47. the break up

157 8 1
                                    

Irene's pov.

Hari ini lebih mendung dari biasanya, sepertinya sebentar lagi akan hujan.

Aku cepat-cepat pergi ke gedung fakultas Soraya untuk menjemputnya dan mengajaknya pulang bersama.

Tepat aku melihatnya bersama seorang pria, orang yang sama dengan Minggu lalu, dan Minggu sebelumnya. Sepertinya mereka dekat.

"Hai! Padahal aku bisa kesana, loh!" Sapa Soraya.

"Aku selesai lebih awal." Jawabku.

Kami berjalan menyusuri jalanan kampus yang sepi mengingat suasana akhir tahun dan liburan sudah dimulai. Kecuali beberapa mahasiswa yang memiliki kegiatan di kampus.

Aku sangat ingin bertanya. Ingin sekali bertanya soal siapa laki-laki itu? Apa mereka dekat? Apa mereka selalu bertemu seperti ini setiap hari? Pasalnya, mereka terlihat serasi. Aku yakin orang lain juga akan berkata serupa.

"Harusnya tahun depan di waktu ini kita udah lulus, Rene." Soraya menyeletuk.

Aku mengangguk, "harusnya."

"Huhhhh... Lamanya." Soraya mengeluh.

Berbeda dengan Soraya, aku tidak ingin satu tahun itu berjalan lebih cepat. Aku tidak ingin mendapati diriku menyadari bahwa aku dan Soraya tidak bisa bersama. Aku tidak mau.

Hujan turun, deras mengguyur kota. Kami berhenti di salah satu gazebo dan duduk disana menunggu hujan ini mereda.

"Ra, project uas mu belum selesai, ya?" Tanyaku.

Soraya menggeleng, "udah selesai. Aku tadi kesini buat konseling, kebetulan dosen lagi ada di kampus." Jawabnya.

Aku mengangguk. Dalam hati, aku ingin menanyainya dengan pertanyaan menjurus seperti _"lalu kenapa kamu masih sama dia? Kalian kesini bareng? Dia ngikutin kamu?"_ Atau sejenisnya.

"Udah reda." Ucap Soraya.

Aku dan Soraya berpisah menuju tempat tinggal kami masing-masing.

Seharusnya, hari ini aku tidak ada kegiatan. Tapi aku ingin pergi ke kos Soraya, mengajaknya jalan-jalan setelah sekian lama.

Ditengah jalan, aku bertemu dengannya. Dia dan laki-laki itu lagi-lagi sedang berbincang. Keduanya tertawa dan saling melempar kata, membuatku tidak bisa mendekat. Aku menunggu keduanya selesai berbicara hingga akhirnya melihat Soraya berjalan kembali menuju kosku.

Sebelum dia sampai, aku menepuk bahunya.

"Hai! Baru aja aku mau ngajak kamu jalan." Ucapnya.

Aku memaksa senyum, semoga dia tidak menyadarinya.

Kami naik bus sampai ke salah satu pantai di ujung kota. Disini tenang, angin semilir menerbangkan rambut, ditemani langit yang kebetulan mendung.

Berbeda dengan keadaan pantai yang tenang, aku merasa gelisah. Aku terus menerus mengulang interaksi Soraya dan laki-laki itu hingga mulai menciptakan skenario pembicaraan yang menambah kegelisahanku.

Hingga akhir hari, kami duduk di pinggir pantai. Pikiranku masih kalut, ditambahkan dengan semua kata-kata Soraya, rasanya aku jadi makin gelisah.

"Kamu sejak tadi diem. Kamu sakit, ya?" Tanya Soraya.

Aku menggeleng.

"Ra. Apa kamu bahagia?" Pertanyaan itu muncul begitu saja. Membuat Soraya terdiam beberapa saat.

"Tentu. Aku bisa menikmati semua ini, aku sangat bahagia."

"Kalau begitu, ayo kita putus."

Deburan ombak dan cahaya matahari yang menghilang, membuat diam diantara kami semakin terasa. Soraya menatapku tak percaya, sedang aku mencoba tersenyum padanya.

"Kamu serius, Rene?" Tanyanya. Aku mengangguk.

"Aku bosan."

"Aku bosan dengan hubungan kita."

Demi tuhan, aku mau menangis. Tapi aku tidak bisa menangis di depan Soraya, dia jelas akan mengubah keputusanku dengan kata-kata penenangnya.

Soraya benar-benar terdiam, tampak tak siap dengan situasi ini. Bahkan bisa kulihat bibirnya bergetar ketika mencoba untuk membalas pernyataanku.

"Rene, aku bisa —"

"Nggak. Kamu nggak bisa, Ra. Ini masalahku dan kamu nggak bisa menyelesaikannya, ini bukan tentang kamu."

Soraya menangis. Dalam 4 tahun kami bersama, dia jarang sekali menangis. Aku hampir tidak pernah melihatnya menangis, rasanya sakit sekali.

"Jangan begini, Rene." Ucapnya dengan suara parau.

Aku melihat keatas, mencoba menahan air mataku yang bisa menetes kapan saja.

"Maafkan aku." Kata itu adalah kata terakhir yang ku ucapkan sebelum beranjak pergi meninggalkan Soraya.

Aku berlari menjauh, menuju halte bus terdekat dan menangis keras. Tidak peduli orang menatapku aneh, aku akan tetap menangis.

Kalau harus kujelaskan, rasanya sakit sekali. Seperti menancapkan pisau pada jantungku dengan tanganku sendiri. Aku masih sangat mencintai Soraya, masih sangat ingin bersamanya. Tapi aku takut. Aku takut akan membuatnya tidak bahagia.

Mimpi Soraya, aku tidak percaya diri bisa mewujudkannya. Aku tidak percaya diri bisa bertahan jika nantinya Soraya akan memilih seseorang lain yang bisa mewujudkan mimpi itu.

Aku takut.

Aku tidak punya apapun untuknya di masa depan, aku hanya akan membuat masa depannya berantakan. Soraya pantas mendapatkan orang lain yang lebih baik, orang lain yang bisa mewujudkan mimpinya dan tidak akan mengecewakan dia.

Kebahagiaannya, bisa lebih sempurna tanpaku.































Please dengerin lagunya, it's so this broke up coded!! 😭😭👍

lovenemy; [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang