8

7.8K 981 57
                                    

                      BAB 8

"Tit, kok lo enggak nge-respons 'sih dengar curhatan gue?"  sungut Kinanti. Wanita itu menatap teman yang berbeda usia dengannya itu sebal.

Sementara yang di tatap mengalihkan tatapannya membalas tatapan Kinanti dengan tatapan polosnya.

"Gue memang terkejut. Tapi, bukan berarti gue harus teriak kayak di novel atau sinetron 'kan?" sahut Tita dengan santai. "Lagian enggak heran kalau Tuan besar mau menjodohkan lo dengan cucunya,"  tambahnya, membuat Kinanti mengernyit.

"Kenapa enggak heran?" Kinanti memajukan tubuhnya mendekat pada Tita.

Saat ini mereka sedang berada di kantin kantor. Kejadian kemarin ketika Pak Tua meminta Kinanti untuk menerima perjodohan membuat Kinanti tidak tenang dan tidak bisa tidur tadi malam. Hal itu menyebabkan kantung mata terlihat jelas yang hanya bisa di tutup dengan pondation.

"Dua hal yang menyebabkan kenapa Tuan besar menjodohkan lo dengan Pak Arveno." Tita mengangkat tiga jari telunjuknya tepat di depan Kinanti. Jari tengah, jari telunjuk, dan terakhir kelingking.

Kinanti memutar bola matanya malas. Jemarinya menurunkan satu jari kelingking yang diberi jarak oleh jari manis.
"Ini baru dua. Nah, yang tadi itu tiga," katanya.

"Jari kelingking cuma buat praduga doang, Mbak."

"Ck. Terus, apa dua hal yang lo maksud tadi?" tanya Kinanti sudah malas berdebat.

"Pertama bisa jadi ini permintaan Pak Arveno karena mungkin Pak Arveno gengsi mengakui kalau doi mau menjadikan lo istrinya."

Kinanti memutar bola matanya malas. Ini lagi alasannya, keluh Kinanti di dalam hati.

"Kedua apa?"

Tita tersenyum.
"Kedua, mungkin karena Tuan besar berharap lo jadi cucu menantunya dan enggak mau kehilangan lo."

"Ck." Kinanti menggeleng. "Bisa jadi dugaan lo yang kedua ini. Kakek 'kan memang sayang banget sama gue,"  ujarnya bangga.

"Nah, udah tahu beliau sayang sama lo. Lo yakin mau  nyakitin orang yang udah berjasa buat lo?" Tita menyeruput minuman di dalam gelasnya.

"Gue enggak bisa buat kakek kecewa. Kakek adalah orang yang berjasa buat gue." Punggung Kinanti melemas dengan tatapan sendu yang terlihat dari matanya. "Tapi, gue enggak mau menikah dengan Pak Arveno. Pak Arveno itu enggak cinta gue dan begitu pula sebaliknya,"  ujarnya.

"Hari gini masih mikirin cinta? Mbak, hidup kita mah harus realitis. Pasangan yang udah menikah karena sama-sama cinta aja bisa bercerai. Suami istri yang terlihat saling mencintai aja, kalau pasangan mereka meninggal dunia, cepat-cepat cari pengganti." Tita menatap Kinanti. "Contohnya bokap gue. Nyokap belum satu minggu di kubur, tapi bokap dan burungnya udah sibuk cari pengganti.  Padahal semasa nyokap hidup, mereka pasangan ter-romantis yang pernah gue lihat."

Kinanti tertegun mendengar pernyataan Tita yang selalu menggunakan teori logika bukan hati.

"Terus, yang ketiga apa?" Kinanti menatap Tita penasaran.

"Bisa jadi karena Tuan besar khawatir kalau cucunya mengidap kelainan seksual. Misal, penyuka terong dari pada kol, mungkin?" sahut Tita terdengar ragu.

"Sembarangan lo. Pak Arveno itu benar-benar penyuka kol, tahu. Dulu dia pernah pacaran waktu SMA." Kinanti menepuk meja pelan membuat Tita yang berada di hadapannya mendengkus.

"Gue 'kan nyebutnya praduga, aelah."

Usai makan siang di kantin, Kinanti segera kembali ke lantai di mana tempat ia akan mulai bekerja.

Sesampainya di meja, Kinanti duduk dan mulai mengatur beberapa hal yang berhubungan dengan pekerjaan Arveno dan jadwal pria itu.

Kinanti berjengkit ketika pintu ruangan Arveno di buka dan di tutup secara kasar.

Kinanti menoleh dan mendapati tiga perempuan keluar dari ruangan Arveno.

Ada Alia dan Intan. Serta, satu gadis lain yang tidak di kenal Kinanti. Wajah Alia dan Intan terlihat marah, membuat Kinanti ingin sekali menertawakan ekspresi mereka yang mirip dengan kucing kawin.

"Apa lo ketawa-ketawa?" sentak Alia saat melewati meja kerja Kinanti.

"Siapa yang ketawa? Memang lo lihat bibir gue ketarik ke kanan dan kiri?"  timpal Kinanti tidak takut sama sekali. Tubuhnya bangkit dari kursinya dan membalas tatapan Alia dengan tak kalah tajam.

"Lo." Alia menunjuk Kinanti geram. Matanya memicing tajam seolah dirinya  bersiap untuk menerkam Kinanti.

"Sudah, enggak usah di ladenin. Perempuan murahan seperti dia enggak pantes berurusan dengan kita dari kalangan wanita terhormat." Intan menarik Alia menjauh dan menatap sinis pada Kinanti yang tidak terpengaruh sedikit pun pada ucapan Intan.

"Ha-ha. Asal kalian tahu, kalau perempuan murahan ini yang sebentar lagi akan mendapat gelar sebagai Nyonya Adijaya Jhon." Kinanti tersenyum lebar menatap Alia dan Intan yang terperangah. "Kalian berdua enggak akan ada apa-apanya dengan status baru saya nanti. Nyatanya perempuan murahan ini akan lebih tinggi statusnya dari pada kalian."

Kinanti puas.  Sangat puas melihat wajah pucat dari kedua perempuan yang berdiri dengan tubuh kaku di hadapannya.

"Kamu pasti membual,"  ujar Intan penuh penekanan. Mata tajamnya melirik ekspresi Kinanti berusaha untuk mencari kebohongan yang mungkin saja dilakukan Kinanti untuk menakuti mereka.  Namun, gadis itu bersikap acuh. Kinanti bahkan mengangkat bahunya sambil tersenyum.

"Saya akan memiliki gelar Adijaya Jhon sebagai nama belakang saya. Sementara kalian? Seumur hidup enggak akan bisa dapat gelar nama itu,"  ujar Kinanti tersenyum pongah.

Kedua tangan Alia dan Intan mengepal.  Mereka kemudian saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya memilih pergi membawa gadis yang ikut bersama mereka.

Kinanti tertawa melihat wajah penuh amarah kedua perempuan yang selalu memusuhinya.

"Ikut saya ke luar."

Kinanti tersentak mendengar suara atasannya yang entah sejak kapan berdiri dengan tubuh bersandar pada pintu.

"Ke mana, Bos?" tanya Kinanti. 

Gadis cantik itu segera membaca stick note yang ia tempel di ujung komputer agar memudahkannya melihat ke arah mana Arveno akan pergi. Setelah memastikan Arveno tidak memiliki jadwal pergi untuk jam ini, Kinanti menegakkan tubuhnya menghadap Arveno dan terkejut mendapati pria itu sudah berdiri dekat dengan tubuhnya.

Menelan ludahnya gugup, Kinanti mulai mengatakan sebuah kalimat dengan hati-hati agar tidak membuat atasannya ini mengamuk.

"Bos enggak ada jadwal keluar dari jam satu sampai tiga nanti." Kinanti menatap bingung pada sosok Arveno. "Jadi, kita mau ke mana, Bos?" tanyanya ulang.

"Ke toko perhiasan," sahut Arveno datar.

"Ke toko perhiasan? Untuk apa,  Bos? Bos mau buka usaha perhiasan juga dan mau survei lapangan?" tanya Kinanti antusias.

Kinanti adalah gadis penyuka perhiasan mahal.  Namun, ia lebih suka melihat dari pada memilikinya. Obsesi Kinanti adalah melihat banyak perhiasan.

"Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu akan menyandang gelar sebagai Nyonya Adijaya Jhon?" Arveno menatap Kinanti dengan sebelah alis terangkat. Namun, gadis itu justru terlihat bingung.

"Kita akan mencari cincin pertunangan. Sebelum menikah kita akan bertunangan lebih dulu."

Kinanti melongo mendengar ucapan Arveno. Gadis itu tersenyum dan mundur selangkah ke belakang dan menatap Arveno dengan tatapan horor.

"B-bos pasti nge-prank saya 'kan?  He-he. Saya tahu pasti bos sebentar lagi bakal teriak 'kamera cut' dan semua orang yang lagi merekam kita diam-diam pasti keluar dari tempat persembunyian." Kinanti mengangguk dengan dugaannya. Sementara Arveno hanya mendengkus dan menatap Kinanti malas.

"Saya orang sibuk."

"J-jadi?" tanya Kinanti terbata-bata.

"Kamu sudah setuju."






[4]  My wife My Secretary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang