30. her way

255 22 0
                                    

Wilona berjalan santai menuju kelas, ia sudah merasa baikan. Tubuhnya yang sebelumnya lemah telah kembali pulih.

"WILONA!!" Teriak Nara kencang, hingga sekelas mendengarnya.

Semuanya menoleh, bak menyambut Wilona yang kemarin baru saja izin bolos kelas. Kali ini Wilona tak mau menghiraukan mereka, ia hanya fokus tersenyum pada Nara yang berada di mejanya.

"Arin belum dateng?" Tanya Wilona.

"Masih jam segini, mana mungkin dateng! Masa pacarnya ngga tau?"

"Apaan sih!!" Ujar Wilona menyikut Nara.

Wilona menghubungi ponsel Arin, namun tidak diangkat. Ia asumsikan Arin sedang dalam perjalanan. Biasanya Arin juga datang terlambat, jadi tak perlu khawatir berlebihan.

Sedangkan yang dicari sebenarnya sudah datang pagi-pagi sekali. Gadis itu malah duduk di depan kelas orang lain untuk menunggu seseorang yang belum juga muncul.

Langkah kaki yang Arin tunggu akhirnya muncul.

"Sya!" Arin memanggilnya. Dengan suara lantang yang bisa didengar oleh sekitar.

"Apa?" Tanya Sasya berusaha datar.

"Gausah pura-pura gatau! Lo yang ngunciin Wilona, kan?" Arin melangkah mendekat, mengintimidasi Sasya.

Sasya menelan ludah, intimidasi yang diberikan Arin berhasil membuatnya menggenggam tangan cemas.

"iya! Terus kenapa?," Sasya bahkan tidak menyangkalnya, emosi Arin tersulut atas pengakuan tanpa malu Sasya.

Suara itu memekakkan telinga. Semua orang yang lewat berhenti, memilih untuk menyaksikan Sasya yang baru saja mendapat tamparan dari Arin.

"Lo gila?!" Arin kembali berteriak.

Kali ini Sasya mulai melangkah perlahan mundur, tidak menyangka jika Arin akan berani menamparnya.

"Lo berdua yang gila?! Ciuman disekolah?? Dan ga dapet hukuman apapun!?!! Ga adil kan?" Ucap Sasya mulai menarik keberanian dari dalam dirinya.

"Terus yang lo lakuin ke Wilona bener??!"

"Iya, she deserves tha —aaakk."

Sekali lagi, Arin memukul Sasya. Kali ini hingga mata di penerima berkaca karena rasa panas yang diakibatkan oleh pukulan itu.

Dengan mata berkaca, Sasya mendorong Arin dan segera menjambak rambut Arin untuk pembalasan. Terjadilah kekacauan. Semua orang mulai berkerumun dan bersorak meneriaki jagoan masing-masing.

Satu dua siswi mencoba melerai namun tak menghasilkan apa-apa. Keduanya masih tetap mencengkram erat rambut lawan masing-masing.

"APA INI!? BUBAR! Bel sudah bunyi!!!" Guru yang kebetulan akan ke kelas, membubarkan kerumunan itu hingga akhirnya menemui akar dari kerumunan.

"KALIAN, BERHENTI!!!" Teriak guru tersebut.

Keduanya menoleh dan berhenti bersamaan. Meski begitu, lirikan mata yang diberikan keduanya tak kunjung mereda. Bahkan hingga keduanya dibawa ke ruang BK.

Sasya dipersilahkan kembali ke kelas lebih dahulu, karena saksi mengatakan bahwa Arin yang memulai perkelahian ini.

"Padahal saya sudah berniat memanggil kamu nanti. Kenapa malah datang sendiri?" Ucap guru BK.

Arin tidak tertarik menjawab.

Guru BK menyuruh seorang murid untuk memanggil seseorang yang seharusnya akan dipanggil bersama Arin nanti.

"Permisi, saya mau memanggil Wilona Kiara Putri. Disuruh Bu Susi ke ruang BK." Ucapnya sopan pada guru yang bertugas.

Wilona terkejut dan kebingungan. Apa yang ia lakukan hingga membuat dirinya dipanggil ke ruang BK. Ia tidak merasa melakukan kesalahan.

"Arin!"

Wilona memekik melihat Arin yang bukannya masuk kelas, malah duduk di ruang BK dengan penampilan seperti habis diterjang angin ribut.

Ia segera duduk disampingnya dan meminta penjelasan. Tapi Arin hanya diam dan tersenyum tanpa mau menjelaskan.

"Kalian berdua, telepon orang tua sekarang. Suruh datang sepulang sekolah." Keduanya membulatkan mata.

"Kenapa ya Bu? Apa karena saya berkelahi? Tapi Wilona kan tidak ikut dalam perkelahian itu." Arin mengajukan keluhannya.

"Itu juga, dan yang lainnya. Kalian telepon dulu, ada yang harus saya bicarakan."

Secara terpaksa, Arin menelpon mamanya yang mungkin sedang dalam pekerjaannya saat ini.

"Orang tua saya gaakan datang." Ucap Wilona menunduk.

"Telepon dulu! Kalau tidak ditelepon ya tidak akan datang."

"Orang tua saya tidak ada di negara ini."

"Tidak usah bohong kamu."

Wilona membuka ponselnya dan masuk ke aplikasi chat yang ia gunakan berkomunikasi dengan orang tuanya. Ia tunjukkan pesan-pesan dari papanya yang memang benar-benar sedang berada di luar negeri.

"Astaga..." Bu Susi memijat dahi.

Arin menoleh pada Wilona yang nampak tak nyaman harus mengatakan ini. Entah karena ada dirinya disini, atau karena Bu Susi.

Tak ia sampaikan kepada Wilona, namun Arin sebenarnya juga terkejut mengetahui orang tua Wilona ternyata masih hidup.

"Baiklah, Wilona kembali ke kelas dan pulang sekolah kemari. Kamu! Berdiri di depan bendera sampai istirahat kedua." Bu Susi menunjuk lapangan upacara yang mulai terik.

Arin menghela nafas dan berjalan keluar. Wilona mengikuti di belakangnya.

"Rin, lo kenapa? Ngomong ke gue."

"Bukan apa-apa, Wil. Gausah khawatir, gue gapapa."

"Gapapa apanya?!! Rambut lo berantakan gini?" Wilona berusaha merapikan rambut Arin yang memang acak-acakan sekali.

"Perhatian banget pacar gue!"

"Gausah becanda, Arin!!!"

Arin tertawa. Menertawakan ekspresi Wilona yang marah terhadapnya. Terlihat lucu sekali.

Tapi Wilona serius khawatir melihat Arin berkelahi di sekolah seperti ini. Akhir-akhir ini Arin jadi berbeda dari Arin yang dikenalnya awal semester.

"Udah, lo balik ke kelas aja." Arin membalikkan tubuh Wilona dan mendorongnya menuju ke lorong kelas.

Dengan gusar, Wilona berjalan menuju ke kelas.















































*this is the longest part of the story i guess

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*this is the longest part of the story i guess.

lovenemy; [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang