53

1.6K 188 20
                                    

Kinanti melangkah melewati Renata yang bersiap untuk menghadangnya.

Wanita itu segera menghentikan langkahnya dan menatap Renata. Entah apa tujuan Renata dan Kinanti akan meladeninya sebentar.

"Ada perlu apa lagi lo menghadang langkah gue?" Kinanti bertanya dengan nada dinginnya.

Wanita itu sudah tidak memiliki respek baik apapun terhadap Renata karena video dan juga foto-foto yang dikirim oleh seseorang padanya.

"Kamu kenapa agak sensi banget sama aku akhir-akhir ini, Kinan? Seingatku, kita ini nggak ada konflik apapun," kata Renata.

Renata menatap polos pada Kinanti. Ekspresi wajahnya terlihat kebingungan karena akhir-akhir ini ia merasa Kinanti agak berbeda dengannya.

"Oh? Kalau memang kita nggak ada konflik, kenapa lo menghadang langkah gue?"

"Aku cuma penasaran aja, kenapa kamu akhir-akhir ini menjauh dari aku." Renata masih tetap tenang berbicara dengan nada lembutnya.

"Memangnya sejak kapan kita dekat? Waktu SMA, gue bahkan nggak kenal sama lo  kalau lo nggak pacaran sama Arveno.  Terus, lo balik lagi dari luar negeri, gue juga nggak pernah merasa akrab sama lo. Jadi, atas dasar apa lo bilang gue menjauh dari lo?"

Tangannya terlipat di dada menatap Renata yang menurutnya sangat drama.  Menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan oleh wanita di hadapannya ini. Sungguh sangat memuakkan meladeni  Renata yang licik.

"Kinan, apa kamu  marah karena akhir-akhir ini aku dekat dengan Arveno? Aku dan Arveno udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Kami memang pure berteman dan enggak ada sedikitpun terlintas dalam pikiran aku untuk merebut dia dari kamu," ujar Renata menatap Kinanti.

"Oh? Apa gue harus percaya dengan omongan cewek yang bolak-balik selalu dekat dengan tunangan orang?" Kinanti bertanya dengan sinis. "Menganggap hanya teman biasa? Teman biasa mana yang bisa ciuman?"

Renata melebarkan matanya ketika mendengar pertanyaan terakhir keluar dari mulut Kinanti.

"Kinan, maksud kamu apa?"

"Nggak usah pura-pura bego di depan gue. Gue tahu apa yang kalian lakukan di belakang gue. Ingat-ingat ya Mbak terhormat yang lulusan dari luar negeri, percuma sekolah jauh-jauh, kalau ujungnya, tunangan orang masih direbut."

Kinanti menatap sinis dan juga tajam pada sosok Renata. Jangan mentang-mentang karena dia lulusan terbaik dari luar negeri, bisa membodoh-bodohinya dengan tampang polos seperti itu, dengus Kinanti di dalam hatinya.

Kinanti berlalu pergi begitu saja meninggalkan Renata yang menundukkan kepalanya. Apalagi saat ini sudah banyak karyawan yang berada di sekitar dan mendengar obrolan keduanya.

Kinanti tidak masalah apapun yang dilakukan oleh Renata. Logika Wanita itu sudah bermain dan tidak lagi mau mengandalkan hati karena takut dikecewakan.

Mengingat wajah Renata tadi malam dan ekspresi yang ditampilkan oleh wanita itu membuat Kinanti rasanya ingin sekali merusak wajahnya karena sudah berani terlalu dekat dengan tunangannya.

Wanita itu duduk dan mulai mengoperasikan komputernya daripada memikirkan hal-hal yang membuatnya sakit hati.

Bagi Kinanti, ia akan menyelesaikan semua pekerjaannya dan mengakhiri kontrak yang memang sudah mau berakhir.

Kinanti baru saja akan berdiri untuk mengambil air minum ketika melihat sosok Arveno yang kini sudah melangkah mendekat pada meja kerjanya.

"Kinan, apa yang kamu lakukan ke Renata? Tadi ada karyawan yang bilang kalau dia pingsan dan sebelum itu dia sempat bertengkar dengan kamu dulu," tanya Arveno, tiba di depan Kinanti.

"Saya bertengkar dengan ibu Renata? Kapan saya bertengkar? Dia yang menghadang jalan saya dan ngomongin hal yang menurut saya kurang penting. Jadi, kalau dia pingsan memangnya salah saya?"   Kinanti bertanya sinis  menatap Arveno.

Tidak mengerti dengan jalan pikiran pria bodoh di hadapannya ini. Bisa menjadi pemimpin di sebuah perusahaan jelas saja IQ Arveno bukan IQ jongkok. Namun, untuk peka terhadap sekitar jelas tidak dimiliki oleh Arveno.

"Bukan seperti itu. Kamu tahu 'kan kalau akhir-akhir ini gosip tentang kamu itu banyak menyebar yang nggak enaknya. Kredibilitas dan juga interegitas kamu menurun. Sudah banyak yang membicarakan tentang keburukan kamu. Aku cuma nggak mau aja kalau kamu bakalan dipandang sebelah mata sama orang lain," kata Arveno, menjelaskan. Tidak ingin kekasihnya ini salah paham.

"Bagaimana cara orang memandang saya itu terserah orang lain bukan urusan saya. Kenapa bapak yang pusing memikirkan nasib saya?" Kinanti bertanya menatap manik mata Arveno. "Kalau bapak bisa menjaga sikap, jaga jarak dengan ibu Renata, orang-orang nggak akan pernah berpikir apa-apa tentang saya. Sudah banyak nyebar gosip sebelumnya kalau saya adalah tunangan bapak. Terus tiba-tiba bapak lagi dekat dengan ibu Renata, apa yang akan orang pikirkan tentang saya?"

Kinanti terkekeh menatap Arveno. "Bapak hanya memikirkan tentang apa yang dipikirkan orang tentang saya tapi bapak nggak mikirin gimana perasaan saya."

Arveno terdiam. Dirinya memang bersalah langsung mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, tanpa menyadari jika kekasihnya bisa saja tidak nyaman.

"Dua malam yang lalu bapak pergi ke mana? Ke klub malam 'kan?  Bareng dengan Bu Renata. Kalau sudah seperti itu, kenapa bapak masih mau bertunangan dengan saya? Apa perlu kita ketemu dengan kakek Rolly buat bilang pembatalan tunangan yang kita jalani," usul Kinanti tiba-tiba muncul ide tersebut.

Sementara di depannya, Arveno langsung memberi tatapan tajamnya pada wanitanya itu.

"Jangan pernah berpikir untuk putus hubungan dengan aku, Kinan. Kamu akan menjadi istriku sebentar lagi."

"Siapa yang mau jadi istri bapak? Saya? Enggak sudi." Kinanti menggeleng kepalanya sambil tersenyum miring.  "Saya mau kita pisah."

Arveno bergerak cepat kemudian segera mengangkat tubuh Kinanti dan membawanya masuk ke dalam ruangannya.

Pria itu kemudian segera masuk ke dalam sebuah ruangan yang berada di sisi kiri di mana sebuah tempat tidur terdapat di tengahnya.

Arveno yang sudah hilang kendali melempar tubuh Kinanti di atas tempat tidur kemudian mendidihnya.

Pria itu langsung mencium bibir Kinanti dengan kasar dan menahan kedua tangan wanita itu di atas kepalanya.

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Kinanti tidak membuat Arveno menghentikan apa yang sedang dilakukan olehnya pada wanita yang sudah dengan berani mengatakan putus padanya.

"Saya nggak sudi bapak cium! Bibir bapak itu kotor! Kotor karena sudah menjamah bibir wanita lain!" Kinanti langsung melengoskan wajahnya ketika  bibir Arveno kembali mendekat padanya.

Pria itu tersenyum miring kemudian segera melepaskan dasi yang melingkar di lehernya dan mengikatnya langsung pada kedua tangan Kinanti.

Baru kemudian Arveno memulai aksinya, menindih Kinanti kemudian melakukan perbuatan yang sudah lama tidak mereka lakukan.

Diiringi teriakan dan raungan marah Kinanti, ruangan tersebut terasa berisik. Sedangkan Arveno sendiri tidak peduli dengan hal lain karena yang ia pedulikan adalah melampiaskan nafsu yang sudah lama terpendam bersamaan dengan rasa marah serta kecewa yang dialami Arveno karena mendengar perkataan Kinanti yang menginginkan perpisahan dengannya.

[4]  My wife My Secretary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang