Kinan tidak habis pikir dengan tingkah laku Arveno yang tiba-tiba sudah duduk tepat di sampingnya. Saat ini mereka sedang makan siang di kafetaria kantor.
Seperti biasa, jam makan siang adalah waktu yang tepat untuk Kinan dan Tita bergosip ria. Sayangnya, acara menggosip mereka harus terhenti karena kedatangan Arveno yang begitu tiba-tiba.
"Bos, tumben mau makan di sini. Biasanya Bos pesan makanan di restoran," celetuk Kinan, sambil melirik pada Arveno.
"Bagaimana saya bisa pesan makanan di restoran, kalau orang yang biasa mau mesen makanan buat saya sudah kabur lebih duluan."
Arveno melirik sinis ke arah Kinanti. Wanita satu ini tiba-tiba sudah menghilang dari meja kerjanya saat ia melangkah keluar. Ketika ia berniat untuk menghubunginya melalui telepon, ternyata tas dan ponsel wanita itu tertinggal. Berpikir jika Kinanti sengaja untuk menghindar darinya, Arveno segera menghampirinya ke kafetaria dan kebetulan menemukan wanita itu sedang bergosip ria dengan salah satu karyawannya.
Kinan cemberut menatap pria yang tiba-tiba berstatus sebagai tunangannya itu. Kemudian ia beralih menatap Tita yang sejak tadi hanya diam menikmati hidangan mereka yang tersaji.
"Tit, kenapa lo diam aja dari tadi? Sariawan, lo?" tegurnya pada Tita.
"Kalau lagi makan, memang sebaiknya diam, Mbak," sahut gadis itu kalem.
Dalam hati ia berpikir, tidak mungkin mulutnya akan mengoceh bersama Kinanti jika di hadapannya ada sosok monster menyeramkan seperti Arveno. Meskipun pria yang berstatus sebagai tunangan temannya itu sudah mengenal dirinya, Tita cukup waras diri untuk tetap bersikap kalem. Apalagi kata Kinanti, Arveno suka menyunat gajinya.
"Halah! Lo enggak--mmm!"
Bibir Kinanti yang semula mangap ingin berceloteh, tiba-tiba disumpal oleh Arveno dengan makanan dari piring pria itu sendiri dan menggunakan sendoknya.
Kinanti segera mengunyah dan menelannya dengan terburu-buru. Kemudian, ia melotot ke arah Arveno.
"Bos, sikat gigi enggak tadi? Saya enggak mau ya ada jigong menempel di sendok bekas Bos tadi yang di suap ke saya."
Tita yang mendengar celoteh kurang ajar dari temannya itu tersedak minuman hingga wajahnya memerah. Pantas! Pantas saja gaji Kinanti sering disunat oleh bos-nya sendiri. Ini mungkin karena mulut Kinanti yang selalu cablak dan kurang filter, pikir Tita.
"Saya lebih rajin dari kamu." Arveno membalas dengan tenang kemudian dengan gerakan anggun ia mengganti sendok bekas mulut Kinanti, dengan sendok baru yang terletak di depannya. Melihat hal itu tentu saja membuat Kinanti mendelik sebal.
"Bos masukin sendok bekas ke mulut saya, terus mengganti dengan sendok baru. Maksudnya apa?"
"Ehem." Arveno berdeham. "Soalnya saya tahu kalau sendok bekas mulut kamu, agak kurang higienis."
Satu pukulan mendarat di punggung Arveno berasal dari Kinanti yang saat ini sudah melotot sebal menatap bosnya ini.
Sementara Tita yang menjadi obat nyamuk untuk keduanya hanya diam-diam menatap keduanya yang menurutnya sama-sama kurang waras.
Setelah mengisi perut di kafetaria kantor, Kinanti dan Arveno kembali ke lantai tempat mereka bekerja. Sesampainya di sana, sudah ada Alia dan Intan yang ternyata sudah menunggu pria itu. Namun, karena ruangan Arveno dikunci secara otomatis saat sang pemilik tidak ada, ketiga perempuan itu hanya bisa menunggu di luar.
"Tas dan HP gue tinggal. Enggak ada yang hilang 'kan?" Kinanti bergumam pada dirinya sendiri dengan suara yang agak keras dan tentu saja didengar oleh ketiga wanita itu.
"Lo pikir, kita di sini mau maling? Harga barang punya lo, lebih mahal lagi punya gue," sentak Alia keras.
"Duh, Mbak, kok merasa tersindir? Padahal gue enggak ada sebut nama." Kinanti berdecak sebal sambil menggeleng kepalanya. Dilihatnya tas serta ponsel masih berada di tempat yang sama, Kinanti akhirnya bisa lega.
Wanita itu dengan santai mendudukkan dirinya di kursi dan mulai bekerja tanpa memedulikan tiga orang yang sudah menatapnya.
"Kita masuk ke dalam. Jangan ladeni wanita gila ini," ujar Intan, pada putrinya serta gadis yang mengikuti mereka.
Ketiganya kemudian melangkah masuk meninggalkan Kinanti yang hanya mengangkat bahu acuh dengan tingkah laku Ibu angkat dari atasannya itu.
Sebagai orang yang sudah mengenal luar dalam dari Arveno, Alvino, dan Alta, tentu saja Kinanti tahu siapa keluarga mereka. Intan hanyalah ibu angkat dari kedua teman kembarnya itu. Bukan orang tua kandung sehingga ketika mereka memperlakukan Kinanti dengan tidak layak, dia tidak segan untuk membalas. Ini juga merupakan ajaran dari Arveno dan Alvino beberapa tahun lalu.
Sementara di dalam ruangan.
Arveno menatap Mama angkatnya dengan tatapan tenang. Dia tidak mempersilakan ketiganya duduk, dan mereka sudah duduk lebih dulu di sofa miliknya.
"Ada keperluan apa Mama datang?" Arveno bertanya sambil menatap Intan.
"Mama datang ke sini mau memperkenalkan kamu dengan anak temannya mama. Ayo, kenalan dulu. Namanya Amel. Dia baru saja lulus kuliah di luar negeri."
Intan dengan senang hati memperkenalkan Amel pada Arveno. Berharap agar putranya itu mau mengenal Amel lebih dekat lagi.
"Hanya mau memperkenalkan dia, kalian mengganggu jam kerja saya?" Pria itu mendengus menatap Intan dan kedua gadis itu. "Saya minta kalian keluar dari ruangan saya, karena saya sedang sibuk bekerja dan nggak pengen diganggu."
Hal paling menyebalkan dalam hidup Arveno adalah ketika konsentrasinya bekerja diganggu oleh orang yang tidak diinginkannya kehadirannya.
Arveno bangkit dari duduknya kemudian menunjuk ke arah pintu dengan rahang mengeras. Kemarin, mamanya juga datang ke kantornya membawa gadis ini namun ia tidak menanggapi karena terlalu fokus pada pekerjaannya. Sekarang, mereka kembali datang dan tentu saja membuat Arveno marah.
"Nak--"
"Pergi atau saya panggil security, Ma?" Arveno segera menyela dan menatap mamanya tajam.
Tidak ingin dipermalukan, Intan segera membawa putrinya serta Amel keluar dari ruangan Arveno sebelum pria itu benar-benar memanggil security.
Sampainya di luar mereka menemukan tatapan mengejek dari kinanti yang menyeringai menatap mereka bertiga.
"Oh, hai. Kalian diusir?"
Nada bicaranya terdengar sangat santai. Senyum mengejek jelas terlihat oleh mata telanjang ketiga wanita itu, membuat mereka segera melotot dengan amarah yang membumbung tinggi.
"Kasihan," tambah Kinanti.
Alia yang tidak bisa menjaga emosinya segera mendekat. Tangannya bergerak ingin menampar pipi Kinanti, namun segera dihalangi oleh wanita itu yang langsung menghempaskan lengan Alia.
"Gue enggak akan biarkan tangan lo yang kotor ini nyentuh pipi gue. Mau tahu kenapa?" Kinanti bergerak kemudian mencengkram erat pipi Alia. "Karena gue nggak sudi."
Melihat putrinya diperlakukan dengan tidak baik tentu saja Intan murka.
Wanita itu bergegas mendekat dan ingin mendorong tubuh Kinanti, namun segera Kinanti berteriak.
"Bos, lihat ini mama dan juga adiknya Bos, masak mereka sudah seperti anjing gila yang mau menerkam saya."
Tubuh Intan dan juga Alia membeku.
Keduanya menolehkan kepala menatap ke arah pintu ruang Arveno dan tidak menemukan apa-apa.
Saat mereka menoleh ke arah Kinanti, wanita itu ternyata sudah bergerak menjauh sambil menatap mereka dengan seringai mengejek.
Sialan, mereka tertipu!
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My wife My Secretary
ChickLitKinanti Darmawasa sudah bekerja hampir lima tahun di perusahaan Adijaya Grup yang dipimpin sahabatnya, Arveno Adijaya. Entahlah, Kinan--sapaanya--tidak tahu apakah Arveno menganggapnya sahabat atau tidak.Tapi, yang pasti dimana pun Arveno berada, d...