11: Pulang Lampung

6.9K 957 62
                                    

Kota Lampung yang terkenal dengan kain tapis dan olahan pisang merupakan asal tempat di mana seorang Kinanti Darmawasa tinggal.

Di sampingnya, pria tinggi dengan raut wajah datar yang tengah mengenakan kemeja hitam di lapisi jaket kulit berdiri menjulang.

Kinanti menatap sekitar bandara dan mencari jemputan yang akan membawa mereka sampai akhirnya ia menemukan seorang laki-laki tengah melambaikan tangan ke arahnya.

Bandara Randen Intan II terlihat ramai dengan orang-orang yang berdatangan atau berniat akan pergi.

Kinanti tidak tahu jelas kapan bandara tersebut berubah menjadi bandara internasional karena jujur saja ini kali pertamanya Kinanti menginjakkan kaki di bandara ini.

"Ayo, Bos."

Kinanti menarik satu kopernya diikuti oleh Arveno yang tidak membawa koper melainkan hanya tas ransel hitam yang berada di punggungnya.

"Udah lama nunggu?" Kinanti menyapa pemuda di hadapannya.

Pemuda tersebut mengangguk jujur. "Udah setengah jam aku nunggu, Atu."

Atu adalah panggilan yang biasa di gunakan orang Lampung untuk yang lebih tua. Berhubungan karena Kinan adalah anak tertua dari ayahnya, maka tak heran jika gadis itu di panggil dengan sebutan Atu oleh Regen--sepupu Kinan-- yang lebih muda beberapa tahun darinya.

"Ah, bentar itu." Kinanti mengibas tangannya. "Pulang sekarang. Atu capek." Kinanti mengkode Arveno untuk mengikuti langkahnya ke area parkir di mana pemuda tersebut memarkirkan kendaraannya.

"Itu siapa, Tu? Lama enggak pulang ke Lampung, pulang-pulang bawa laki," ujar Regen menatap kakak sepupunya.

"Calon suami." Kinanti duduk di belakang dan membiarkan Arveno duduk di bangku depan.

"Kenalin, Bang, saya Regen, adik sepupunya Atu Kinan." Regen mengulurkan tangannya pada Arveno yang langsung di sambut pria itu.

"Arveno." Arveno menyahut datar seraya membalas uluran tangan Regen.

"Eh, Gen, lo yakin bisa nyetir? Kok gue enggak yakin?" Kinanti menatap Regen ragu. Adik sepupu dari ayahnya ini berusia 22 tahun. Saat di tinggal Kinanti merantau, adiknya itu berusia 13 tahun.

Kinanti memang jarang pulang ke kota asalnya karena ia sendiri sejak SMA, kuliah, bahkan kerja di kota besar. Terlalu malas dan sakit berada di kota penuh kenangan menyakitkan ini.

"Tenang, Atu. Aku bisa nyetir kok. Biasa juga perjalanan jauh," sahut Regen santai.

"Lo di suruh uwak buat susul gue?"

Uwak adalah panggilan khusus untuk kakak ayahnya yang juga merupakan ibu Regen.

"Iya, Atu. Kata mama, atu harus di jemput takutnya atu lupa sama jalan pulang," sahut Regen setengah menyindir Kinanti. Kakak sepupunya ini tidak pernah pulang kampung dan selalu keluarga yang menjenguknya di sana.

"Gimana kabar uwak dan uwak laki-laki? Sehat?" tanya Kinanti tak menghiraukan sindiran Regen.

"Sehat semua. Bulan depan Ses Revita bakal di lamar orang sekalian nikah. Atu, bulan berapa nikahnya?"

"Oh, iya? Ses di lamar orang mana?" sahut Kinanti sedikit antusias.

Revita adalah kakak sepupu Kinanti yang juga kakak kandung Regen. Jarak usia mereka hanya berbeda satu tahun saja. Pekerjaan kakak kandung Regen tersebut sebagai bidan di kota tempat mereka tinggal.

"Orang asli Palembang tapi sekarang sudah menetap di sini dan punya rumah juga."

"Kerja apa?"

"Petani."

"What?"

Petani dalam bayangan Kinanti tentu saja bekerja dengan cangkul dan sawah. Tapi penjelasan Regen berikutnya membuat Kinanti mengangguk paham.

"Maksud aku, calon suaminya Ses itu punya banyak kebun tanah dan sawah. Nah, usahanya ya di situ."

"Gue kira tukang kebun." Kinanti cengengesan menatap sepupunya dari belakang.

"Insinyur pertanian 'kan memang tukang kebun."

"Iya, deh."

Perjalanan mereka kini di isi obrolan Regen tentang keluarga mereka dan juga suasana tempat tinggal.

Kinanti sudah berapa tahun ini tidak pernah pulang karena alasan ayahnya. Kinanti terlalu muak harus hidup satu atap dengan ayah dan keluarga barunya.

Lebih baik hidup sendiri tanpa beban dan tekakan batin. Dari pada satu atap tapi membuatnya tertekan. Itu adalah kalimat pemicu untuk Kinanti agar ia bisa betah tinggal di kota orang awal-awal ia merantau. Beruntung saat pertama kali pindah ke kota besar, Kinanti tidak terlalu susah karena ada saudara jauhnya yang menampungnya. Lalu, setelah lulus SMA barulah Kinanti mulai keluar dari rumah saudaranya dan mencari kontrakan untuk ia tinggali.

Terlalu asyik dalam obrolan, mobil Regen akhirnya memasuki sebuah halaman rumah tanpa pagar. Cat tembok berwarna biru tua adalah rumah yang diyakini Kinanti merupakan tempat tinggalnya saat kecil.

Hanya rumah sederhana tanpa teras. Rumahnya tidak terlalu besar dan bukan rumah berlantai dua yang saat ini di tempati Kinanti di kota.

Meskipun rumahnya hasil kreditan, Kinanti cukup berbangga diri karena ia sudah memiliki rumah yang sudah lunas masa cicilannya. Mobil pun ia punya dan ia cukup berpuas diri.

Ternyata beberapa tahun ia tidak pulang, keluarga ini tidak berubah sedikit pun. Tidak seperti Kinanti yang sudah sedikit mapan.

"Puan, Ibu."

Mereka sudah berdiri di depan pintu dan melihat ke dalam di mana ada banyak orang yang duduk di ruang tengah yang terlihat dari pintu.

"Ya ampun, Kinan, kamu udah sampai? Semakin cantik dan putih aja kamu. Ah, cewek kota."

Seorang wanita paruh baya yang merupakan adik bungsu ayahnya menyapanya dengan hangat. Mereka sempat cipika-cipiki di pintu sebentar.

"Mak bisa aja." Kinanti tersenyum menatap sosok yang ia panggil dengan sebutan 'mak' adalah adik bungsu ayahnya yang bernama Martha.

Martha tersenyum. Tatapannya kemudian beralih menatap Arveno yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya.
"Ini siapa?" Martha berbisik pada Kinanti seraya menatap Arveno kagum. Arveno benar-benar tampan dengan wajah setengah bule yang membuatnya terpesona.

"Dia Arveno, Mak. Mak, enggak masuk dulu?" tegur Kinanti yang mulai jengah berdiri.

Seakan tersadar, Martha kemudian tersenyum malu karena sudah bersikap seperti ini. Wanita itu kemudian membawa Kinanti, Arveno, dan juga Regen masuk ke dalam.

Usai menyapa seluruh keluarga yang hadir--termasuk keluarga istri baru ayahnya-- Kinanti kemudian duduk di ruang tamu bersama para paman dan ayahnya untuk di sidang mengenai masalah Kinanti yang membawa laki-laki pulang.

"Kami sudah berencana untuk menikah bulan depan," ujar Arveno, mengejutkan seluruh keluarga yang ada. "Saya di sini juga tidak hanya untuk menemani Kinanti datang ke acara keluarga, tapi juga sekaligus untuk melamar Kinanti." Arveno menatap tegas sosok ayah Kinanti yang terdiam membeku di tempat.

"Bagaimana kalau saya tidak setuju?" tanya ayah Kinanti.

Arveno tersenyum menatap yakin pria paruh baya di hadapannya. "Kinanti hidup sendiri di kota tanpa keluarga yang menemani. Jadi, saya bertekad untuk menikahinya."

Ayah Kinanti tertegun sejenak. Tatapannya beralih menatap Kinanti yang duduk tenang di samping Arveno.
"Kinan, kamu yakin ingin menikah dengan laki-laki di sampingmu?" Ayah menunggu jawaban putrinya.

"Yakin. Soalnya saya juga mengenal Arveno sudah lebih dari sepuluh tahun." Kinanti menjawab tegas. "Kalau pun suatu hari nanti Arveno akan berkhianat, saya sudah siap. Toh, saya juga terbiasa dengan pengkhianatan sedari kecil," tandasnya membuat sang ayah terdiam.

"Saya tidak akan berkhianat. Kamu tahu itu, Kinanti."

Jantung Kinanti berdebar kencang ketika tangan mungilnya di genggam erat oleh Arveno.

Jangan lagi, gumam batin Kinanti cemas.




[4]  My wife My Secretary Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang