Kinanti menatap malas pada Vina yang duduk di depannya. Perempuan itu selalu saja curi-curi pandang pada wajah tampan calon suaminya.
Calon suami? Ish, mengapa pula ia harus mengatakan hal itu, gerutu batin Kinanti.
Di liriknya Arveno yang menyantap makanannya dalam diam tidak memedulikan sekitar.
Saat ini mereka sudah duduk di atas ambal berukuran tiga kali empat yang di gelar di tengah ruangan. Makan siang berlangsung ramai dengan para perempuan yang mendominasi. Hanya Arveno dan Regen saja laki-laki yang bergabung. Sementara para laki-laki sudah lebih dulu makan.
Arveno mau makan jika bersama Kinanti saja dan hal itu membuat Kinanti memaksa Regen untuk menunda makan lebih awal agar bisa berbarengan dengan Arveno serta Kinanti.
"Mau tambah?" tanya Kinanti melihat piring Arveno hampir kosong.
"Boleh. Saya mau ikan patin bakar dan sayur nangka lagi."
Kinanti meringis mendengar permintaan Arveno. Menu makan hanya ikan patin bakar dan sayur santan nangka pedas yang di buat oleh saudaranya.
Arveno mungkin jarang menyantap makanan ala kadarnya seperti sekarang ini. Menu makanan yang biasa di makan pria itu adalah makanan mewah ala restoran bintang lima atau paling tidak sate ayam yang sering ia pesan. Itu pun harus beli di restoran.
Tidak Kinanti duga jika Arveno bersemangat menghabiskan makanan, bahkan menambah untuk makannya kali ini.
"Ini ada lalapan. Kamu enggak makan lalapan?" tawar salah satu saudara Kinanti pada Arveno.
"Enggak, Bu." Arveno tersenyum kecil sambil menggeleng. Lalapan yang dimaksud adalah daun singkong yang di rebus, daun kemangi, terong, timun, dan beberapa jenis lalapan yang tidak Arveno bisa sebutkan.
"Kami di sini memang seperti ini makannya. Sederhana. Tapi, yang terpenting acara kumpulnya," ujar seorang saudara Kinanti yang lain.
Menu makanan sebenarnya tidak hanya sayur nangka dan ikan bakar saja. Masih banyak lauk lainnya seperti telor dadar, ayam sambal kecap, ikan pepes, udang tepung, tempe, oncom goreng, dan masih banyak lagi. Ini memang makanan cukup mewah untuk mereka yang terbiasa hidup sederhana. Tapi lain cerita jika sudah berhubungan dengan Arveno yang di lihat dari penampilannya saja bisa di tebak jika Arveno bukan dari kalangan golongan menengah ke bawah.
Arveno mengangguk sambil tersenyum tipis menanggapinya. Ia tidak terbiasa berbincang dengan orang asing. Jadilah ia hanya mengangguk atau tersenyum tipis jika di tanya.
Usai semuanya makan, kini giliran para perempuan merapikan tempat makan. Ada yang mengangkat piring kotor, ada yang membawa sisa lauk dan nasi, ada pula yang langsung kembali bekerja membuat kue yang sempat tertunda.
Kinanti terbilang gadis yang tidak bisa bersantai kala orang lain sibuk membawa perkakas kotor ke belakang. Jadilah ia membantu membawa piring kotor dan membantu membilasnya serta terakhir akan ada yang membawa piring tersebut ke dalam rumah.
Kinanti sudah meminta Regen untuk menemani Arveno karena tahu bisa saja Arveno tidak nyaman dengan keadaan atau orang-orang sekitar meskipun para saudaranya menyambut ramah kedatangan pria itu.
"Cowok yang dateng sama atu itu beneran calon suami atu?"
Langkah Kinanti yang tengah membawa tumpukan piring terhenti ketika mendengar pertanyaan dari adik tirinya. Kinanti menatap Vina dengan sebelah alis terangkat menatap gadis yang lebih muda dua tahun darinya.
"Iya. Calon suami gue. Kenapa?" sahut dan tanya Kinanti.
Tubuhnya berjongkok merapikan piring yang tersusun di lantai dengan rapi. Tumpukan piring, sendok, gelas, dan peralatan lainnya di bedakan dalam bentuk kelompok.
"Enggak apa-apa 'sih tanya aja." Vina menjawab tenang. "Atu yakin cowok itu cowok setia? Maksudnya, enggak akan mendua 'kan? Kalau di lihat dari pakaian dan wajahnya, dia kayak anak orang kaya gitu. Yakin, dia enggak akan selingkuh atau berbuat hal aneh?"
Kinanti segera bangkit dari posisi jongkoknya kemudian berdiri berhadapan langsung dengan Vina dan menatap gadis itu tajam.
"Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Lo mau memengaruhi gue biar gue ragu, begitu?" tandasnya sambil tersenyum sinis. Manusia satu ini selalu memancing emosi Kinanti. Bahkan, saat bernapas pun Vina sudah membuat Kinanti marah.
"Bukan begitu, Atu. Saya cuma tanya aja. Kenapa atu marah-marah begitu?"
Vina mundur selangkah menatap Kinanti takut-takut. Bertepatan dengan itu adik bibinya berjalan masuk dan melihat ke arah Kinanti dan Vina yang berdiri saling berhadapan.
"Gue enggak marah. Gue cuma tanya aja," ujar Kinanti. "Lo dengar ya, gue kenal Arveno udah dari Zaman SMA. Gue tahu lebih dalam sifatnya kayak apa. Jadi--" Kinanti menyeringai menatap Vina sinis. "Kalau lo mau memengaruhi gue itu akan berakhir sia-sia."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kinanti berjalan keluar dan sempat berpapasan dengan Marta. Kinanti sempat melempar senyum meninggalkan Marta dan Vina yang berada di tempat kejadian. Ruangan tempat meletakkan perkakas makan memang tidak terlalu jauh dari tempat mencuci piring. Tapi, tidak ada orang di sekitar karena orang-orang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Uwak." Kinanti tersenyum lebar mendapati uwaknya yang duduk di ruang tengah rumah ayahnya. Kinanti berhambur duduk dan memeluk wanita paruh baya tersebut dari samping.
"Ya ampun, Kinan, makin cantik aja. Udah dua tahun uwak enggak ke Jakarta lagi." Elisa menatap keponakannya dengan senyum lebar. Di peluk dan kecup kening sang keponakan yang sudah lama tidak balik kampung. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Tapi, keluarganya rutin mengunjungi gadis itu setiap tahun.
"Iya, dong, Wak. Ini perawatannya mahal makanya tambah cantik dan kinclong." Kinanti nyengir lebar menggoda uwaknya.
"Benar itu. Mau cantik harus mahal. Beruntung Kinan punya pacar yang kaya bisa belikan dia skinker," tutur seorang wanita. Wanita berusia 45 tahun itu adalah adik dari ibunya Vina yang juga ibu tiri Kinanti. Mery, namanya.
"Iya. Tapi 'kan laki-laki sekarang mana mau kasih uang banyak ke ceweknya kalau enggak ada imbalannya," celetuk Mira--putri kandung Merry-- yang usianya sudah 28 tahun.
"Tanpa uang laki-laki, saya bisa bayar perawatan saya sendiri kok, Tante." Kinanti tersenyum lebar. "Bahkan, biaya perayaan ulang tahun Vina ini aja uangnya dari saya. Coba kalau saya enggak kirim uang, mana bisa buat acara yang kayak gini."
"Ah, masa?" Mira menatap Kinanti tak yakin. Memangnya berapa gaji Kinanti satu bulan sehingga cukup untuk membayar acara sebesar ini.
Kinanti memang tidak mengirimkan uang lima juta pada ayahnya. Tapi, dua puluh juta saat itu. Anggap saja untuk membeli mulut ibu tiri dan saudari tirinya. Tapi, sayang rupanya harga yang Kinanti bayar tidak cukup untuk mereka.
"Iya dong, Tan. Kerja di perusahaan besar dengan gaji yang besar bisa buat saya banyak duit. Duit buat beli mulut para netijen yang banyak bacot."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My wife My Secretary
ChickLitKinanti Darmawasa sudah bekerja hampir lima tahun di perusahaan Adijaya Grup yang dipimpin sahabatnya, Arveno Adijaya. Entahlah, Kinan--sapaanya--tidak tahu apakah Arveno menganggapnya sahabat atau tidak.Tapi, yang pasti dimana pun Arveno berada, d...