"Selamat pagi, teman-teman seperjuanganku", Luna menyapa teman-teman kelasnya begitu memasuki kelas X IPA 3 itu.
Cewek itu mengerutkan keningnya tumben sekali sapaannya tidak ada yang membalas. Dan apa-apaan ini, kenapa teman-temannya heboh dan sudah sibuk dengan buku tulis beserta pulpen.
"Mir, pada kenapa dah?" Tanyanya pada Namira. Ia dan Namira memang duduk sebangku.
Namira yang tengah sibuk mencatat itupun tak mengalihkan matanya dari melihat buku.
"PR Kimia."
"Dah selesai", Ucap Namira sambil menutup bukunya. Ia tersenyum bangga.
Sedangkan Luna, cewek itu membolakan matanya.
"Loh emang Kimia ada PR?"
Namira memandang Luna horor.
"Ada ege, jangan bilang lo belom ngerjain?"
"Iya Mir, gimana dong ini?" Luna meringis.
"Do'a aja supaya bu Nur telat, ini buruan salin jawaban gue", Namira mendorong bukunya dihadapan Luna.
Baru saja Luna mengeluarkan bukunya, tiba-tiba dari arah depan, guru dengan dandanan yang agak berlebihan itu, berjalan memasuki ruangan kelas.
"Aduh, GWS deh Lun", Namira berseru pelan.
[ D A K S A ]
"Huftt"
Luna mengusap dahinya yang mengeluarkan keringat itu. Terhitung sudah lima belas menit ia berdiri dibawah tiang bendera ini.
Setelah drama ia lupa mengerjakan PR, berakhirlah dia disini, dihukum untuk hormat depan bendera, sampai jam pelajaran Kimia selesai.
Sebenarnya dia agak sedikit malu, Luna kan anak osis, masa dia dihukum sih. Tapi mau gimana lagi, namanya juga lupa, itu manusiawi kan?
"Kamu ini, tiap hari ada aja ulahnya!"
"Kalau gak diseret gini, mana mau nurut!"
Luna menatap keributan yang menuju dirinya, bukan lebih tepatnya menuju lapangan upacara ini. Disana pak Sumarto, salah satu guru BK di sekolah ini, sedang menuntun, tidak, lebih tepatnya menyeret Daksa.
"Yaelah pak, selow ae"
"Aduh pak, telinga saya jangan dijewer dong, nanti kegantengan saya hilang."
"Bapak mau tanggung jawab?"
"Saya enggak mau tahu yah, kamu berdiri hormat dibawah bendera ini, sampai jam istirahat nanti!"
"Itu namanya simulasi mati Pak!" Daksa protes.
"Halah kayak enggak biasa dihukum aja kamu."
"Biasanya saya kabur sih pak", gumam Daksa pelan.
Memang benar, jika dirinya sering dihukum, dan dia juga sering kabur. Tapi itu jika tidak ada guru yang mengawasi, dan kalau hanya anak osis yang mengawasinya.
Dia tak segan-segan untuk kabur. Nanti kalau guru-guru melapor pada Ayahnya kan, akan ada drama lagi. Jadi dia berusaha menghindari drama itu.
"Apa?" Tanya pak Sumarto galak.
Lalu perhatian guru yang tidak memiliki rambut itu, teralihkan pada salah satu siswi yang menunduk dibawah tiang bendera.
"Laluna Prameswari?" Pak Sumarto menyeringit, sedikit mengingat siswi ini.
Luna menyengir, gagal usahanya untuk tidak dikenali Pak Sumarto, ia pikir pak Sumarto tidak mengenalinya, ternyata ia salah. Luna sepertinya lupa kalau dia itu salah satu anggota osis, pasti beberapa guru mengenalnya.
"Ngapain kamu?" Tanya pak Sumarto.
"Aelah bapak pake nanya, kalau udah berdiri sendirian dibawah bendera, yo wes mesti dihukum toh Pak", bukan, bukan Luna yang menjawab, melainkan Daksa.
"Kamu dihukum? Dihukum kenapa Laluna?"
Pak Sumarto bingung, wajar saja Luna salah satu siswi yang taat peraturan, tidak seperti siswa yang masih ia seret ini.
"Lupa ngerjain PR pak, hehe."
Pak Sumarto menarik nafas pelan.
"Yasudah, Daksa kamu berdiri disamping Luna, hormat bendera sampai jam istirahat tiba."
"Oh iya Luna, sekalian, tolong awasin Daksa. Kalau dia kabur, lapor ke bapak."
Luna menatap Daksa sebentar, yang dibalas pelototan dari cowok itu. Luna bergidik ngeri.
"Baik pak."
Pak Sumarto meninggalkan dua murid yang tengah dihukum itu.
Daksa berjalan menuju pohon dibelakang tiang bendera, sesudah memastikan pak Sumarto pergi. Posisinya sekarang sudah duduk didepan Luna yang masih berdiri, tiang bendera berada ditengah-tengah mereka.
Daksa sedari tadi, terus merecoki Luna, dengan melempari Luna dengan kerikil kecil.
"Kak Daksa udah dong!"
Luna akhirnya kesel juga, sebenarnya dia masih takut sama Daksa. Tapi kakak kelasnya ini daritadi selalu mengganggunya, ia jadi emosi kan.
"Wih udah berani lo cil."
"Siapa nama lo?"
Daksa menyeringit, membaca tag nama di dada kanan cewek itu.
"Laluna Prameswari."
"Cakep juga tuh nama, tapi kok lo jelek sih", ucap Daksa tanpa dosa.
Setelah itu dia kembali melempari Luna dengan kerikil kecil.
Sementara Luna yang diganggu daritadi, matanya sudah berkaca-kaca. Katakanlah ia cengeng. Tapi ternyata Daksa selain dikenal jadi cowok galak, dia juga sangat tengil ternyata.
"Eh kok lo nangis sih cil."
"Kak Daksa diem. Atau aku laporin ke pak Sumarto."
Daksa tertawa remeh.
"Bocil ngaduan."
Daksa menghampiri Luna, lalu menurunkan tangan cewek itu yang daritadi masih bersikap hormat.
"Oh iya cil, urusan lo sama gue kemarin belum selesai yah", Daksa tersenyum miring.
Sementara Luna, yang hanya berjarak kurang lebih satu meter dari Daksa berdiri ini, semakin deg-degan saja.
Bukan gara-gara jatuh cinta. Melainkan ia kembali teringat kejadian kemarin, ketika ia melihat Daksa yang memukul seseorang.
Tadi saja dia berani sama Daksa, tapi sekarang udah kembali ciut lagi.
"Tapi gapapa, gue lagi good mood, hari ini. Jadi belum kepikiran mau gue apain lo."
Luna yang mendengar itu bingung, harus bahagia atau malah menangis dan bersimpuh dibawah kaki Daksa lagi.
Yang jelas kehidupan tentrammnya yang baru beberapa bulan di SMA Bhumika ini, akan mulai berubah sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA
Teen FictionRaden Daksa Wardhana. Mendengar namanya saja sudah bisa membuat warga SMA Bhumika bergidik ngeri. Berandalan terkenal seantero sekolah, yang sayangnya sangat tampan. Daksa. Satu nama yang amat dihindari oleh siswa-siswi SMA Bhumika, termasuk Lun...