raut wajah bersalahnya.
Apa aku terlalu keras padanya?
Atau apa ucapanku sudah berlebihan?
Kok malah jadi aku yang merasa bersalah padanya? Bukankah seharusnya Annabella-lah yang merasa bersalah karena sudah mengingkari janji untuk bertemu kembali pada pukul sepuluh malam?
Sial! Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tak gatal.
Gadis itu masih menunduk, tapi aku dapat merasakan bahwa sebenarnya ia sedang menahan tangis. Bahunya bergetar menahan tangisan.
Aku jadi serba salah kalau begini.
Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kembali. Sebelum mulai membuka mulut, aku harus menenangkan diri terlebih dahulu.
"Yasudah tidak apa-apa." Aku mencoba untuk bersikap tenang. Tidak tega juga aku melihat Annabella menahan tangis seperti itu.
Gadis itu langsung mendongak. Kedua manik mata yang berwarna coklat itu langsung menatapku dengan tatapan berbinar-binar. Ia mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya pamit karena harus membantu sang ibu di kebun.
******
Hari ini berjalan seperti biasa. Beberapa hari aku tinggal di dunia fiksi serba kuno ini perlahan membuatku merasa semakin terbiasa.
Tak ada kompor? Aku bisa memasak dengan tungku dan kayu bakar.
Tak ada ponsel? Aku bisa mengirim surat untuk berkomunikasi dengan orang jauh walau membutuhkan waktu beberapa hari untuk mendapatkan balasan.
Mencuci bajupun dilakukan secara manual. Gosok-gosok lalu kibas-kibas. Aku menerapkan gaya cuci baju yang kulihat saat ibu mengerjakannya.
Aku tengah menjemur beberapa seprai di halaman rumah. Cukup melelahkan juga mencuci ala manual seperti ini. Sebagai manusia yang terbiasa memakai mesin cuci yang tinggal pencet-pencet saja, mencuci baju secara manual sangat menguras tenagaku. Apalagi sepertinya tubuh Yara ini agak kurang olahraga, melakukan aktivitas berat sedikit saja cepat lelah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible
FantasyKata orang, kita bisa menyelesaikan masalah hidup dengan menikah. Punya penyimpangan seksual? Menikah solusinya. Pusing dengan kuliah dan skripsi? Menikah solusinya. Tak dapat-dapat pekerjaan? Maka menikah pula lah yang menjadi solusi. Kesulitan fin...