Kinanti menatap Arveno yang berdiri di sampingnya. Kinanti tidak mengerti dengan cara berpikir Arveno yang sedikit aneh darinya. Pasalnya sudah dua puluh menit berlalu dan pria itu masih berdiri di depan etalase yang sama tanpa memilih mana cincin yang bagus untuk pertunangan mereka.
Hah, desah Kinanti di dalam hati. Dirinya sudah menunggu cukup lama di samping pria itu, tapi yang ditunggu justru tidak bergerak di tempat dan tetap menatap berbagai bentuk cincin yang terpajang di dalam etalase.
"Bos," panggil Kinanti. "Bos, enggak ada niat mau pilih cincin? Kalau enggak, mending kita pulang sekarang," ucapnya mulai jengah.
Arveno menoleh menatap Kinanti dengan tatapan datar khasnya. "Saya tunggu kamu yang memilih," ucapnya membuat Kinanti membulat matanya.
"Kenapa bos enggak suruh dari tadi?" Kinanti berseru kesal dengan tingkah manusia satu ini. Jika saja sejak awal Arveno mengatakan jika dia meminta dirinya sendiri untuk memilih, waktu mereka tidak akan terbuang sia-sia selama puluhan menit.
"Kamu enggak tanya ke saya," sahut Arveno acuh.
Rasanya Kinanti ingin sekali menggigit kepala Arveno yang memiliki pikiran lain dari pada yang lainnya. Tapi, ia cukup sadar diri jika dirinya tidak memiliki keberanian seperti itu.
"Saya pilih."
Kinanti kemudian menatap etalase yang menampilkan cincin-cincin yang mampu menyilaukan matanya. Senyum gadis itu mengembang ketika melihat sebuah cincin dengan berlian kecil di atasnya. Tidak berlebihan dan tidak terlalu mencolok untuk ukuran cincin pertunangan.
"Saya pilih yang ini aja, ya," tunjuk Kinanti pada karyawan toko.
"Yang ini ya, Kak?" Karyawan toko mengeluarkan cincin yang di tunjuk Kinanti yang segera mendapat anggukan dari gadis itu.
"Ini terlalu sederhana dan enggak mencolok." Arveno menggeleng tak setuju. "Carikan yang terlihat menonjol dan dengan taburan berlian," titahnya pada karyawan toko.
"Kalau tahu bos yang bakal pilih, kenapa suruh saya?" Kinanti tidak bisa untuk tidak mencibir pria di sampingnya ini.
"Karena pilihan kamu terlalu buruk."
Kinanti mendengkus mendapat jawaban kalem Arveno. Beruang kutub satu ini sekalinya mengeluarkan kata, selalu bikin jengkel.
"Ini, Kak. Ini koleksi cincin dengan taburan berlian di atasnya."
Karyawan toko meletakkan kotak segi empat berurukan lebar di atas etalase.
Arveno menatap tajam jejeran cincin yang tergeletak manis di atas kotak merah dengan busa di bawahnya.
"Saya pilih ini," tunjuk Arveno. Pilihannya jatuh pada sebuah cincin dengan taburan tiga belas berlian berukuran kecil di atasnya.
Cincin dengan sekitarnya berwarna biru tersebut meyakinkan Arveno bisa di lihat orang hanya dalam selintas saja dan itu menandakan jika Kinanti merupakan perempuan yang sudah bertunangan.
Sengaja Arveno memilih cincin mencolok seperti itu. Jika tidak, bisa saja Kinanti akan di dekati pria lain.
"Ambil dan pasang ke jari kamu," suruh Arveno, melirik Kinanti sebentar.
Kinanti tidak bisa berkomentar apa-apa. Gadis itu mau tak mau mengambil cincin yang sudah di sodorkan dan di pasang ke jarinya.
"Pas?" tanya Arveno.
"Iya," sahut Kinanti. Wajahnya terlihat cemberut menatap cincin di jemarinya. Terlalu mencolok, desah gadis itu dalam hati.
"Ini pasangannya," ujar karyawan toko. Karyawan tersebut menyerahkan cincin pasangan yang langsung di pakai Arveno di tempat. Beruntung ukurannya sangat pas di jemari pria itu.
"Jangan di lepas. Sekali saya lihat itu di lepas, gaji kamu saya potong dua puluh persen," ancam Arveno.
Tangan Kinanti terhenti di tempat ketika mendengar suara bisikan setan di sampingnya. Kinanti berniat mencabut cincin berlian di jemarinya, tapi mendengar bisikan setan, ia dengan paksa menarik kembali tangannya.
Dua puluh persen, Cuy. Itu duit semua. Tega-teganya Arveno mengancamnya dengan gaji. Sialnya lagi, pria sinting itu bahkan tidak main-main dengan ancamannya.
"Bos, kejam banget sama saya."
"Saya enggak kejam, kamu suka nakal."
"Idih, bos kira saya anak kecil apa?"
"Enggak ada anak kecil punya payudara besar," sahut Arveno. Ekspresi wajahnya terlihat lempeng sehingga membuat Kinanti tak yakin jika pria di sampingnya ini tengah melempar lelucon apa sedang serius.
Usai membeli cincin, Arveno dan Kinanti kini berada di sebuah restoran yang berada dalam satu tempat dengan pusat perbelanjaan yang mereka datangi.
Kinanti masih menatap cincin yang melingkar apik di jemarinya dan sesekali ia terlihat menelan ludah ketika mengingat harga yang harus di bayar untuk sepasang cincin ini.
427 juta!
Ehem!
Ulangi sekali lagi.
427 juta, cuy! Harga yang fantastis untuk cincin pertunangan yang bahkan di pasang sendiri-sendiri.
Ajaib!
Arveno mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk cincin yang mereka pakai.
Ini bahkan harga yang setara dengan gaji bulanan Kinanti selama tiga puluh bulan di kantor.
Gila. Dalam satu hari Arveno merogoh kocek 427 juta dan Kinanti harus tertatih-tatih hanya untuk mengumpulkan uang segitu banyak.
"Makan. Pesanan sudah datang."
Kinanti mendongak menatap Arveno yang menyodorkan piring padanya. Pria itu masih mempertahankan wajah datar khasnya yang membuat ketampanannya berkali lipat.
"Saya mendadak kenyang bos cuma menatap cincin berlian ini," ujar Kinanti yang kembali fokus pada jarinya.
"Enggak usah dusun. Harga segitu masih terbilang murah," gumam Arveno terdengar telinga Kinanti.
Perempuan itu kontan mendelik. Harga mahal seperti ini di bilang murah. Empat ratus, dua puluh tujuh juta termasuk paling mahal. Bahkan, bisa membeli sebuah rumah bertingkat dua di daerah kampung.
"Kalau harga segitu kecil buat bos, kenapa gaji saya selalu bos potong?" Kinanti menatap Arveno sebal.
Arveno menatap Kinanti. Pria itu bergumam, "karena kamu selalu membuat masalah."
"Astaga." Kinanti menatap Arveno tak habis pikir. "Saya buat masalah sepele tapi bos motong gaji saya enggak tanggung-tanggung gitu," cibir Kinanti kesal.
"Terus kamu maunya apa? Gaji utuh?"
Kinanti mengangguk bersemangat. Siapa pula yang mau menolak diberi gaji utuh? Batin Kinanti berujar kesal.
"Mimpi." Arveno berujar. "Kalau kamu buat ulah, gaji kamu akan selalu di potong," katanya sambil menatap pergerakan pelayan yang mendekat. Rupanya pesanan mereka yang lain sudah sampai.
"Bos kejam. Melebihi ibu tiri."
"Ibu tiri enggak ada yang sebaik saya."
"Baik apanya?" cibir Kinanti.
"Baik karena saya sudah belikan kamu cincin mahal."
"Enggak ada yang suruh, Bos. Gue enggak suruh lo ya." Kinanti bersungut ria menatap Arveno kesal. Cowok ini benar-benar pria kurang idaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My wife My Secretary
Chick-LitKinanti Darmawasa sudah bekerja hampir lima tahun di perusahaan Adijaya Grup yang dipimpin sahabatnya, Arveno Adijaya. Entahlah, Kinan--sapaanya--tidak tahu apakah Arveno menganggapnya sahabat atau tidak.Tapi, yang pasti dimana pun Arveno berada, d...