10

6.6K 912 45
                                        



Kinanti merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Aktivitas hari ini membuatnya cukup lelah karena pekerjaan Arveno yang semakin padat.

Telepon Kinanti berdering menandakan panggilan masuk dari seseorang yang baru berpisah dengannya beberapa menit yang lalu.

"Kenapa, Bos?" tanya Kinanti tanpa basa-basi.

"Saya masih di depan rumah kamu."

"Ngapain?" Kinanti bergumam malas. Matanya hampir terpejam andai saja ia tidak mendengar kalimat Arveno selanjutnya.

"Saya bakalan mimpi buruk. Jadi, saya mau minap tempat kamu."

"Sinting. Arveno, lo benar-benar enggak waras!" maki Kinanti kesal.

Belum tidur tapi sudah tahu jika nanti akan mimpi buruk. Ini namanya mimpi buruk yang di rencanakan.

Sekuat tenaga Kinanti berusaha menolak kenyataan Arveno yang berada di luar rumahnya, tapi ia tetap tidak bisa.

Astaga! Desah Kinanti dalam hati.

Sambil menggerutu, Kinanti melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga dan berjalan sebentar sampai ia membuka pintu rumahnya.

Rumah berlantai dua dan bergaya minimalis memang tidak terlalu besar dan bukan pula rumah mewah seperti milik orang kaya pada umumnya.  Hanya ada dua kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. 

"Kenapa 'sih bos hobi banget bikin saya darah tinggi?" gerutu Kinanti setelah menatap Arveno.

Kinanti semakin kesal kala Arveno tidak menjawab pertanyaannya. Pria itu justru masuk ke dalam rumah Kinanti dan langsung menuju lantai dua.

"Tidur di kamar sebelah bos. Jangan di kamar saya."

"Saya takut mimpi buruk, Kinan. Jadi, saya tidur di kamar kamu," balas Arveno. Raut wajahnya terkesan datar dan terlihat acuh.

"Mana bisa begitu, Bos!" teriak Kinanti frustrasi.

"Bisa. Kamu bersikap seolah kita enggak pernah tidur bersama." Arveno berdecap dan mendudukkan diri di sofa yang tersedia. "Mandi dulu sana sebelum kamu tidur. Saya mau tidur sama manusia, bukan kambing," ketus pria itu, membuat Kinanti geram bukan main. Tapi, Kinanti harus mencoba untuk bersabar karena gajinya ada di tangan bosnya.

Sambil menghentak kakinya kesal, Kinanti masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu tak berdosa itu dengan keras sehingga menimbulkan suara.

"Gaji kamu saya potong satu persen,"  ujar Arveno yang membuat Kinanti semakin berang.

"Terserah lo, beruang kutub. Aing kagak peduli."

Lima menit kemudian.

Kinanti keluar dari kamar mandi dengan handuk kimono yang menutupi setengah pahanya. Kinanti bersikap masa bodo dengan kehadiran Arveno di kamarnya. Kinanti yakin sekali jika pria itu tidak akan tertarik padanya karena yang Kinanti tahu jika dirinya bukan tipe Arveno.

Arveno sendiri meneguk ludahnya ketika melihat tubuh molek Kinanti. Ia cukup terkejut melihat keberanian sekretarisnya yang keluar hanya menggunakan handuk kimono saja.

Tapi, Arveno harus menjaga sikap dan imaje di depan sekretaris sekaligus sahabatnya yang menjelma jadi tunangan dadakannya.

"Kamu harus rajin minum susu biar agak berisi sedikit." Arveno bergumam masih menatap Kinanti yang tengah memilah pakaiannya. "Kalau tubuh kamu seperti jangkrik begini, mana bisa saya nafsu,"  tambahnya.

Tangan Kinanti yang tengah memilah pakaian dalam mengepal erat. Seperkian detik kemudian Kinanti melemparkan kain hitam yang akan ia gunakan nanti.

Tamparan keras mendarat di otak cantik Kinanti saat melihat Arveno melebarkan kain hitam yang mirip jaring-jaring itu di depannya. Kinanti menelan ludahnya apalagi melihat ekspresi Arveno.

"B-bos!" teriak Kinanti panik.

Gadis dewasa itu berlari mendekat ke arah Arveno dan menarik kain hitam tersebut dari tangan sang atasan.

Ini terlalu memalukan!

Kinanti mengakui terkadang tangannya lebih cepat bergerak dari pada kerja otaknya sehingga kadang hal tersebut memicu gajinya akan di potong sepersekian persen.

"Gaji kamu saya potong lima persen,"  kata Arveno bangkit dari duduknya. Pria itu berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan meninggalkan Kinanti dengan gerututan kesal.

Pagi harinya.

Hari sudah berganti dan jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, kedua anak manusia dengan berbeda jenis tersebut masih tampak asyik dengan dunia mimpi mereka sampai suara dering ponsel terdengar.

Kinanti membuka kelopak matanya dan menguceknya sebentar. Gadis itu kemudian menatap sekeliling hingga tatapannya bertemu dengan jempol besar milik laki-laki. Kinanti menelan ludahnya. Gadis itu tahu dan sadar diri jika kaki yang tengah ia peluk ini milik atasannya. Sementara kakinya sendiri ia tahu dimana letak posisinya karena deruan napas Arveno mengenai kakinya.

Perlahan tapi pasti Kinanti mengangkat kakinya dengan sepelan mungkin agar Arveno tidak sadar jika salah satu kakinya sudah nongkrong cantik di atas wajahnya.

Gadis cantik dengan piyama panjang itu menghela napas lega karena berhasil menyelamatkan kakinya yang bisa saja menjadi terkaman Arveno.

Suara dering ponsel kembali terdengar membuat gadis cantik itu menggerutu kesal pada si penelepon yang mengganggu paginya.

"Halo," sapa Kinanti malas.

Ayahnya adalah pengganggu pagi ini. Kinanti tahu tujuan ayahnya menelepon bukanlah suatu hal yang di senangi Kinanti. Terbukti,  suara ayahnya baru saja mengalun di telinganya dan itu sudah membuatnya kesal.

"Kinan, ayah mau minggu ini kamu pulang, ya. Soalnya mau merayakan ulang tahun adikmu. Semua keluarga besar ayah berkumpul juga."

"Saya enggak bisa, Yah. Minggu ini jadwal saya padat." Kinanti tentu saja menolak karena ia juga tidak ingin berada dalam lingkup keluarga bahagia yang dimiliki ayahnya dan keluarga barunya.

"Ayolah, Ki, kamu enggak pernah ikut kumpul keluarga seperti biasa,"  bujuk ayahnya, lagi.

"Lha, memang waktu saya ulang tahun, ayah ikut saya merayakannya? Enggak 'kan?" tandas Kinanti agak sinis.

"Kinan--"

"Oke saya pulang. Sekalian saya bawa calon suami yang mau saya perkenalkan dengan ayah," sela Kinanti.   Setelah itu ia mematikan sambungan telepon dengan kasar dan hampir saja melempar ponselnya ke tembok jika tangannya tidak di tahan oleh Arveno.

"Kita ke rumah ayahmu hari kamis. Mulai beberapa hari ke depan, kita akan sering lembur."

Kinanti membulatkan matanya mendengar ucapan Arveno. Tidak ia sangka jika Arveno mendengar ucapannya dengan sang ayah dan tidak ia sangka pula Arveno akan setuju.

"Bos, serius?"

Arveno mengangguk sebagai jawabannya.
"Saya serius. Apa 'sih yang enggak buat kamu." Arveno tersenyum miring dan sukees membuat Kinanti merinding seketika.

Fix, saat ini si Arveno beruang kutub sedang kesurupan.







[4]  My wife My Secretary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang