DAKSA | EMPAT

14 9 0
                                    

Kelima pemuda yang membuat heboh kaum hawa di kantin itu, melangkahkan kaki ke arah meja pojok kantin.

"Bangun." Titah salah satu dari mereka.

Sontak, beberapa adik kelas yang tengah menikmati makan siang, dengan cepat membereskan meja yang mereka pakai tadi. Orang normal mana yamg mau cari perkara dengan pentolan 'Prabu' itu.

'Prajurit Bhumika' atau yang lebih dikenal dengan 'Prabu' merupakan nama dari anak-anak pelanggar aturan dari SMA Bhumika. Yah walaupun tidak semua anggotanya melanggar aturan sih, tapi rata-rata dari anggotanya pasti pernah melakukan kenakalan setidaknya membolos lah.

Semua anak Bhumika boleh masuk ke 'Prabu'. Baik cewek maupun cowok. Mereka biasanya berkumpul di 'Warung Mami' yang terletak tepat dibelakang sekolah.

Raden Daksa Wardhana, cowok berdarah Jawa itu memegang jabatan sebagai ketua sekaligus panglima tempur 'Prabu'. Tidak suka berbasa basi. Terkenal sebagai yang paling menyeramkan diantara anggota 'Prabu' yang lain.

Satya Alfian Pangestu, anggota Prabu yang paling pendiam. Jarang omong. Sekalinya banyak omong, pas bahas tentang hal-hal horror saja.

Redito Dirham, playboy kelas kakap. Mantannya terhitung sudah mencapai angka belasan di sekolah ini.

Rajif Herlangga, berkebalikan dengan Dito yang merupakan seorang Playboy maka Rajif adalah seorang sadboy, banyak cewek yang mendekati, tapi yang dia mau cuman satu cewek. Itupun yang nggak suka sama dia.

Kurniawan Herlambang, manusia receh seantero SMA Bhumika. Orang-orang sering memanggilnya Wawan, padahal nama dia itu Awan lah. Cita-cita jadi playboy kayak Dito, namun apalah daya nggak kesampaian.

"Eneng pilih yang mana, Duda atau perjaka. Duda memang menggoda tapi perjaka lebih menawan", Awan mulai memukul meja seraya bergoyang pelan.

"Kalau Eneng pilih yang duda...."

"Dudanya siapa woy?" Tanya Rajif.

"Tentu saja Da...." Daksa menatap Awan tajam.

"Da... Dari tampangnya sih kayaknya gue."

"Hehe, iya gue yang kayak duda", Awan menggaruk kepalanya. Bisa hilang ATM berjalannya, kalau dia macam-macam dengan Daksa.

"Nih."

Daksa menyerahkan beberapa lembar uang merah itu ke Awan.

"Pesan sono."

"Ayang Daksa emang terbaek", Awan menatap Daksa dengan mata berbinar.

"Tumben kita makan di kantin sini?" Tanya Rajif.

"Cuci mata lah, di 'Warmi' muka anak-anak 'Prabu' mulu, bosan", jawab Dito.

"Gimana sama anak yang kemarin?" Tanya Satya.

"Habis dia sama gue nanti", tegas Daksa.

[ D A K S A ]

Luna berjalan menyusuri lorong menuju toilet yang dekat dengan halaman belakang sekolah. Bukannya apa, toilet perempuan di lantai 1 tengah di renovasi, mau tak mau ia harus kesini.

Sebenarnya dia agak ngeri sih, mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat dia bertemu dengan Daksa dan antek-anteknya disini. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk buang air kecil.

Tadinya ia mau mengajak Namira, tapi cewek itu sedang fokus-fokusnya menggosip bersama teman-teman yang lain. Mau tak mau ia harus pergi sendiri. Kelasnya sedang jam kosong, di mata pelajaran terakhir sebelum pulang.

"Huh, lega", setelah selesai dengan hajatnya, Luna berjalan ingin kembali ke kelasnya.

"Mati lo ditangan gue."

Luna mendengar seperti ada yang berbicara tadi. Juga terdengar seperti ada suara grasak-grusuk.

"Kayaknya dibelakang toilet ini deh."

Dengan rasa penasaran yang amat tinggi, ia berjalan dengan pelan. Mengintip apa yang sedang terjadi.

Luna menutup mulutnya dengan tangan, saat melihat apa yang ia lihat ini. Disana Daksa dan teman-temannya, tidak, lebih tepatnya Daksa, tengah memukul seorang siswa dengan penuh tenaga.

Bugh

"Masih ada muka lo, sekolah disini."

Bugh

"Mati lo anjing."

"Yah, kok nggak berdiri sih, nggak seru ah."

"Boss patahin aja kakinya, dia kagak ngehargain lo, masa boss berdiri, dia duduk", keluh Awan dengan nada yang dibuat sedih.

"Matiin sekalian Sa, biar jadi hantu penunggu disini", Satya yang biasanya diam, kini angkat bicara.

Gawat, apa yang harus Luna lakukan sekarang. Melapor? Tidak, dia tidak mau mengantarkan nyawanya dengan mudah pada Daksa.

Luna mundur perlahan, berusaha sepelan mungkin untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Pilihan yang paling tepat sekarang adalah kabur. Iya dia harus kabur, dan bersikap seolah ia tak melihat apapun.

Selangkah, dua langkah.

Begitu Luna merasa aman, dia berniat untuk langsung lari.

"Diam disana, atau kaki lo gue patahin."

[ D A K S A ]

Hai haiii, salam kenal yah panggil aja aku moca, jangan lupa buat vote dan komennn 🤸

DAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang