Episode 27

1.1K 112 9
                                        

"Bagaimana caranya agar iblis itu terlepas dari jiwa anda?" hanya ada satu kalimat yang dapat aku pikirkan. Kalimat itu refleks keluar indah dari mulutku.

Edgar tertawa. Pria itu kembali tertawa tanpa beban, bahkan tertawa begitu lepas hingga memegangi perutnya.

Apakah ada yang lucu dari ucapanku?

Kupikir tidak sama sekali.

"Kau aneh sekali, Yara." pria itu bahkan menyeka air mata karena habis tertawa terbahak-bahak.

Aku aneh?

Tentu aku tak tahu apa maksud dari ucapan Edgar.

"Kau satu-satunya yang malah menanyakan hal gila itu padaku."

"Kau unik sekali."

Aku menatapnya bingung. Unik darimananya? aku sih merasa diriku biasa-biasa saja, tak ada uniknya sama sekali kecuali asa usulku yang menurutku sedikit berbeda.

Aku tertawa sumbang, mengimbangi suara tawa Edgar yang menggema di malam yang sunyi. Biarlah dia tak ingin menjawabnya, mungkin saja Edgar memang tidak tahu atau bahkan tak mau memberitahuku tentang bagaimana caranya mengusir iblis bodoh itu dari tubuhnya.

"Yara, apa kau tahu?" Kedua manik mata semerah delima itu menatapku serius.

"Malam ini aku telah memutuskan sesuatu." Aku kembali menjadi penasaran dibuatnya.

Memutuskan?

Apa yang telah ia putuskan malam-malam begini?

"Kau sepertinya tak perlu tahu hari ini, nanti akan kuberi tahu keputusan yang sudah kubuat malam ini."

"Suatu saat nanti jika waktunya sudah tepat." Edgar tersenyum misterius, tangan kanannya terulur mengacak-ngacak rambutku.

Bodo amatlah!

Selama keputusan yang ia buat tidak mengancam keberlangsungan hidupku sih, aku tidak terlalu perduli. Haha.

*****

Yara. Sepertinya aku mulai benci ketika nama itu dipanggil.

Semenjak hari dimana kami sepakat untuk menjaga rahasia masing-masing, kurasa kami semakin dekat. Begitulah yang aku pikirkan pada awalnya.

"Yara tolong rapikan tempat tidurku!"

"Yara, bajuku kurang rapi. Tolong benarkan kerah bajuku!"

"Yara, cuacanya terlalu terik, tolong halangi sinar matahari untukku."

Aku tak pernah tahu kalau Edgar --pria yang sialnya sekarang adalah majikan ku itu adalah manusia paling tengil sedunia. Dia jelas-jelas mengerjaiku, menyuruhku ini dan itu serta aku tahu juga kalau ia sangat menikmati setiap ekspresi kesal yang aku tunjukkan.

Sabar, Yara. Ini tuntutan pekerjaan. Kalau bukan karena aku butuh uang dan melakukan misi membuat Edgar sedikit tersenyum, tak mungkin aku rela di suruh-suruh oleh bos yang tidak punya hati sepertinya.

Ah sepertinya musiki bukan hanya sekedar membuat pria itu tersenyum.

Ini akan menjadi agak berat, mengangkat kutukan Edgar sepertinya adalah misiku.

"Yara.."

Aku menoleh, mengembangkan senyum yang paling manis sedunia. Senyum palsu untuk menutupi rasa lelahku yang teramat sangat.

"Ada apa, pangeran?" Masih dengan senyuman lebarku, aku yang kini harus menemani pria mambaca buku di kamarnya.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Aku menatapnya bingung. Apa yang salah dengan senyumanku? Apakah terlihat buruk?

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang