16. rumoured girl

411 22 0
                                    

*flashback

Bukan hanya aku, nampaknya setengah dari penghuni kelas baru ini sama canggungnya. Hanya berusaha terlihat tidak.

Tapi dia jelas tidak. Semua orang mengenalnya. Wajahnya sering ditemui dalam berbagai kegiatan OSIS. Rumor menjulukinya si ketua OSIS yang suka menggoda kakak kelas. Aku tentu tidak percaya. Dengan wajahnya yang sempurna, kupikir dia tak perlu menggoda siapapun untuk menarik mereka.

Dia fokus menatap buku, ekspresinya stabil dan teratur, dengan senyum tipis yang sesekali diulas. Dia memang mengagumkan seperti rumornya.

"Halo, aku Gita." Seseorang mendatangi mejaku dengan santai. Aku menjabat tangannya yang terulur dengan senyum merekah.

Hari pertamaku sebagai siswa kelas akhir. Aku membuat berbagai perubahan yang kukira tidak akan bisa kulakukan. Tapi ternyata berubah tidak pernah semenarik ini.

Mulai dari lebih giat belajar, hingga mengikuti bimbingan belajar yang menurutku sangat merepotkan.

"Ayak! Mau ke cafe ga?" Tanya Gita.

Aku menggeleng, "ada bimbel, Git. Besok baru bisa." Jawabku. Gita mengiyakan dan membuat janji temu besok denganku sepulang sekolah.

Semua siswa telah pergi kecuali satu, aku membuka buku bersampul hitam yang kubeli di toko kemarin sore. Kutuliskan nama dan alamat rumahku, kalau-kalau dia hilang dan ada yang menemukannya.

Mulai kugoreskan tinta hitam diatas kertas putih itu dengan perlahan. Kutuliskan bagaimana hari ini aku mengikuti pelajaran dengan baik, menjawab beberapa pertanyaan dan mendapat nilai baik di ulangan harian.

Aku berhenti di pertengahan halaman, menyisakannya untuk sisa hari ini. Kututup buku itu dan segera memasukkannya kedalam tas. Kulihat siluetnya di depan pintu, tengah bersama siswa lain.

Aku bergerak mendekat, bersembunyi karena khawatir menganggu percakapan yang terlihat serius itu.

"Jadi orang yang menggoda kak Ditto itu tampangnya seperti ini?! Seperti wanita murahan!!!" Aku mendengar bentakan itu jelas di telinga. Jelas juga bentakan itu ditujukan kepadanya. Namun ekspresinya tetap seperti biasa, datar dan terkontrol.

"Kalian tau kalau ini adalah tindakan bullying bukan? Aku bisa melaporkan ini ke guru BP." Jawabnya, masih dengan ekspresi yang sama.

Orang yang membentaknya, kuidentifikasi sebagai kakak kelas. Menggunakan rok pendek dan rambut badai, jangan lupakan bando dan aksesorisnya. Mereka bergerombol bagai ikan diberi umpan.

Tidak ada jawaban berarti, kakak kelas itu malah gencar mengatakan hal yang terdengar tidak masuk akal padanya. Bahkan aku tak sanggup mendengarnya.

"Aku tau dia tidak kenal takut, tapi ini terlalu berani." Gumamku melihat bagaimana ia semakin terpojok dikerumuni kakak kelas.

Dengan berbekal nekat dan segenap niat, aku berlari menerjang kelompok itu dan menariknya pergi. Menyebabkan beberapa dari mereka berteriak histeris karena saling bertabrakan. Aku tak peduli, identitasku tersamarkan. Mereka pun tidak akan peduli pada gadis gila yang tiba-tiba menyeruduk seperti banteng ini.

Dengan berlari kecil, "ayo cepat!" Bisikku padanya.

Aku menariknya kedalam laboratorium biologi dan menutup pintunya rapat-rapat. Kami bersembunyi tepat dibawah meja guru. Entah menunggu kakak kelas itu mencari, atau menunggu mereka menyerah dan akhirnya pulang lebih dulu.

Dalam penerangan yang minim, aku bisa melihatnya dekat. Dia ternyata lebih pucat, tangannya dingin, dan matanya tetap nampak tajam dan awas. Nafasnya berkejaran dengan nafasku, saling memburu.

"Sepertinya kita bisa keluar sekarang." Ucapnya.

Aku mengangguk.

Kami keluar dari bawah meja perlahan, mengintip dari jendela yang tertutup gorden biru berdebu. Sekolah sudah sangat sepi, tak terdengar suara bahkan langkah kaki.

"Makasih. Bagaimana caraku membalasmu?" Aku tertegun. Dia benar-benar kaku seperti rumor yang Gita ceritakan padaku.

"Tidak usah... Aku hanya —um, kamu kelihatan butuh bantuan."

"aku tidak memerlukan bantuan. Kamu yang tiba-tiba datang dan merusak bukti yang sedang aku kumpulkan." Jawabnya masih dalam ekspresi yang tidak berubah.

Aku menganga. Dia tak menjelaskan, tapi menunjukkan bagaimana ponselnya masih merekam suara atas percakapan yang kami lakukan.

"Tidak apa. Kamu memang benar sudah berusaha membantu." Lanjutnya.

Aku tidak berusaha mengerti, biarlah saja dia dan bagaimana caranya. Aku hanya ingin menegaskan bahwa dia tak perlu membalas apa-apa. Aku tidak ingin apapun.

"Kalau begitu, anggap perkenalan ini sebagai balasan. Aku Soraya."

Tanganku terulur kedepan disertai senyum yang tetap kuulas, meski tak yakin ruangan gelap ini akan membuatnya terlihat.

Dia diam, hingga tanganku rasanya agak kebas karena lama di udara. Akhirnya tanganku dijabatnya, tepat sebelum aku menurunkannya.

"Irene. Senang mengenalmu, Soraya." Ucapnya.

Tak bisa kulihat jelas wajahnya, namun aku yakin dia juga mengulas senyum tipis seperti saat ia membaca buku. Tipis dan teratur, hampir tak terlihat.





































 Tipis dan teratur, hampir tak terlihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Siapa yang sudah menebak??!!!

lovenemy; [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang