Wilona's pov.
Rumor itu tidak benar. Aku tidak tau bagaimana rumor itu bisa terbentuk, tapi itu semua hanyalah rumor belaka. Siapa sangka rumor ini akan membesar sedemikian rupa. Aku juga tak punya cukup tenaga untuk membenarkan pemikiran semua orang di sekolah ini. Kubiarkan saja, biar nantinya mereda dengan sendirinya.
"Jadi akhirnya bisa lo kontak ngga?" Tanyaku pada Juan.
Juan menggeleng.
Tim basket sedang mengalami penurunan, dari anggota hingga keuangan. Sebentar lagi akan ada projek yang membutuhkan dana, dan kami kekurangan uang.
Aku dan Juan sudah berusaha meminta ke sekolah, namun mereka tak bisa memberi lebih. Padahal kami menghabiskan banyak uang untuk penyelenggaraan acara pertandingan basket semester lalu.
"Gapapa, Wil. Pake duit gue dulu aja, ntar kita cari cara buat ganti."
"Jangan gitu lah!... Kita gatau bakal dapet duit kapan. Gue sama yang lain gak enak ke lo." Ucapku menolak tawaran Juan.
Sudah sebulan lebih kami mencari cara, dan akhirnya kami sepakat untuk mencoba meminta kembali ke sekolah. Kali ini dengan melampirkan semua data keuangan yang lebih rinci, sekaligus anggaran kedepannya.
"Wilona." Suara yang tidak asing itu memanggilku dari depan pintu sekretariat yang sudah kosong sejak beberapa menit lalu.
Aku menoleh mendapati Arin sedang berdiri disana. Dengan perlahan, aku mendekat. Masih ada rasa canggung diantara kami, tapi kuabaikan itu.
"Gue perlu ngobrol sama lo." Ucapnya.
"Habis ini ya, gue masih repot." Aku sedikit berbohong.
Kuharap Arin tak menunggu, aku tidak tau akan seperti apa percakapanku dengannya kali ini. Tapi setitik egoku merasa senang melihat bagaimana Arin menunggu hingga aku menyelesaikan urusan yang kubuat itu. Aku merasa menang.
Hari sudah benar-benar sore ketika aku selesai, dan Arin masih ada disana. Aku menyuruhnya masuk ke sekretariat untuk mengobrol, entah apa yang akan dikatakannya.
"Sorry, gue tau ini gak penting. Tapi, lo sama Juan beneran pacaran?"
Aku tidak mengharapkan pertanyaan ini datang dari Arin, benar-benar tidak mengharapkannya. Tapi rasanya senang melihat Arin gelisah menunggu jawabanku atas pertanyaannya.
Raut wajahku tak berubah, datar.
"Kenapa? Apa hubungannya sama lo?" Tanyaku dengan bibir sedikit tersenyum. Bersamaan dengan jantungku yang berdegup semakin kencang.
"I don't know." Jawabnya, bukan jawaban yang kuinginkan.
Arin menunduk.
Aku menghela nafas, membuang wajah, menikmati bagaimana Arin bertarung dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana perasaanku ketika Arin meninggalkanku di studio hari itu. Hari dimana aku mengutuk diriku sendiri karena menyukainya.
"Jadi, rumornya bener?" Tanya Arin sekali lagi. Aku tak membalas.
"Wilona, jawab gue." Aku memerhatikan bagaimana suaranya mulai terdengar putus asa, tapi tetap tak kujawab pertanyaannya.
"Wilona, sekali lagi gue tanya. Lo sama Juan, pacaran?"
Aku tetap tak menjawab, mataku memutar ke arah selain Arin. Tak bisa kupaksakan mataku fokus melihatnya menahan amarah. Seperti dia bisa tiba-tiba menangis saat ini juga, aku tidak pernah melihatnya seperti ini.
Detik berlalu, tubuh Arin tiba-tiba mendekat, dekat sekali. Tangannya dengan cepat menarik kepalaku untuk mendekat, mengikis jarak yang sudah sempit.
Mataku terpejam ketika Arin dengan tiba-tiba menempelkan bibirnya pada milikku. Bisa kurasakan bagaimana bibirnya menyentuh permukaan bibirku, hangat dan lembut. Kesadaranku tak sepenuhnya ada disana, Arin benar-benar membuatku gila.
1 detik, 2 detik, 3 detik...
Arin memundurkan wajahnya, membiarkanku membuka mata untuk melihat bagaimana mata sinisnya menatapku.
"Kenapa?" Ucapnya pelan.
"Gue kira lo udah pernah ciuman sama Juan, disini." Lanjutnya.
Aku tak menjawab. Matanya memandangku lurus. Sudut bibir kirinya sedikit naik ketika mengucapkan kata itu, senyum sinis yang ditujukan padaku.
Aku menariknya kembali mendekat, menyatukan bibir kami lagi. Kali ini aku mengecupnya, melumatnya perlahan, membiarkan bagian diriku menikmati ciuman pertama itu. Arin mengikuti alur kecupanku, menekan tengkukku untuk memperdalam ciuman itu.
Ciuman itu kuakhiri. Mataku menatap Arin dengan perasaan bercampur aduk.
"Iya, i learn it from him." Ucapku pelan.
Aku memperluas jarak antara tubuh kami lalu meninggalkannya di ruang sekretariat. Aku berjalan cepat dan bersembunyi di kamar mandi, memegangi dadaku yang rasanya hampir meledak.
Itu ciuman pertama yang menyedihkan, sekaligus menegangkan.
"Lo benaran udah gila, Wil." Gumamku.
Di sela-sela penyesalanku, aku mengulas senyum mengingat bagaimana ciuman itu berlangsung. Kupikir ini adalah ciuman pertama yang layak diingat, setidaknya.
Senyumku terkembang lebih banyak memikirkan Arin yang sekarang pasti menjadi lebih gelisah dibanding sebelumnya. Aku menang telak.
*Ajsjsslahsjsgaha maaf
KAMU SEDANG MEMBACA
lovenemy; [completed]
Fanfictiontwo biggest enemy are going to start a spark of love. watch how they cope with their strange feeling! in fact, not just them whose fall in love in highschool. guess who does?!