6

8.5K 1K 72
                                    

                 

PAGI-PAGI sekali Kinan tiba di kantor. Gadis cantik namun pemarah itu menatap sekeliling lobi kantor dengan was-was.

Kinanti ingin menghindar dari Arveno. Kinanti tidak memiliki wajah yang tebal untuk berhadapan dengan pria yang memberinya ciuman tadi malam.

Kinanti menggigit bibir bawahnya menatap sosok Arveno dari balik koran yang tengah ia baca.

Saat ini Kinanti sedang ada di pantry. Pagi ini ia tidak berani menyapa Arveno dan beruntung kopi hangat sudah ia letakkan di meja pria itu. 

Wajah yang ia sembunyikan dari Arveno tidak boleh di lihat oleh pria itu.

"Kinanti Darmawasa!"

Kinanti tersentak mendengar suara teriakan Arveno. Beruntung hanya ada satu ruangan di lantai ini. Jika tidak, mungkin kantor akan heboh dengan teriakan super menggelegar milik atasannya itu.

"Aduh, itu babon kutub ngapain teriakin nama gue 'sih? Nge-fans banget kayanya," rutuk Kinanti. Wanita itu mempersiapkan mental dan batinnya untuk bertemu dengan Arveno.

Saat ini ia tidak punya pilihan lain selain melangkah mendekati ruangan Arveno dan masuk ke dalamnya.

Jarak ruangan Arveno dan pantry tidak begitu jauh. Pintu ruangan pria itu juga terbuka lebar sehingga suara tak berfaedah Arveno terdengar sampai pantry.

"S-saya di sini, Bos." Kinanti berdiri di depan pintu sambil menatap Arveno takut-takut.

"Masuk!" titah Arveno dengan suara lantang.

Takut-takut Kinanti melangkah masuk ke dalam dan berdiri di depan meja Arveno.  Kening Arveno masih tertutup oleh kain kasa yang menandakan jika kejadian kecelakaan yang dialami Arveno dan insiden ciuman itu bukanlah mimpi buruk Kinanti.

Kinanti menatap hasil karyanya tadi malam dan berdecap dalam hati karena ternyata ia bisa menciptakan karya indah di kening pria itu.

"Kamu tahu apa ini?" Kinanti tersentak dan menatap mata Arveno yang tengah menatapnya dengan tatapan tajam.

"Itu kopi, Bos. Lidah bos mati rasa ya karena kecelakaan tadi malam?" jawab dan tanya Kinanti langsung.  Setidaknya jika lidah Arveno memang mati rasa karena kecelakaan tadi malam, harusnya indra penciuman pria itu masih berfungsi 'kan?  Batin Kinanti bertanya.

"Saya tahu ini kopi." Arveno menyahut datar. "Tapi, saya minta kamu buat cicipi kopi enak buatan kamu ini." Arveno menggeser cangkir kopi miliknya ke hadapan Kinanti yang masih berdiri di tempatnya.

"Saya, Bos?"  Kinanti menatap Arveno ragu-ragu.

"Menurut kamu, bagaimana?"

Kinanti tersenyum lebar. Senyum yang tidak sedap untuk di pandang oleh mata.

Dengan tangan gemetar, Kinanti mengambil cangkir kopi milik Arveno yang ia buat tadi dan perlahan ia meneguknya. Dua detik kemudian Kinanti menyembur kopi dalam mulutnya ke depan dan langsung mengenai Arveno.

Bibir Kinanti bergetar menatap wajah dan kemeja serta jas yang dikenakan Arveno terciprat kopi dari mulutnya.

"B-bos."

Kinanti bergerak meletakkan cangkir di atas meja dengan terburu-buru dan mendekat ke arah Arveno. Kinanti mengambil tisu dan mulai membersihkan wajah, kerah jas, dan juga kemeja dalam Arveno. 

Apa yang dilakukan Kinanti justru membuat jas biru yang dikenakan Arveno semakin kotor dan membuat Kinanti semakin takut.

Kinanti tersentak ketika tangan Arveno merangkul pinggangnya erat hingga tidak ada jarak di antara dirinya dan juga Arveno.

Kinanti mendongak menatap Arveno yang lebih tinggi darinya. Tinggi Kinanti hanya sebatas hidung Arveno karena ia memakai sepatu hak tinggi. Jika tidak, mungkin tinggi aslinya hanya sebatas bibir pria itu saja.

"Masih pagi, tapi kamu sudah membuat dua kesalahan,"  gumam Arveno menatap lekat manik mata Kinanti. "Kamu tahu kesalahan kamu pagi ini?" tanya Arveno, menguji IQ Kinanti dan juga kejujuran gadis ini.

"T-tahu, Bos. Apa perlu saya sebutkan?" tanya Kinanti takut-takut.

"Hm." Arveno mengangguk ringan.

"Satu, saya buat kopi bukan pakai gula tapi garem halus," ujar Kinanti menelan ludahnya serak.

"Dua?"

"Dua, saya menyembur minuman di dalam mulut ke tempat bos," ujarnya terbata-bata. Tangan dinginnya memilin kancing kemeja Arveno berusaha untuk mengurangi kegugupannya.

Arveno semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Kinanti. Sementara mata tajamnya menghunus penglihatan gadis itu.

"Ada satu lagi kesalahan kamu," ucap Arveno.

"Hah?" Bibir Kinanti terbuka menatap Arveno tak mengerti. Dia tahu dirinya hanya memiliki dua kesalahan. Mengapa Arveno menambah satu kesalahan yang tidak ia ketahui, batin Kinanti berujar tak menentu.

"Kesalahan ketiga kamu adalah berada di posisi dekat dengan saya," ucapnya mulai mendekatkan wajahnya pada Kinanti. "Saya enggak tahan buat enggak melakukan ini." Arveno mengecup bibir Kinanti. Tidak tahan hanya mengecup saja, pria itu menggerakkan bibir yang sudah menjadi candunya.

Tangan kanan Arveno bergerak naik mengusap rambut Kinanti sementara sebelah tangannya lagi mengeratkan pelukan mereka.

Kinanti membeku.

Kinanti shock.

Kinanti tidak bisa berkata-kata sebelum sebuah suara menyentak kegiatan mereka.

"Astaga! Apa yang kalian lakukan?"

Kinanti mendorong Arveno menjauh dan mengalihkan tatapannya pada dua orang yang berdiri di ambang pintu.

"Sa-saya--"

"Benar-benar sekretaris penggoda. Mungkin ini pekerjaan sampingan kamu selain menjadi sekretaris, kamu juga menjadi simpanan bos-bos," cibir wanita paruh baya. Wanita yang tak lain adalah Intan --mama angkat Arveno-- dan juga putrinya, Alia.  Kedua perempuan berbeda generasi itu menatap Kinanti sinis dan merendahkan Kinanti.

Kedua tangan Kinanti mengepal mendengar cibiran dua wanita yang selalu memusuhinya itu. Tatapannya yang semula marah berubah menjadi senyuman ala medusa yang selalu ia tunjukkan pada orang-orang yang tidak ia sukai, meski itu adalah ibu angkat sekaligus adik angkat Arveno, bosnya sekalipun.

"Benar. Pekerjaan sampingan saya adalah menggoda bos-bos kaya biar bisa dapat duit banyak dari para bos itu." Kinanti melepaskan satu kancing bajunya bagian atas seraya menunjukkan pandangan menggoda pada ibu dan anak itu.

"Dasar enggak tahu malu," cibir Alia menatap Kinanti jijik.

"Kalau saya tahu malu,  saya enggak mungkin 'kan jadi simpanan bos besar macam Pak Arveno ini."

Dengan gerakan menggoda, Kinanti perlahan mendudukkan tubuhnya di atas pangkuan Arveno yang ternyata sudah duduk lebih dulu di kursinya. Pria itu bahkan tidak memberi respons apa pun terhadap ketiga perempuan yang berada di dalam ruangannya.

"Kalian ingin melihat bagaimana saya menggoda Pak Arveno?" tanya Kinanti menoleh kepalanya ke belakang. "Seperti ini--" Kinanti menarik kepala Arveno dan menyatukan bibir mereka. Hal itu membuat Alia berang dan melangkah maju, berniat untuk menghantam kepala Kinanti. Tapi, langkahnya terhenti ketika Arveno menatapnya tajam dari balik punggung Kinanti.

"Kita pergi." Intan menarik Alia keluar dari ruangan Arveno dan membanting pintu ruang dengan keras sehingga membuat Kinanti terperanjat.

Seperti ada guyuran air dingin di atas kepalanya menyadarkannya apa yang sudah ia lakukan. Kinanti berusaha menarik kepalanya menjauhi bibir Arveno, tapi tangan pria itu menahannya.

"Kamu sudah melecehkan saya. Saya akan tuntut kamu dan membalasnya," ujar Arveno sejenak. Setelah itu ia merapatkan kembali  bibirnya dengan Kinanti tanpa mau melepaskannya lagi.

Kinanti melotot menatap Arveno seolah pria yang sedang memangkunya adalah pria paling tidak tahu malu di dunia ini.

Melecehkan gundulmu! Teriak batin Kinanti tak terima.

[4]  My wife My Secretary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang